Misteri di Balik Rumah Tua

0 0 0
                                    


Pagi menjelang siang, ketika sinar matahari menembus celah-celah jendela rumah tua Raka. Ia berdiri di ruang tamu, memperhatikan sekitar dengan lebih teliti. Rumah ini menyimpan terlalu banyak kenangan, bukan hanya tentang dirinya dan Arini, namun juga tentang masa kecil, tentang ayahnya yang dulu sering bercerita di sini. Setiap sudut ruangan seakan berbisik, menyimpan sesuatu yang tak terkatakan.

Raka menyusuri lorong sempit menuju kamar ayahnya. Beberapa kali, ia pernah merasa seolah mendengar suara langkah kaki dari sana. Saat tiba di depan pintu kamar, tangannya terhenti di gagang pintu. Hatinya merasakan suatu dorongan kuat untuk membuka pintu tersebut.

"Kamu yakin mau buka pintunya, Rak?" Suara Budi tiba-tiba terdengar dari belakangnya.

Raka terkejut, berbalik dan melihat Budi berdiri dengan ekspresi penasaran. "Budi! Kamu dari mana? Kok tiba-tiba ada di sini?"

Budi tersenyum tipis, memasukkan tangannya ke saku. "Aku tadi lewat, lihat rumahmu terbuka, jadi aku mampir. Eh, malah lihat kamu lagi di sini dengan ekspresi aneh."

Raka tertawa kecil, meskipun sebenarnya hatinya sedikit bergetar. "Mungkin ini cuma perasaanku, tapi ... ada sesuatu di rumah ini. Aku merasa ada yang tersembunyi di sini."

Budi menaikkan alis, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Sesuatu? Maksudmu apa?"

Raka menarik napas panjang. "Entahlah, Bud. Aku hanya merasa ada yang janggal di rumah ini, seperti ada rahasia besar yang belum terungkap."

Budi mendekati pintu, tangannya memegang gagang pintu dengan santai. "Mungkin kamu cuma terlalu banyak berpikir, Rak. Tapi, kalau memang penasaran ... kenapa tidak kita buka saja pintunya?"

Raka menatap Budi sejenak, lalu mengangguk perlahan. Ia merasa kehadiran Budi memberinya sedikit keberanian. Saat mereka membuka pintu bersama-sama, debu-debu kecil beterbangan, menambah suasana misterius di dalam ruangan tersebut.

Di dalam kamar itu, terlihat lemari kayu besar dengan ukiran rumit, sebuah meja kecil dengan cermin tua yang sedikit retak, serta kursi rotan yang tampak tua dan lapuk. Namun, perhatian Raka tertuju pada lemari besar tersebut.

"Lemari ini ... aku belum pernah melihatnya sebelumnya," bisik Raka, suaranya terdengar kagum sekaligus penasaran.

Budi melangkah mendekat, mengelus permukaan lemari dengan tangan yang penuh kehati-hatian. "Mungkin dulu ayahmu yang meletakkannya di sini, Rak. Tapi ... apa menurutmu ada sesuatu di dalamnya?"

Raka mengangguk pelan, pandangannya terus tertuju pada lemari besar itu. "Entahlah, Bud. Tapi aku merasa ini bukan lemari biasa. Rasanya, ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan."

Budi menggeleng, matanya menyipit, tampak berpikir. "Kamu terdengar seperti orang yang terlalu banyak membaca novel misteri. Tapi, siapa tahu? Mungkin saja ada sesuatu di balik lemari ini."

Tanpa banyak berpikir, Raka mulai membuka lemari tersebut. Pintu lemari sedikit macet, tapi setelah beberapa kali percobaan, pintu berhasil terbuka. Di dalam lemari, terlihat tumpukan buku-buku tua dan sebuah kotak kecil berwarna gelap, tersembunyi di balik buku-buku itu.

"Apa itu, Rak?" tanya Budi, suaranya terdengar kagum.

Raka mengambil kotak tersebut dengan hati-hati, memandangi ukiran-ukiran aneh di permukaannya. "Kotak ini ... aku belum pernah melihatnya. Kenapa ayahku tidak pernah menceritakan soal kotak ini?"

Budi mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya memandang kotak tersebut dengan penuh rasa ingin tahu. "Mungkin ini memang rahasia. Coba buka, siapa tahu ada sesuatu yang menarik di dalamnya."

Raka membuka kotak tersebut dengan hati-hati. Di dalamnya, terlihat beberapa surat yang sudah kusam dan foto-foto hitam putih yang menampilkan ayahnya ketika masih muda. Namun, sebuah surat dengan tinta merah mencuri perhatiannya.

"Apa isinya?" Budi bertanya, mendekat untuk melihat isi surat itu.

Raka membuka surat tersebut dan mulai membacanya dalam hati, tapi Budi menepuk bahunya. "Baca keras-keras, Rak. Biar aku juga tahu apa isinya."

Raka mengangguk, lalu mulai membaca surat itu.

"Anakku tercinta,

Jika suatu hari kamu menemukan surat ini, berarti kamu sudah kembali ke rumah. Ada rahasia besar yang selama ini kusimpan, sesuatu yang berkaitan dengan masa lalu kita. Jangan takut, ini bukan sesuatu yang buruk, hanya sesuatu yang selama ini aku jaga dengan sangat hati-hati.

Jika kamu siap, pergilah ke bawah rumah, di ruangan yang tidak pernah kamu masuki. Di sana, kamu akan menemukan jawaban yang mungkin selama ini kamu cari."

Selesai membaca surat itu, Raka terdiam, menatap Budi dengan ekspresi bingung. "Bawah rumah? Ruangan yang tidak pernah kumasuki?"

Budi mengangguk antusias. "Wah, ini semakin menarik, Rak! Ayahmu benar-benar meninggalkan sesuatu yang berharga. Ayo kita cek ke bawah rumah!"

Mereka segera menuju bagian belakang rumah, di mana sebuah pintu kecil menuju bawah rumah tersembunyi di balik tumpukan barang-barang lama. Raka membuka pintu tersebut, dan udara lembab langsung menyambut mereka.

"Serius, kamu benar-benar mau turun ke sana?" tanya Budi sambil tertawa, meskipun sedikit terlihat tegang.

"Ya, aku harus tahu apa yang ayahku tinggalkan," jawab Raka tegas, matanya penuh keyakinan.

Mereka turun ke bawah rumah, melewati tangga kayu yang berderit dan rapuh. Di bawah sana, suasananya gelap dan pengap, namun cahaya dari senter kecil yang dibawa Budi sedikit membantu mereka melihat.

Setelah beberapa langkah, mereka sampai di sebuah ruangan kecil yang hampir tertutup debu dan sarang laba-laba. Di tengah ruangan itu, terlihat sebuah peti kayu besar dengan ukiran yang mirip dengan kotak kecil yang ditemukan Raka tadi.

"Apa ini ...?" bisik Raka, mendekati peti tersebut.

Budi mengikuti di belakangnya. "Mungkin ini petunjuk selanjutnya, Rak. Coba buka."

Raka membuka penutup peti tersebut, dan di dalamnya terlihat selembar kain merah yang membungkus sesuatu. Ia membuka kain tersebut, dan di dalamnya terdapat beberapa barang-barang pribadi ayahnya: buku catatan, pena tua, dan  ... sebuah cincin emas.

Raka memandangi cincin tersebut dengan hati berdebar. "Cincin ini ... aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?"

Budi menatap cincin itu dengan ekspresi penasaran. "Mungkin cincin ini milik seseorang yang penting bagi ayahmu?"

Raka mengangguk, hatinya terasa aneh, seperti ada sesuatu yang ia lupakan. "Aku yakin cincin ini punya arti penting, Bud. Mungkin, ini adalah bagian dari rahasia yang ayahku maksud."

Mereka terus memeriksa isi peti tersebut, namun tak menemukan lagi sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Namun, tiba-tiba Raka merasakan seolah ada suara berbisik di telinganya. Suara lembut, nyaris tak terdengar, namun cukup membuatnya merinding.

"Raka ..."

Ia terdiam, mencoba mendengar dengan lebih jelas. "Bud, kamu dengar sesuatu?"

Budi menggeleng, tampak bingung. "Dengar apa? Di sini cuma kita berdua, Rak."

Raka merasakan bulu kuduknya meremang, namun ia berusaha tetap tenang. "Mungkin cuma perasaanku. Tapi ... tempat ini memang aneh. Rasanya, seperti ada yang mengawasi kita."

Budi menepuk bahu Raka, berusaha menyemangatinya. "Santai saja, Rak. Mungkin kita cuma terlalu tegang. Ayo keluar dari sini, udara di sini nggak bagus."

Raka mengangguk, menyetujui saran Budi. Mereka berdua naik kembali ke atas, meninggalkan peti tua dan rahasia yang belum sepenuhnya terungkap di bawah rumah. Meski sudah keluar dari ruang bawah, perasaan aneh itu tetap mengikutinya. Seolah, rahasia yang baru terkuak hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar.

Raka duduk di kursi beranda, mencoba merenungkan semua yang baru saja ia alami. Lengkara di hatinya berbisik, bahwa misteri ini adalah bagian dari takdir yang harus ia hadapi, bukan hanya demi dirinya, namun juga demi kenangan yang selama ini tersembunyi dalam rumah tua ini.

Di Antara Rindu dan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang