Pagi belum menampakkan sinar penuh ketika Raka dan Budi melangkah keluar rumah. Mereka berniat melanjutkan pencarian jawaban yang telah lama tertimbun. Jalan setapak di depan mereka terhampar, memberikan arahan samar ke hutan kecil di ujung desa.
"Aku nggak pernah menyangka akan sampai di titik ini," kata Raka sambil mempercepat langkahnya.
Budi, yang berjalan di sebelahnya, menghela napas. "Kamu nggak sendiri, Rak. Apa pun yang kita temukan, aku di sini."
Raka memandang ke depan tanpa menyahut. Namun, dalam hatinya, ia merasa beban itu sedikit terangkat.
Mereka sampai di tepi hutan, tempat pepohonan memayungi jalan dengan rimbun. Di tengah deretan batang pohon, berdiri bangunan kecil yang tampak terlupakan oleh waktu. Bangunan yang usianya tak lagi muda.
"Di sini?" tanya Budi, menatap bangunan itu dengan pandangan curiga.
Raka mengangguk. "Surat-surat itu menyebutkan lokasi ini. Sepertinya, ini tempat ayah sering habiskan waktu. Mungkin di sinilah dia menyimpan sesuatu."
Mereka mendekat, langkah-langkah mereka berderak di atas ranting yang berserakan. Pintu bangunan itu tertutup, namun tak terkunci. Raka membuka pintu dengan perlahan, suara engsel yang berderit mengisi keheningan.
Budi melangkah masuk lebih dulu, lalu memeriksa sekitar. "Nggak ada siapa-siapa, hanya barang-barang tua dan debu."
Raka berjalan mengikuti, matanya menyisir setiap sudut. "Tapi kenapa ayah harus menyembunyikan tempat ini?"
Budi memandangi rak kayu di sudut, lalu berjongkok di dekat peti yang tergeletak di lantai. "Mungkin ini jawabannya," gumamnya sambil menyingkirkan lapisan debu di atas peti.
Raka mendekat. "Apa yang kamu temukan?"
Budi membuka peti dengan pelan, mengeluarkan buku-buku usang dan surat-surat yang tampak sudah lama tak tersentuh. "Surat-surat ini penuh dengan catatan. Mungkin semua jawaban ada di sini."
Raka mengambil salah satu surat, membacanya sekilas. "Ini tulisan ayahku... tapi bahasanya sulit dipahami."
Budi menepuk bahu Raka. "Kamu bisa cari tahu nanti. Sekarang kita bawa semua ini pulang. Kita butuh waktu lebih untuk mencerna."
**
Sesampainya di rumah, Raka dan Budi langsung menumpuk surat-surat dan buku-buku di meja ruang tamu. Raka membuka salah satu surat, matanya menyisir kata-kata yang tersusun rapi.
"Ayah banyak bicara soal pilihan hidup," gumamnya pelan.
Budi memperhatikan Raka yang tampak terbenam dalam pikirannya. "Apa maksudnya?"
Raka mendongak, menatap Budi dengan sorot yang penuh tanda tanya. "Sepertinya, ayah berusaha menyampaikan pesan tersembunyi. Sesuatu tentang pilihan yang ia ambil, dan bagaimana semua itu membawa kita ke keadaan sekarang."
Budi mengangguk paham, namun masih menyimpan kebingungan. "Jadi, ada sesuatu di masa lalu yang membuat dia harus sembunyikan tempat ini?"
Raka terdiam, hatinya merasa semakin dalam terhisap oleh teka-teki ini. "Mungkin saja, Bud. Ayah selalu bilang, hidup ini seperti persimpangan jalan. Pilihan yang kita ambil akan membawa kita ke arah yang berbeda. Dan aku merasa, dia ingin aku mengerti sesuatu tentang itu."
Budi menghela napas, matanya tak lepas dari surat-surat yang tersebar di atas meja. "Kamu ingin tahu lebih lanjut? Aku akan tetap di sini sampai kamu paham semuanya."
Raka tersenyum tipis. "Terima kasih, Bud. Aku nggak tahu harus gimana kalau kamu nggak ada."
**
Hari berikutnya, mereka kembali ke hutan, membawa serta beberapa catatan yang mungkin dapat memberikan petunjuk lebih jauh. Di perjalanan, Raka memandangi jalan setapak di depannya. Suara burung dan angin yang berhembus melewati dedaunan membawa kedamaian, namun hatinya masih gelisah.
Budi berjalan di sebelahnya. "Menurutmu, apa yang sebenarnya dicari ayahmu?"
Raka menggeleng perlahan. "Aku hanya punya sedikit petunjuk. Tapi aku merasa ada sesuatu yang belum kita temukan. Mungkin rahasia yang dia simpan bukan hanya tentang proyek, tapi lebih dari itu."
Ketika mereka mendekati bangunan tua itu, Raka tiba-tiba berhenti, pandangannya tertuju ke sebuah papan kecil di samping pintu yang nyaris tak terlihat.
"Bud, lihat ini," panggil Raka sambil menunjuk papan itu.
Budi menghampiri, memiringkan kepalanya untuk membaca tulisan di papan tersebut. "'Di sini persimpangan berawal.' Apa maksudnya?"
Raka hanya bisa memandang papan itu dengan tatapan penuh arti. "Mungkin ini adalah pesan terakhir dari ayahku. Bahwa kita akan menemukan sesuatu di persimpangan ini."
Budi terdiam, membiarkan Raka merenung sejenak. "Jadi, kamu mau melanjutkan?"
Raka mengangguk. "Aku harus, Bud. Kalau ini memang jalan yang ayah pilihkan untukku, aku harus memahaminya."
Mereka masuk ke dalam bangunan itu lagi, melanjutkan pencarian dengan perasaan yang bercampur. Mata Raka tertuju pada tumpukan dokumen yang tersisa di peti. Setiap lembaran yang ia baca seakan mengungkapkan bagian dari masa lalu yang terlupakan.
"Rak, mungkin kamu butuh istirahat dulu," ujar Budi dengan nada khawatir.
Raka menoleh dan tersenyum. "Aku nggak bisa berhenti sekarang, Bud. Aku merasa, aku semakin dekat dengan kebenaran."
Budi menghela napas, lalu duduk di samping Raka, ikut membuka lembaran demi lembaran dengan sabar. Saat itu, mereka hanya terfokus pada kertas-kertas di hadapan mereka, tanpa menyadari betapa waktu sudah lama berlalu.
Raka tiba-tiba menghentikan gerakannya, memegang erat selembar kertas yang ia baca dengan seksama. "Budi, lihat ini."
Budi mendekat, membaca kalimat yang tertera di lembar tersebut. "Kunci dari semua ini terletak pada langkah yang kamu ambil di persimpangan."
Raka merasa tubuhnya tegang. "Pesan ini ... seperti mengarahkan kita untuk mengambil pilihan."
Budi menatap Raka dengan pandangan heran. "Pilihan apa, Rak? Kamu tahu apa maksudnya?"
Raka hanya menggeleng. "Aku nggak tahu, tapi rasanya ini bukan sekadar simbol. Ayahku pasti ingin aku mengambil keputusan yang mungkin dulu dia sendiri nggak bisa."
Budi terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara pelan, "Kalau begitu, berarti kamu harus memilih jalanmu, Rak. Apa pun yang kamu temukan, itulah jawaban yang ayahmu tinggalkan."
**
Hari mulai bergulir cepat. Raka terus membaca dan meneliti, semakin terbenam dalam surat-surat yang penuh dengan pesan tersirat. Ia mulai memahami bahwa hidup ayahnya tidak hanya dipenuhi dengan kerja keras, tetapi juga dengan pilihan-pilihan berat yang harus diambil.
Budi menatap Raka dengan penuh harap. "Rak, sudah cukup banyak yang kamu dapatkan. Mungkin saatnya mengambil langkah."
Raka menghela napas, menatap Budi dengan penuh keyakinan. "Kamu benar, Bud. Sudah saatnya aku berhenti mencari dan mulai memilih jalanku sendiri."
Budi tersenyum lebar, merasa lega melihat keteguhan di mata sahabatnya. "Itu yang aku tunggu dari kamu. Apapun yang kamu pilih, aku yakin ayahmu pasti bangga."
Raka merasa dadanya lapang. Dengan rasa lega, ia menutup buku-buku dan surat-surat di hadapannya, seakan menutup bab terakhir dari pencariannya. Persimpangan itu kini ada di depan matanya, siap menuntunnya ke arah yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Rindu dan Rumah
RomanceSetelah 10 tahun meninggalkan kampung halamannya demi mengejar karier sebagai arsitek di kota besar, Raka terpaksa kembali untuk mengurus warisan rumah tua keluarganya. Di sana, ia bertemu kembali dengan Arini, cinta masa lalunya, yang kini telah be...