19. Perundungan

9 1 0
                                    

Sementara itu di kelas 12 IPS 1, suasana mencekam.

Maira, seorang murid pendiam dan cerdas, dikelilingi teman-teman sekelasnya yang penuh amarah. Salah satu dari mereka menarik kerah seragamnya, membuat Maira tersentak ke belakang. Tanpa perlawanan, ia menerima tamparan keras di pipi kirinya yang langsung meninggalkan bekas merah. Dari sudut ruangan, Lyona, cewek paling bawel, sok populer, dan selalu menjadi pusat perhatian di kelas, memandang Maira dengan tatapan tajam. Maira hanya bisa menunduk, tidak berdaya, dengan kedua tangan yang dipegang erat oleh beberapa siswa lainnya.

"Lo gak pantas ada di Mentari Senior High School, apalagi masuk ke kelas unggulan!" suara Lyona lantang dan penuh hinaan. "Lo tahu nggak sih, gara-gara lo, kelas kita jadi bahan bully-an satu sekolah? lo tahu artinya sampah nggak? Itu lo! Kalau nggak angkat kaki dari sini, siap-siap aja kita bikin lo nyesel masuk sekolah ini. Mau ngadu ke guru? Silakan, gue tungguin, dan lihat apa yang bakal gue lakuin! Ngerti, nggak?" Lyona menarik dagu Maira kasar, membuat Maira semakin gemetar.

Di sudut lain, Syifa, Aiza, dan Dalilah hanya bisa melihat dengan tatapan penuh ketakutan, tangan mereka pun ikut ditahan oleh teman-teman sekelas yang semakin ganas. Keadaan semakin panas ketika Lyona tiba-tiba berteriak.

"LO BUDEG? JAWAB DONG KALO DITANYA! NYAHUT KEK, NGANGGUK KEK!" Lyona membentak Maira tanpa ampun.

Dengan suara bergetar, Maira mencoba menjawab, "I-iya, gue ngerti... tapi bentar lagi kan kelulusan, gue nggak mungkin keluar sekarang. Lagi pula, tuduhan kalian itu—"

Namun, kalimat Maira terhenti ketika Lyona melayangkan pukulan ke rahangnya. "Banyak omong lo!"

Sementara itu, Mikael yang terkenal sinis berseru, "Lo cantik, Mai, tapi sayangnya otak lo cetek."

Azam ikut menyahut, "Pukul lagi aja, biar tahu rasa."

Air mata mulai mengalir di pipi Maira. "Tolong, jangan pukul lagi... Sakit," isaknya pelan, namun cukup terdengar oleh Syifa yang merasa hatinya teriris melihat sahabatnya dihina dan dipukuli seperti itu.

Aiza yang tidak tahan lagi langsung berseru, "Eh, kalian jangan keterlaluan, dong! Kasihan Maira!"

Namun, Hilmy, menyentil kening Aiza. "Diam lo, anak sok baik," cemoohnya.

Lyona, masih belum puas, tertawa sinis. "Guys, enaknya apain lagi ya si Maira ini? Gimana kalau kita siram pake air got aja? Pasti seru!" Dengan cekikan yang menyeramkan, Lyona menarik kerudung Maira, membuat gadis itu menjerit kesakitan saat rambutnya dijambak tanpa ampun.

Di tengah-tengah kekacauan itu, Syifa yang sudah tidak tahan hanya bisa mengepalkan tangan, mencoba menenangkan hatinya yang terbakar amarah. Dia ingat sedikit jurus taekwondo yang pernah dipelajari waktu SD. Sabuk hijaunya mungkin tidak banyak membantu sekarang, tapi Syifa yakin bahwa ia harus mencoba, meski tubuhnya gemetar.

"Hentikan!" teriak Syifa sekeras-kerasnya, menantang mereka yang menahan tangannya. Dengan kekuatan yang entah dari mana muncul, ia melepaskan genggaman mereka satu per satu.

Lyona, terkejut melihat perlawanan Syifa, berteriak panik, "Cepet pegangin tangannya lagi! Jangan biarin dia kabur!"

Namun, Syifa yang terlanjur marah hanya menatap tajam. "Lo pikir gue bakal diam aja? Gue nggak takut sama lo, Lyona! Bukan lo yang ngatur hidup gue." Sambil bersusah payah, Syifa mulai melawan, menangkis pukulan demi pukulan dengan tenaga yang semakin menipis. Lututnya mulai lemas, tapi hatinya tak surut.

Dia segera melihat ke arah Maira dan berkata, "Mai, cepat pakai kerudung lo lagi dan keluar dari sini! Aiza, Dalilah, gue bakal lindungin kalian!"

Maira yang masih gemetar hanya mengangguk dan segera kabur keluar kelas, meninggalkan Syifa yang berusaha menghalangi teman-temannya yang masih saja melayangkan pukulan. Dalam hati, Syifa hanya bisa berdoa, memohon pertolongan Tuhan.

"Ya Allah, kuatkan aku..."

Tawa Lyona terdengar lagi, penuh ejekan. "Nyerah aja deh, sok pahlawan kesiangan lo, Syifa!"

Tiba-tiba, pintu kelas terbuka dengan keras. Semua mata langsung menoleh ke arah pintu, di mana sosok Ravindra berdiri. Tatapan matanya yang tajam seperti elang membuat semua terdiam. Ravin masuk dengan langkah tegas dan langsung menuju ke arah Syifa yang hampir pingsan.

Dengan penuh kepedulian, Ravin meraih Syifa, menggendongnya sambil melayangkan tatapan mematikan ke arah Lyona dan yang lainnya. "Lepasin Syifa dan teman-temannya. Kalau sampai ada yang berani ganggu lagi, gue yang bakal urus kalian."

Syifa, yang sudah setengah sadar, tersenyum tipis. Dalam kepalanya hanya satu kalimat yang terlintas.

"Ya Allah... Ravin ganteng banget..."

The Journey of Eldan & HadijahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang