9. Cabut

26 3 0
                                    

Sinar matahari memasuki celah jendela kamar Hadijah. Hadijah terbangun dari tidurnya, mengucek matanya beberapa menit. Kepala gadis itu menoleh pada arah jam dinding. Mata Hadijah seketika membulat, kala ia melihat pukul berapa di jam itu.

"Astagfirullah!" teriak Hadijah. "Udah jam setengah tujuh, bentar lagi telat. Setengah jam lagi masuk, dan gue belum siapin buku segala macam, sholat subuh juga belum!"

Hadijah dengan langkah terburu-buru segera masuk ke dalam kamar mandi, mengambil wudu, dan melaksanakan sholat subuh di dalam kamarnya.

Selepas ibadah dan memasukkan semua peralatan sekolahnya ke dalam tasnya, Hadijah turun ke bawah hendak menyalami tangan kedua orangtuanya.

"Mama Papa, Hadi berangkat dulu ya. Udah mau telat nih, oh iya kunci motor Hadi dimana ya?" tanya Hadijah yang lupa dimana ia meletakkan kunci motornya.

"Hari ini tidak usah nyetir motor dulu ya. Ada yang jemput tuh di teras rumah," goda ayahnya.

"Hah? Jemput? Siapa?" tanya Hadijah.

"Lihat aja di teras ada siapa," balas Nova.

Hadijah melihat siapa yang ada di teras rumahnya. Mata Hadijah membulat. Kaget ketika tahu siapa orang itu. Eldan? Kenapa dia tiba-tiba ia datang ke rumahnya? Gak bilang-bilang dulu pula.

Eldan yang sadar akan kehadiran Hadijah, cowok itu tersenyum. Melempar senyuman manis pada Hadijah yang membuat Hadijah tambah bingung. Hadijah berpikir apa mungkin Eldan kesambet atau kerasukan? Tapi, mana mungkin di pagi bolong seperti ini.

Eldan berdiri dari duduknya. Berjalan pelan mendekati Hadijah. "Ayo," ucap Eldan.

"Ayo?" Hadijah mengulangi. "Ayo ke?"

"Ke sekolah lah, masa ke pasar!" jawab Eldan.

"Tu-tunggu, kok lo nggak bilang ke gue kalau lo mau jemput?"

Eldan tak menjawab pertanyaan Hadijah, Eldan langsung memberikan Hadijah helm.

"Pertanyaan lo nggak penting buat gue jawab. Cepat, kita nggak punya banyak waktu untuk sampai ke sekolah. Ini aja udah telat, rumah kita jauh."

Eldan menggendong Hadijah saat gadis itu diam tidak bereaksi apapun. Lantas Hadijah yang digendong kaget, memukul punggung Eldan supaya cowok itu menurunkannya. Sementara Eldan pura-pura tuli. Untung saja kedua orang tua Hadijah tak melihat itu karena sedang asik sarapan berdua.

Eldan melajukan motornya untuk pergi ke sekolah sebelum mereka benar-benar terlambat. Walaupun sebenarnya sudah terlambat sih. Lima menit lagi bel masuk, tetapi perjalanan menuju sekolah masih sekitar dua puluh menit lagi. Selama perjalanan hanya ada keheningan, baik Eldan maupun Hadijah sama-sama diam tidak ada yang membuka obrolan.

Eldan menatap kegelisahan Hadijah dari kaca spion. Ada apa dengan Hadijah? Pasti ia takut dimarahi karena telat. Kalau dirinya sih sudah biasa masuk telat.

"Em, Dan. Turunin gue sebelum masuk gerbang sekolah ya," ucap Hadijah.

"Lo kenapa?" tanya Eldan heran.

"Nggak apa-apa," balas Hadijah.

Eldan mengusap wajah. Cewek emang rumit. Ditanya malah jawab nggak apa-apa. Kalau bukan itu ya kata terserah.

"Gue nggak mau tapi turunin lo," balas Eldan.

"Ih, apaan sih Dan, turunin gue." Hadijah memukul pelan punggung Eldan.

Eldan tak mempedulikan Hadijah, cowok itu semakin mempercepat laju motornya. Benar saja, sampai di depan sekolah, gerbang sekolah sudah terkunci.

"Yah nggak bisa masuk dong, harus nunggu jam istirahat selesai baru diperbolehkan masuk," ucap Hadijah sendu.

"Lo mau banget masuk emang? Nggak mau bolos sesekali?" tanya Eldan.

"Nggak, ngapain. Sekolah ya buat belajar," jawab Hadijah.

"Bolos aja yuk, sesekali."

"Gak mau Dan, lo aja sono,"

"Udah sih tinggal ngikut gue aja. Percuma lo di sini gerbang ditutup, nanti istirahat kita balik ke sekolah buat jalanin hukuman dulu baru masuk ke dalam kelas," Eldan tak suka dibantah. Cowok itu menyuruh Hadijah untuk duduk kembali di jok motornya. Hadijah menurut, ia tak dapat menolak ajakan Eldan. Dalam hati, Hadijah meminta maaf kepada orang tuanya karena sudah bolos sekolah.

Tak jauh dari sekolah, akhirnya mereka sampai di warung kopi tempat biasa Eldan, Hilmy, Ahdan dan Mikael nongkrong.

Hadijah celingak-celinguk.

"Ini serius kita ke sini?"

"Hm," gumam Eldan.

Keduanya masuk ke warung kopi. Eldan membeli secangkir kopi dan kentang. Sementara Hadijah membeli kopi dan mie rebus. Hadijah tak sempat sarapan pagi, jadi sekalian saja.

Selepas makan dan minum, dan sebelum membayar, Eldan menatap Hadijah.

"Hadi, tolong dibayar ya, nanti gue ganti. Soalnya gue cashless banget, di warung kopi ini nggak bisa pakai qris. Gue juga gak bawa HP sih," ucap Eldan.

"Oh oke, gue ke abangnya dulu," jawab Hadijah, membayar semua total pesanan.

"Makasih Hadi, nanti sampai rumah gue bayar ya total pesanan lewat bank BCA, gue lupa bawa hp hari ini,"

Menit selanjutnya mereka kembali menuju sekolah namun naasnya jam istirahat belum berdering, yang artinya mereka belum bisa menjalani hukuman dan masuk ke dalam kelas. Di sekolah ini emang seperti itu sistemnya. Siswa siswi yang telat tidak boleh diperbolehkan masuk ke dalam kelas sampai jam istirahat pertama berdering, baru mereka bisa menjalani hukuman. Hukuman di sekolah ini biasanya berupa memungut minimal sepuluh sampah, lalu diserahkan ke anggota OSIS. Baru setelah ini boleh masuk untuk mengikuti pembelajaran di kelas.

"Hp gue mati, belum sempat gue cas,"

"Ya udah dah, daripada nungguin, mending bolos aja sekalian. Sehari doang nggak apa-apa harusnya. Mumpung tingkat akhir di masa putih abu-abu, nakal kali-kali boleh lah, jangan belajar mulu pusing gue," ujar Eldan. "Ayo Hadi, ikut gue,"

"Gue terserah lo aja dah," jawab Hadijah. Eldan ini tipe yang agak pemaksa, kalau gak diturutin permintaannya dia bakal marah.

"Pegangan," Eldan menarik tangan Hadijah dan melingkarkan tangan Hadijah di pinggangnya.

"Ngapain sih harus pegangan kayak gini segala?" tanya Hadijah sebal. Latar belakang Hadijah yang cukup agamis. Hadijah jarang bersentuhan dengan lawan jenis. Perihal kemarin, Hadijah hanya kasihan pada Eldan makanya Hadijah membolehkan Eldan memeluknya dan menyenderkan kepalanya dipundaknya. Kalau bukan karena Eldan lagi terpuruk, Hadijah tak akan memberi izin pada Eldan.

"Lo mau jatuh? gue nggak tanggung jawab kalau lo jatuh," ucap Eldan melotot.

"Tapi emang harus kayak gitu banget ya?" tanya Hadijah.

"Nurut aja sih apa kata gue, cepet. Gue nggak terima penolakan dari lo atau lo mau jatuh ya silakan,"

"Iya-iya, gue pegangan!" mau tak mau Hadijah menurut dengan setengah hati.

"Nah gitu dong nurut," Eldan tersenyum. "Kita ke mall aja ya, gue lagi mau ke sana tapi pakai uang lo dulu ya Hadi, lo ada uang cash kan?"

"Ada kok," balas Hadijah.

"Banyak nggak? soalnya gue lumayan mau belanja banyak nih, sekitar dua jutaan,"

"Iya ada," balas Hadijah.

"Oke, ayo kita ke mall!" Eldan menancapkan gas.

TBC

hello, thanks for read this novel.

btw aku bingung mau lanjut kek mana lagi

saran dong hehe

The Journey of Eldan & HadijahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang