23

10 1 0
                                    

Besoknya, siang yang panas menyengat. Matahari awalnya terik sampai rasanya bisa bikin kulit terbakar kalau berdiri terlalu lama di bawahnya. Tapi, langit tiba-tiba berubah gelap, awan hitam menutupi matahari, dan hujan mulai turun perlahan, dari gerimis hingga jadi hujan deras yang menciptakan suasana suram.

"PANGGILAN KEPADA MAIRANURI ASHOFI, KELAS 12 IPS 1. SILAKAN KE RUANG KEPALA SEKOLAH. DITUNGGU SEKARANG, TERIMA KASIH."

Suara speaker sekolah bergema, memanggil Maira. Jantungnya langsung berdetak cepat. Rasa takut menyeruak di hatinya. Rumor tentang pernikahan sirinya pasti sudah sampai ke telinga para guru. Mampus, batinnya. Matanya berkaca-kaca, berusaha menahan tangis yang ingin tumpah.

Bodoh, rutuknya dalam hati.

Seharusnya dia mendengar Bunda. Seharusnya dia tidak membantah. Seharusnya dia tidak jadi anak durhaka. Tapi, semuanya sudah terlanjur terjadi.

"Aku temani, yuk, Mai. Jangan berpikiran buruk dulu. Doakan saja bukan hal yang buruk," kata Aiza sambil memeluk Maira erat.

"Duh, kayaknya bau-bau mau dikeluarin sama kepala sekolah, nih," celetuk Azam sambil nyengir.

"Cewek gak bener kayak Maira mah emang harusnya dikeluarin," sambung Lyona, mencibir.

"Ih, jangan lebay gitu dong, Na. Gue pikir, kita juga sebenarnya berlebihan nge-bully gengnya Maira. Kita jadi sama aja kayak mereka, itupun kalau beritanya benar Maira udah nikah siri,” potong Mikael yang tampaknya mulai sadar.

"Iya, bener kata Mikael. Kita kebawa suasana. Belum tentu Maira benar-benar ngelakuin hal memalukan kayak gitu," tambah Hilmy.

Mikael dan Hilmy memang baru sadar setelah kemarin malam dipaksa orang tuanya ikut ke masjid. Mungkin bisa dibilang, ceramah itu memberi mereka hidayah.

"Otakk kalian abis dicuci sama Maira, ya?" ujar Lyona nggak terima.

"Nggak, otak lo aja yang jahat," balas Hilmy. Yang pendiam pun tiba-tiba bisa bicara panjang lebar.

"Udah, Mai, Za, nggak usah dengerin mereka. Kalian mending langsung ke ruang kepala sekolah aja. Semoga kabar baik," ujar Mikael memberi semangat.

"Makasih, Mik," Aiza tersenyum.

Senyum Aiza sukses bikin Mikael jadi salah tingkah. Baru sadar ternyata Aiza manis banget.

Di depan ruang kepala sekolah, Maira mengetuk pintu pelan lalu masuk, sementara Aiza menunggu di luar sambil berdoa.

"Baik, Maira. Seperti yang sudah kamu tahu, ada kabar yang beredar tentang kamu dan Pak Daus. Apakah benar kalian menikah siri? Kamu tahu kan, peraturan sekolah ini melarang pernikahan bagi murid yang masih sekolah?" tanya kepala sekolah serius.

Maira berusaha menelan ludah.

Tidak, Pak. Berita itu tidak benar. Saya dan Pak Daus tidak menikah. Beliau hanya mengantarkan saya pulang dan kadang membantu saya. Hanya itu," jelas Maira dengan susah payah.

Kepala sekolah mengalihkan pandangan ke Pak Daus, yang berdiri di samping Maira. "Benar begitu, Pak Daus?"

"Benar, Pak. Saya hanya
mengantar Maira pulang, dan dia mengundang saya untuk mampir sebagai ucapan terima kasih. Kami duduk di ruang tamu, dan saya ngobrol dengan Bundanya Maira," jelas Pak Daus sambil mencoba meyakinkan kepala sekolah.

"Tapi saya belum yakin. Di foto yang beredar, kalian terlihat dekat sekali," ucap kepala sekolah dengan nada intimidatif.

"Pak Daus seru diajak ngobrol, Pak. Kami jadi nyambung waktu ngobrol," jawab Maira, mulai merasa muak dengan situasi ini.

Kepala sekolah menarik napas. "Baik, saya akan tunggu seminggu. Kalau dalam seminggu tidak ada bukti yang cukup, kalian berdua akan dikeluarkan dari sekolah ini. Kalian tahu kan SMA Mentari tidak mentolelir murid yang sudah menikah dan guru yang menikahi muridnya sendiri apabila murid yang dinikahi bersekolah di sini. Kalau begitu, kalian boleh keluar dari ruangan saya,"

Maira pucat. Di mana dia bisa dapat bukti kalau dia tidak menikah dengan Pak Daus?

"Mai, gimana?" tanya Aiza cemas begitu Maira keluar.

“Aku harus cari bukti kalo aku sama Pak Daus nggak menikah siri. Kalau nggak, aku bakal dikeluarin dari sekolah. Aku bingung, Za…” Maira akhirnya tak bisa menahan tangisnya lagi.

"Sabar, Mai. Pasti ada jalan keluar. Nanti aku bantuin, ya." Aiza mengusap punggung Maira, menenangkan.

"Sabar ya, Maira. Saya juga akan bantu cari solusinya," ucap Pak Daus sambil melangkah pergi agar tidak memperkeruh situasi.

Tak lama, Dalilah, Hadijah, Syifa, dan Eldan datang menyusul. Melihat situasi Maira yang sudah benar-benar terpuruk, mereka sepakat untuk tidak banyak tanya. Mereka semua pun berjalan menuju taman sekolah, tempat favorit mereka berenam.

Di taman, Maira memegangi kepalanya yang pusing. Sudah terlalu banyak menangis hingga matanya merah. Bayangan dikeluarkan dari sekolah, hancurnya hati orang tuanya, semua berputar-putar di pikirannya.

"Hai," sapa Mikael dan Hilmy yang tiba-tiba muncul.

Dalilah langsung mendengus kesal. "Mau apa kalian di sini? Mau bully kita lagi?"

"Bukan, Dalilah. Kami datang untuk minta maaf atas semua yang udah kami lakukan. Setelah denger ceramah di masjid, kami sadar kalau perbuatan kami salah besar. Maafin kami ya, semuanya," kata Mikael tulus sambil membungkuk. Hilmy ikut membungkuk.

"Ya udah, kan? Udah minta maaf, sana pergi," Dalilah mendengus, masih kesal.

Aiza yang selalu lembut hanya tersenyum, mencoba menenangkan. "Jangan gitu, Dal. Mungkin mereka beneran mau berubah. Mikael, Hilmy, ada keperluan apa?"

Mata Mikael langsung berbinar saat melihat Aiza. Salah satu alasannya ke sini adalah karena Aiza.

"Tadi kita abis beli minuman dan roti di kantin. Ini, diterima ya. Anggap aja sebagai permintaan maaf," ujar Mikael sambil menyerahkan roti dan air mineral kepada Aiza dan Syifa.

Aiza tersenyum kecil. "Wah, makasih ya, Mik, My. Ngerepotin kalian aja," katanya sambil terkekeh.

"Kalau buat lo mah nggak—eh, nggak apa-apa kok, Za," Mikael tersenyum malu-malu.

Dalilah yang masih kesal hanya bergumam pelan, "Ganggu aja sih."

Dalilah memang paling tegas di antara mereka. Kalau sudah nggak suka, bisa langsung bilang tanpa basa-basi.

"Geng, kepala gue pusing," keluh Maira tiba-tiba, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk, tak sadarkan diri.

"Mai! Mai, bangun, Mai!" Syifa berteriak panik. "Ayo, kita bawa dia ke UKS sekarang!"

The Journey of Eldan & HadijahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang