Pagi itu, dengan langkah ragu-ragu, Salsa memberanikan diri naik ke lantai atas. Ia ingin membangunkan Ronan untuk sholat Subuh berjamaah. Meski hatinya sakit karena perlakuan Ronan semalam, ia berusaha tetap menjalankan kewajibannya sebagai istri.
Salsa mengetuk pintu kamar Ronan dengan pelan. “mas Ronan, ayo bangun. Sudah Subuh,” ucapnya lembut, berharap Ronan merespons dengan baik.
Pintu terbuka, dan Ronan muncul dengan wajah malas dan masih setengah disembunyikan. "Apa sih?" tanyanya dengan nada kesal.
Salsa mencoba mengabaikan nada tajam itu. “Ayo sholat Subuh berjamaah. Kita memulai hari dengan doa bersama, ya?” ajaknya dengan nada penuh harap.
Namun Ronan hanya memancarkan cuek. “Apasih, bersik. Gue mau tidur lagi,” ucapnya dingin, tanpa mempedulikan perasaan Salsa. Tanpa basa-basi, dia menutup pintu kamar dengan keras, hampir membantingnya.
Rem! brak!!!
Suara pintu yang tertutup kasar itu terasa seperti ukiran bagi hati Salsa. Perasaannya berkecamuk, dan dadanya terasa sesak. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa dibendung. "Kenapa dia harus bersikap seperti ini?" Pikirnya, merasa kecil dan tak berharga.
Salsa berdiri di depan pintu kamar Ronan selama beberapa detik, mencoba menenangkan diri, tetapi jantungnya sudah terlalu terluka. Ia mengusap air matanya yang tak henti-hentinya mengalir dan berusaha menarik napas dalam-dalam.
Dengan langkah pelan, dia menuruni tangga dan kembali ke kamar bawah. Di sana, ia menggelar sajadah dan menunaikan sholat Subuh dengan hati yang hancur. Saat bersujud, tangisnya semakin deras. Ia berdoa dalam hati, berharap allah memberikan kekuatan dan kesabaran untuk menjalani pernikahan yang terasa begitu berat ini.
“Ya Allah, kuatkan hamba... Jika ini jalan hamba, berikan hamba kesabaran...” ujar Salsa dalam doa, meski rasa sakit masih menekan jantung.
Setelah selesai sholat, Salsa masih duduk di atas sajadahnya, terisak pelan. Ia merasa seolah-olah sedang berjalan sendirian di dalam gelap, tanpa tahu bagaimana harus melangkah lebih jauh. Tapi di dalam hatinya, ia bertekad untuk tetap bertahan.
“Mungkin dia akan berubah, mungkin ini hanya soal waktu...” Salsa berusaha meyakinkan dirinya, meski terus menghantuinya.
Sementara di kamar atas, Ronan kembali merebahkan diri di atas kasurnya, merasa puas karena bisa menghindari interaksi. Tapi di dalam hatinya, ada sedikit rasa bersalah. Meski tidak diucapkan, Ronan tahu dia telah menyakiti Salsa. Namun, alih-alih menghadapi perasaan itu, Ronan memilih untuk menutupnya rapat-rapat dan tenggelam kembali dalam tidur yang tak nyenyak.
Pagi-pagi sekali, Salsa sudah berangkat ke supermarket. Ia ingin memastikan semuanya sempurna di rumah, berharap bisa membuatkan sarapan untuk Ronan, setidaknya menunjukkan kepeduliannya sebagai istri. Dengan kantong belanja di tangan, Salsa pulang dan mulai sibuk di dapur—memotong sayuran, menggoreng telur, dan menyeduh kopi.
“Semoga dia suka,” batinnya, berusaha menyemangati diri di tengah suasana yang dingin.
Setelah selesai memasak, Salsa menata hidangan di meja makan. Dia membuatkan nasi goreng, telur mata sapi, dan segelas kopi hitam, mengingat Ronan sepertinya tipe pria yang menyukai makanan praktis. Saat semuanya tertata rapi, ia mendengar suara langkah kaki di tangga.
Ronan muncul dari lantai atas, sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih dan celana hitam, siap berangkat ke kantor.
“Selamat pagi mas ronan,” sapa Salsa dengan senyum kecil. “Aku sudah menyiapkan sarapan. Yuk makan dulu, sebelum berangkat.”
Namun, Ronan menatap hidangan itu sekilas dan memasang ekspresi dingin. “Saya bisa makan di luar,” ucapnya singkat sambil meraih tugas kerja.
Salsa tertegun, senyuman di wajahnya perlahan memudar. “Kenapa tidak makan di sini saja? Aku sudah masak khusus buat mas…” katanya pelan, nada suaranya terdengar memohon.
Ronan tidak peduli. “Ngak usah repot. Gue nggak butuh,” balasnya datar. Tanpa melihat Salsa lagi, Ronan berjalan menuju pintu, mengabaikan sarapan yang sudah disiapkan dengan sepenuh hati.
Salsa hanya bisa berdiri di depan meja makan, menatap punggung Ronan yang pergi begitu saja, meninggalkannya sendirian. Pintu rumah tertutup dengan suara lembut, tetapi bagi Salsa, terasa seperti tembok yang semakin tinggi di antara mereka.
Dia duduk di kursi meja makan, menyajikan hidangan yang tidak menyentuh. “Apa aku memang tidak berarti dia?” Pikirnya, menahan air mata yang mulai menggenang.
Namun, dia menahan diri untuk tidak menangis lagi. "Aku harus kuat," gumamnya dalam hati, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya bagian dari proses.
Salsa membereskan makanan yang ia siapkan. Dia tahu, perjalanan pernikahan mereka masih panjang, dan entah bagaimana caranya, dia harus menemukan jalan untuk bertahan. Tapi, di sudut hatinya, dia bertanya-tanya—sampai kapan dia bisa terus bersabar menghadapi dinginnya hati Ronan?
VOTE GA !!!!!🫵🏻
![](https://img.wattpad.com/cover/379566448-288-k87972.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
beRSampingan selamanya
Fanfiction"salsa hanya ingin bersampingan selalu sama mas ronan, menemani serta mengurus mas ronan sampai akhir hayat salsa" - salsa azahra