08 | i don't think i'd ever leave

719 155 65
                                    

Nina tidak pernah heran kenapa para wanita di kantor sangat mengidolakan Samudera. Terlepas dari wajah tampannya—Samudera memang wajar disukai karena kepribadiannya yang sangat baik. Dia pun paling peka pada perasaan wanita. Mungkin karena Samudera memiliki dua kakak perempuan. Sehingga dia lumayan punya pengalaman dalam menghandle mood perempuan yang memang kerap berubah-ubah. Setelah menurunkan Nina di halte, Samudera berpesan dengan nada perhatian khasnya.

"Kamu sering banget dengar cerita aku. So, don't hesitate to talk to me too. You know, I'm on your side."

Samudera memang cukup sering menceritakan bagaimana ia memendam perasaan pada Raline selama tiga tahun ini. Dan sebagai teman, Nina mendengarkan penuh perhatian. Memberi saran ketika diminta. Hanya saja, Nina tidak bisa melakukan hal yang sama. Walaupun semasa masih bersama Nina terbuka sekali pada Samudera. Ada beberapa di dalam dirinya yang berubah dan membuat Nina lebih suka menyimpan semuanya sendiri.

Rasanya lebih aman ketika tidak ada orang yang tahu apa yang ia rasakan dan pikirkan. Karena mau bagaimana pun, hanya diri sendiri lah yang paling mengerti.

Nina mendorong pintu coffeshop tempat ia dan Kian janjian. Lokasinya memang sangat dekat dengan tempat rumah sakit Kian koas. Suasana yang nyaman kerap dijadikan para mahasiswa koas sebagai tempat belajar. Ia melihat adiknya duduk di meja pojok. Dengan dua buku tebal yang terbuka serta iPad yang menyala. Senyum Nina mengembang, Kian selalu menjadi adik kesayangan tak peduli anak itu tidak pernah suka dimanjakan olehnya.

Menurut Nina, Kian terlalu cepat dewasa. Dia begitu pengertian sampai tidak pernah mengeluh atas apapun hal buruk yang menimpanya. Kedewasaan itu terkadang membuat Nina getir. Bukan karena dia tidak seperti Kian yang pemaaf dan pengertian. Melainkan hal itu membuat Kian tidak terlalu ekspresif pada perasaaanya.

"Semua udah terjadi, Kak. Mau kita marah, nangis, sedih ... nggak ada yang bisa dirubah, kan? So, jalanin aja. Dunia tetap berjalan walaupun hidup kita kacau."

Tidak ada yang salah dengan ucapan Kian. Namun sebagai manusia biasa, bukannya kita berhak untuk melempiaskan emosi kita, kan?

"Belajar mulu," Nina menegur seraya menarik kursi di hadapan Kian. Ia terkekeh mendapati adiknya membelalakkan mata terkejut. "Lama nggak nunggu kakak?"

"Nope," Kian menggeleng. Menutup buku dan iPad lalu meletakkan barang-barangnya di pinggir meja. "Baru, kok. Kamu mau apa? Biar aku pesenin?"

"Samain aja kayak kamu," balas Nina sambil meletakkan tote bag-nya di kursi sebelahnya.

Kian mengangguk. Mendorong kursi ke belakang lalu mengambil langkah ke counter untuk memesan. Selagi menunggu Kian, Nina meraih buku kedokteran adiknya. Menemukan banyak coretan di setiap lembarnya yang menunjukkan betapa kerasnya Kian belajar setiap hari. Nina terkadang tidak mengerti bagaimana cara Kian menyerap semua yang ia pelajari dengan mudah. Nina tidak pernah melihat adiknya stres karena terlalu banyak belajar.

"Ini ditambah coretan kamu aku jadi makin pusing bacanya," ucap Nina ketika Kian sudah selesai memesan dan kembali ke meja. Ia menutup buku dan menumpuknya lagi di pinggir meja.

"Gaya belajarku emang menulis. Aku lebih cepat nyerap kalau apa yang aku pelajarin ditulis," jelas Kian. "Gimana apart-nya? Aman nggak?"

"Aman, kok." Nina mengangguk. "Aman banget malah. Tempatnya juga nyaman."

"Good. Sorry, ya. Aku belum bisa mampir ke apart kamu. Tugasku lagi banyak. Ibu udah nyuruh aku buat cek tempat tinggal kamu ASAP."

"It's okay," Nina menggeleng. "Aku udah bilang kok sama ibu semuanya aman."

"Namanya juga orang tua, kak. Pasti khawatir anak perempuannya tinggal sendirian."

Semenjak ia lulus kuliah, ibunya memutuskan pindah ke Bandung. Rumah mereka di Jakarta dijual untuk modal usaha ibunya di sana dan sebagian lagi untuk biaya kuliah Kian. Sudah enam tahun Nina dan Kian hidup mengekos di Jakarta. Karena tidak satu kos akibat jarak kampus Kian dan tempat kerja Nina yang jauh—mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu atau mmengunjungi satu sama lain setidaknya dalam sebulan satu kali.

Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang