Nina menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi ketika kepalanya mulai panas tak peduli suhu AC di dalam ruangan justru terasa sangat dingin karena hujan di luar. Memasuki musim pancaroba, tubuhnya yang memang tidak pernah diajak hidup sehat mulai gampang sekali lelah. Terlebih jam tidur Nina sangat kacau. Meskipun ia sudah berusaha untuk tidak terlambat makan—tetap saja, hal itu belum cukup untuk melindunginya dari serangan penyakit.
Salah satu teman kantornya—Pedro—sudah mulai menunjukkan gejala demam. Sewaktu pria itu tiba di kantor dengan jaket tebal dan ujung hidung memerah—Nina langsung mengecek persediaan obat di laci mejanya. Ia tahu, Pedro paling malas minum obat kalau tidak digerus.
Padahal bagaimana bisa sembuh kalau tidak minum obat, kan?
Nina menoleh ke belakang mengecek keadaan Pedro yang tampak sibuk mengulik visual dengan telinga yang ditutupi oleh headset.
Sejak digabungkan dalam satu tim untuk pertama kali—mereka memang langsung cocok dan kompak. Pedro bekerja di Sembagi lebih dulu daripada Nina. Mulanya Nina ragu karena tidak tahu bagaimana ritme kerja Pedro. Banyak yang mengatakan Pedro agak sulit diajak berkomunikasi karena terlalu pendiam. Tetapi begitu ia terlibat langsung dengan Pedro—menurut Nina, Pedro tidak sesulit itu untuk diajak bicara. Kuncinya hanya saling bersikap jujur dan transparan. Jika ada yang mengganjal, Nina pasti membicarakannya. Dan Pedro sangat terbuka pada kritik.
Sebab sering disatukan dalam satu tim—mereka jadi semakin akrab dan kerap kali diledek karena hal itu. Tetapi Nina yang memang tipe cuek sementara Pedro pendiam—orang-orang akhirnya keki sendiri meledek mereka karena tak mendapatkan respon yang diinginkan.
"Mas Ped ..." Nina mengulurkan tangannya, mengetuk bahu pria itu dengan jarinya karena tahu Pedro tak akan merespon jika ia hanya memanggil menggunakan suara.Pedro yang sedang mengenakan headset sontak menengok. Matanya yang sayu mengerjap, lalu melepaskan headset yang menutupi telinganya. "Iya, Nin?"
"Udah minum obat?"
Pedro menggeleng. Ekspresinya seperti anak kecil yang butuh perhatian.
Nina mendengus geli. Lantas membuka laci dan mengambil satu tablet obat pilek. "Bentar, Mas," ucap Nina seraya mendorong kursinya ke belakang lalu beranjak ke pantry untuk mengambil sendok dan mulai menggerus obat tablet tersebut.
Ia kembali dengan obat tablet yang sudah digerus di dalam sendok. "Minum dulu, Mas," Nina memberikan Pedro segelas air, meminta pria itu meminum beberapa teguk sebelum akhirnya menyuapi Pedro dengan obat yang sudah digerus.
"Aw, so sweet banget ayah bunda gue," Nalendra yang melihat pemandangan itu sontak berkomentar dari kubikelnya. Mulai cengar-cengir tidak jelas. "Ah, elo, manja banget, Mas. Minum obat kudu digerus dulu. Disuapin lagi. Idiiiih."
Baik Nina maupun Pedro tidak ada yang menanggapi karena sudah terbiasa dengan ledekkan jahil Nalendra.
"Thanks, Nin," ucap Pedro sambil menatap Nina salah tingkah.
Nina mengangguk. "Ntar balik mampir ke apotik beli obat sirup ya, Mas. Masa sakit dibiarin aja, sih?"
"Mas Ped sengaja nggak minum obat biar diperhatiin lo tahu, Teh," lontar Nalendra ketika Nina kembali ke kubikelnya. "Modus doang dia mah!"
Pedro yang sejak tadi diam akhirnya berdeham keras sembari melemparkan lirikkan tajam pada Nalendra.
"Mending lo balik kerja deh, Nalen," tegur Nina begitu kembali duduk di kursinya. "Bentar lagi Mas Sam balik. Mau jawab apa lo kalau ditanya progres lo?"
Nalendra mengerucutkan bibirnya. Namun begitu pandangannya bertemu dengan Pedro, pria itu langsung mengangkat alisnya sambil senyum-senyum penuh arti.
Pedro mengumpat dalam hati sambil membuang muka. Kembali meraih tetikusnya dan mengarahkan pandangan ke layar laptop.
KAMU SEDANG MEMBACA
Called It Love
General FictionDibuat patah hati oleh orang yang paling ia sayangi membuat Kanina muak akan hubungan asmara. Ia tak lagi tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun. Lebih baik ia sendirian sehingga tak perlu takut disakiti. Sampai seorang pria yang bekerja di tow...