Setelah pertandingan basket yang tak terduga itu, Louis menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan penuh rasa bangga. Meskipun dia tahu Hyeon sengaja memberikan kesempatan, kemenangan tetaplah kemenangan, dan Louis benar-benar menikmati perhatian yang datang dari teman-temannya. Namun, di balik kebanggaannya, ada perasaan frustrasi yang tak bisa diabaikan. Kenapa gue selalu gagal kalau berhadapan dengan Hyeon?
Di satu sisi, Hyeon terus bersikap seperti biasa, dingin dan penuh wibawa. Namun, ada satu momen yang mengubah segalanya: Hyeon tertawa.
---
Di Kelas
Louis duduk di bangku kelas, menyandarkan kepalanya ke meja dengan wajah frustasi. Zayan yang duduk di sampingnya, tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda.
"Kau tahu nggak, Lou? Sejak pertandingan itu, kau jadi lebih terkenal. Kau bahkan berhasil mengalahkan ketua OSIS. Orang-orang pasti mengira kau hebat banget sekarang," kata Zayan dengan seringai lebar di wajahnya.
Louis mendesah panjang. "Hebat apanya? Itu semua cuma karena Hyeon kasih gue kesempatan. Kalau dia main serius, gue udah dihabisin di lapangan," gumam Louis. Dia menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Kenapa hidup gue selalu kayak gini, sih? pikirnya.
"Yah, tapi kau tetap menang. Dan lihat deh, cewek-cewek pada ngomongin kau sekarang," Zayan menepuk pundaknya, mencoba menghibur Louis yang tampak kusut. "Tapi kenapa kau masih kelihatan bete?"
Louis mendongak, menatap Zayan dengan mata sayu. "Gue tuh nggak ngerti, kenapa sih setiap kali gue ketemu sama Hyeon, gue selalu kena sial? Udah beberapa kali rencana gue buat menyingkirin dia gagal total. Gue bahkan nantang dia tanding basket, berharap bisa bales dendam, tapi malah... malah dia kasih gue kemenangan!" Louis menutupi wajahnya dengan kedua tangan, merasa malu sekaligus kesal.
Zayan tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, Lou! Itu justru bukti kalau Hyeon sebenarnya nggak sejahat yang kau pikirkan. Mungkin dia cuma mau bersenang-senang denganmu."
Louis menurunkan tangannya dan menatap Zayan dengan tatapan skeptis. "Bersenang-senang? Dengan gue? Lo gila ya?"
Zayan mengangkat bahu. "Hey, siapa tahu. Mungkin dia merasa ada sesuatu yang lucu dalam segala usahamu buat menantang dia. Gue rasa dia cuma nikmatin momen-momen kau mencoba jadi jagoan."
Louis mendengus. Lucu apanya? Gue udah berkali-kali dipermalukan di depan dia. Dia menggelengkan kepalanya dengan frustrasi. "Yang lebih ngeselin, setiap kali gue berusaha bales dendam, dia malah kelihatan makin tenang. Kayak dia nggak pernah terganggu sama gue."
---
Di Lapangan Basket (Lagi)
Setelah sekolah, Louis memutuskan untuk menghabiskan waktunya di lapangan basket, berharap bisa menenangkan pikirannya. Dia mulai berlatih menembak bola ke arah ring, berharap setidaknya bisa melupakan kekesalannya terhadap Hyeon. Namun, suara langkah kaki yang familiar terdengar mendekat.
"Kau serius mau latihan lagi, Louis?" Suara itu... siapa lagi kalau bukan Hyeon. Louis menoleh, dan seperti biasa, Hyeon berdiri di sana dengan sikap tenang dan wibawanya. Mata Hyeon sedikit menyipit, dan sudut bibirnya terangkat, seolah dia menahan tawa.
"Lo lagi?!" Louis hampir melempar bola ke arah Hyeon, tapi menahannya di detik terakhir. "Lo ngapain di sini?"
Hyeon mendekat, mengambil bola dari tangan Louis dengan santai. "Gue cuma penasaran, apa lo benar-benar mau jadi pro di basket atau cuma mau pamer di depan cewek-cewek?"
Louis terdiam, merasa jantungnya berdetak kencang. Sial, dia tahu aja niat gue!
"Gue... gue cuma mau latihan, kok," jawab Louis gugup sambil menggaruk belakang kepalanya.
Hyeon tertawa kecil. "Iya, latihan... buat pamer, kan?"
Louis membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar. Dia beneran tahu! Aduh, mati gue.
Hyeon melempar bola ke arah ring dengan gerakan mulus. Bola masuk tanpa menyentuh ring sama sekali. "Kalau lo mau menang tanding lagi, lo butuh lebih dari sekadar latihan. Lo butuh strategi... dan mental yang kuat."
"Ya, gue tau lah," jawab Louis dengan nada masam. Sial, kenapa dia harus datang dan bikin gue ngerasa makin payah?
---
Kehidupan di Sekolah yang Makin Berat
Semakin hari, Louis semakin merasa berat menghadapi Hyeon. Setiap kali dia mencoba mencari cara untuk menyingkirkan ketua OSIS itu dari jabatannya, rencananya selalu gagal. Bahkan ketika Louis mencoba mendekati beberapa anggota OSIS lain untuk mencari dukungan, mereka semua tampak terlalu takut pada Hyeon untuk berani membelot.
"Gue nggak ngerti, Zay. Kenapa semua orang takut banget sama Hyeon?" Louis mengeluh saat makan siang bersama Zayan di kantin. "Dia emang galak, tapi bukan berarti dia nggak bisa dilawan."
Zayan mengangkat bahu sambil mengunyah nasi gorengnya. "Mungkin karena dia emang kompeten. Gue denger dia selalu ngerjain semua tugas OSIS dengan sempurna. Nggak ada yang bisa nyamain standar kerjanya."
Louis menghela napas panjang. "Gue cuma pengen lihat dia sedikit hancur. Bukan berarti gue benci dia, tapi gue capek jadi target utamanya setiap saat."
Zayan tertawa kecil. "Ya, mungkin kau harus cari cara lain buat ngalahin dia. Bukannya cuma main basket atau rencana-rencana bodoh lainnya."
Louis memandang Zayan dengan tatapan serius. "Gue nggak bakal nyerah. Suatu hari nanti, gue bakal bikin Hyeon ngerasain gimana rasanya dipermalukan."
Zayan tersenyum jahil. "Good luck, bro. Tapi ingat, Hyeon itu nggak mudah dikalahkan."
---
Sesi Latihan (Lagi-lagi)
Beberapa hari kemudian, Louis kembali ke lapangan basket, kali ini lebih serius dari sebelumnya. Dia sudah bertekad untuk benar-benar mengalahkan Hyeon di bidang yang sama. Kalau nggak bisa lewat kepintaran, maka dia harus bisa mengalahkannya lewat keahlian fisik. Namun, saat sedang asyik berlatih, tiba-tiba muncul bayangan di atas kepalanya.
"Kali ini beneran serius?" tanya Hyeon dengan senyum licik.
Louis tersentak. "Lagi-lagi lo? Lo nggak punya hal lain yang lebih penting buat dilakukan?"
Hyeon mengangkat bahu sambil tertawa kecil. "Gue cuma pengen lihat, lo beneran niat nggak? Soalnya dari semua usaha lo, gue rasa lo lebih banyak buang waktu buat frustrasi daripada buat jadi lebih baik."
"Gue nggak frustrasi!" bantah Louis dengan cepat, meskipun jelas dari nada suaranya bahwa dia memang frustrasi.
Hyeon tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Sumpah, lo ini lucu banget, Louis. Setiap kali lo mau nyoba ngalahin gue, lo malah bikin gue makin ketawa."
Louis terdiam, menatap Hyeon yang masih tertawa. "Lo... lo ketawa karena gue?"
Hyeon mengangguk dengan senyum di wajahnya. "Iya, lo selalu bikin hal-hal jadi menarik. Setiap kali gue mikir lo bakal nyerah, lo malah bikin rencana baru yang, meskipun gagal, selalu bikin gue ketawa."
Mata Louis membelalak. Hyeon ketawa gara-gara gue? Dia tidak tahu harus merasa bangga atau semakin kesal. "Lo beneran seneng ngeliat gue menderita, ya?"
Hyeon menepuk pundaknya. "Nggak sepenuhnya. Gue cuma suka ngeliat lo nggak nyerah meskipun lo tau rencana lo bakal gagal."
Louis terdiam, merasa sedikit bingung. Apa ini berarti Hyeon... menghargai usaha gue? Tapi sebelum dia sempat memprosesnya, Hyeon sudah berjalan pergi, meninggalkan Louis dengan senyuman di wajahnya yang semakin bingung.
Zayan, yang dari tadi mengamati dari jauh, mendekat dan menepuk punggung Louis. "Bro, gue rasa lo harus terima kenyataan. Hyeon nggak cuma ketua OSIS yang galak. Dia juga orang yang mungkin... cuma butuh temen buat ketawa."
Louis menatap Zayan dengan ekspresi tak percaya. "Lo gila, Zay. Gue bukan pelawak buat dia."
Zayan tertawa. "Nggak, lo bukan pelawak. Tapi lo jelas bikin hari
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Mine
RomanceBE MINE bercerita tentang Louis, murid baru yang tidak terlalu beruntung, baru saja pindah ke sekolah elit di Korea. Di hari pertama, Louis langsung kena sial. Dia berurusan dengan ketua OSIS, Hyeon, yang terkenal galak, dingin, dan tidak punya tole...