Hari-hari Louis semakin kacau menjelang ujian. Jika di lapangan basket Louis masih bisa sok-sokan pamer dan bikin kesan, di bidang akademik, situasinya jauh lebih buruk. Louis benar-benar berada di ujung tanduk, terutama ketika sadar betapa parahnya nilai-nilai ulangan harian yang telah ia kumpulkan selama ini.
---
Di Ruang Kelas
Louis duduk di bangkunya, menatap lembaran soal ulangan yang baru saja dibagikan oleh gurunya. Angka besar berwarna merah terpampang di pojok atas kertas itu: 45/100.
Louis meremas-remas rambutnya dengan panik. "Sial! Gue bakal nggak naik kelas kalau kayak gini terus," gumamnya, berharap masalah ini bisa lenyap begitu saja.
Zayan yang duduk di sebelahnya dengan senyum lebar, malah terlihat tak terganggu. "Tenang, Lou. Gue juga nggak pinter-pinter amat kok, tapi santai aja, ujian akhir masih ada."
"Tapi lo paling nggak lulus! Ini gue! Gue bahkan nggak ngerti apa yang ditulis di buku pelajaran!" keluh Louis, suaranya sedikit bergetar penuh kecemasan. Bentar lagi ujian. Gue bener-bener tamat kali ini.
---
Di Lorong Sekolah
Setelah kelas berakhir, Louis berjalan di lorong dengan kepala tertunduk. Pandangannya mengawang, memikirkan betapa mengerikannya masa depan kalau sampai dia nggak lulus. Mungkin dia akan di-drop out? Pindah sekolah lagi? Aduh, gue bener-bener nggak bisa terus begini!
Tiba-tiba, dia mendengar suara yang sangat dikenalnya.
"Kau tampak putus asa, Louis." Suara tenang namun tajam itu membuat Louis langsung merinding. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Hyeon.
Louis menoleh, melihat Hyeon berdiri di depan pintu kelas dengan tangan terlipat. Kenapa dia muncul di saat-saat gue lagi mau nyari solusi?
"Apa urusan lo?" balas Louis dengan canggung, mencoba bersikap tenang. Tapi jelas, suaranya bergetar sedikit. Gue nggak mungkin minta bantuan dari dia. Dia pasti bakal ngetawain gue lagi.
Hyeon berjalan mendekat dengan langkah ringan, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Kau kelihatan butuh bantuan. Nilaimu jelek, kan?"
Louis ingin membantah, tapi dia tahu itu sia-sia. "Ya... gitu deh," jawabnya dengan nada malas, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
Hyeon tersenyum lebar. "Gue bisa bantu lo belajar, kalau lo mau."
Sial, dia malah nawarin diri buat bantuin gue belajar? Louis hampir pingsan mendengar tawaran itu. Tapi di balik tawarannya, Louis tahu ada niat tersembunyi: Hyeon pasti bakal menertawakannya nanti.
"Gue nggak butuh bantuan lo," jawab Louis dengan cepat, tapi jelas Hyeon bisa melihat kebohongan di balik kata-katanya.
"Beneran? Soalnya dari yang gue liat, lo bahkan nggak ngerti cara nyelesaiin soal matematika dasar," Hyeon berkata sambil menahan tawa.
Louis memandang Hyeon dengan tatapan sebal. Kenapa sih dia selalu ngerendahin gue?!
"Terserah lo deh. Gue bisa belajar sendiri," gumam Louis.
Hyeon hanya tertawa. "Baiklah. Kalau kau berubah pikiran, cari gue di ruang OSIS."
---
Di Ruang OSIS
Beberapa jam kemudian, Louis menyerah. Dia duduk di kamar, menatap buku pelajaran matematika yang seolah-olah tertawa mengejeknya. Sial, bener kata Hyeon. Gue nggak ngerti apa-apa.
Akhirnya, setelah mencoba berjuang sendirian dan berulang kali gagal memahami soal-soal latihan, Louis menutup buku itu dengan keras. Gue nggak punya pilihan lain.
Dengan langkah berat, Louis akhirnya menemukan dirinya berada di depan pintu ruang OSIS. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu, berharap Hyeon tidak akan terlalu jahat.
Pintu terbuka, dan Hyeon berdiri di sana dengan senyum mengejek yang sudah dikenal Louis. "Kau menyerah?"
Louis mendengus, wajahnya memerah. "Gue... butuh bantuan."
Hyeon terkekeh. "Gue tahu lo bakal dateng."
Louis merasakan darahnya naik ke kepala. Kenapa gue harus ngaku? Tapi dia tahu ini satu-satunya jalan kalau dia nggak mau gagal ujian.
---
Sesi Belajar Bersama Hyeon
Di dalam ruang OSIS, Hyeon menyiapkan buku pelajaran dan mulai menjelaskan soal-soal yang sebelumnya membuat Louis pusing tujuh keliling. Tentu saja, penjelasan Hyeon begitu jelas dan masuk akal-untuk Hyeon. Tapi bagi Louis, semuanya terasa seperti bahasa alien.
"Lo ngerti nggak?" tanya Hyeon, menatap Louis yang hanya bisa diam mematung.
Louis menatap soal di depan matanya, lalu memandang Hyeon dengan ekspresi bingung. "Ini... apa sih?"
Hyeon menutup matanya dan tertawa kecil. "Kau benar-benar nggak paham?"
"Ya gimana gue mau paham?! Lo ngomongnya kayak dosen yang jelasin buat anak kuliah!" protes Louis dengan frustasi. "Ini SMA, bukan universitas, bro!"
Hyeon tidak bisa menahan tawanya lebih lama. "Sumpah, Louis. Kau ini kocak banget. Gimana bisa lo bener-bener nggak ngerti matematika dasar kayak gini?"
Louis mengacak-acak rambutnya. "Yah, kalau gue pinter, gue nggak bakal di sini minta bantuan lo, kan?!"
Hyeon akhirnya duduk di samping Louis, mencoba menahan tawa sambil menunjuk soal di buku pelajaran. "Oke, oke. Gue jelasin pelan-pelan ya, biar otak lo nggak kebakar."
Louis mendengus, meski dalam hati dia bersyukur Hyeon mau sabar mengajarinya. Tapi tetap saja, cara Hyeon menertawakan kebodohannya itu membuatnya merasa sedikit lebih rendah.
---
Usaha Keras Louis
Beberapa hari berikutnya, Louis terus berusaha untuk belajar, meskipun setiap kali dia bertemu Hyeon, hasilnya sama: Hyeon selalu tertawa melihat betapa lambatnya Louis menangkap pelajaran.
"Serius, lo nggak bisa ngerjain soal ini juga?" tanya Hyeon suatu hari, menunjuk soal yang menurutnya sangat mudah.
"Gue udah coba, tapi jawabannya selalu salah!" keluh Louis sambil menatap kertas ujiannya yang penuh coretan.
Hyeon tertawa terbahak-bahak. "Lo... lo beneran bikin gue ketawa, Lou. Gue nggak tau kenapa lo bisa sepolos ini."
Louis merasa malu, tapi dia juga tak bisa memungkiri bahwa Hyeon benar-benar membantunya, meski sering kali dengan cara yang menyebalkan.
---
Akhir Sesi Belajar
Pada akhirnya, setelah berminggu-minggu belajar dengan Hyeon (dan ditertawakan sepanjang jalan), Louis mulai melihat sedikit kemajuan. Meski belum sepenuhnya paham, dia setidaknya tidak lagi merasa seperti orang bodoh total.
Di penghujung hari terakhir sesi belajar mereka sebelum ujian, Louis menatap Hyeon dengan tatapan serius. "Gue nggak tau gimana cara ngucapin terima kasih, tapi gue bener-bener berterima kasih."
Hyeon menatapnya dengan senyum kecil. "Nggak masalah. Lagian, lo cukup menghibur buat gue. Jadi, gue rasa kita impas."
Louis tertawa kecil. "Impas apanya? Gue udah bikin lo repot tiap hari."
Hyeon mengangkat bahu. "Anggap aja gue punya alasan buat ketawa setiap hari gara-gara lo."
Louis merasa sedikit malu, tapi dia juga senang karena setidaknya Hyeon tidak terlalu jahat seperti yang dia bayangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be Mine
RomanceBE MINE bercerita tentang Louis, murid baru yang tidak terlalu beruntung, baru saja pindah ke sekolah elit di Korea. Di hari pertama, Louis langsung kena sial. Dia berurusan dengan ketua OSIS, Hyeon, yang terkenal galak, dingin, dan tidak punya tole...