Begitu pula dengan Harja yang terperangah sekaligus terkejut melihat Nindya yang langsung berdiri dari duduknya. Kini ingatan Harja tertuju saat bertemu Nindya di depan gedung rumah sakit, Nindya yang sedang hamil besar menaiki mobil mewah. Lalu dia mengingat bayi laki-laki yang tampan di restoran yang merupakan anak pemilik Rukmana Group. Harja terus menguras memorinya, mengingat Bayu yang dengan gagahnya memiliki mobil mewah, lebih mewah dari mobilnya, kemudian Citra yang sangat terawat dan cantik, ke luar dari klub olah raga mahal.
Harja memandang Tirta yang tampak tenang berdiri di antara keduanya yang sama-sama terkejut.
"Ja ... ja ... jadi, kamu ... kalian ... menikah?" Harja benar-benar gugup. Tidak menyangka dengan apa yang dia saksikan sekarang. Dia melihat Nindya yang anggun dan cantik, tubuh yang tinggi semampai dan terawat, lalu dia menoleh ke Tirta yang masih dengan posisi tenangnya.
"Duduklah, Harja," suruh Tirta, mengarahkan tangannya ke sofa.
Harja menoleh sebentar ke Nindya, lalu duduk di hadapan Tirta.
Nindya masih mengatur deru napasnya yang memburu, tangannya yang menggantung terlihat gemetar, bibirnya kaku tak sanggup berucap satu katapun. Dia menatap ke arah Tirta dan menggeleng, tidak menyangka suaminya selama ini menutupi sesuatu darinya.
"Kalian saling mengenal?" tanyanya akhirnya, setelah sekuat tenaga menenangkan diri.
Tirta melangkah mendekati istrinya dan mendekap pinggangnya, hendak membimbingnya agar duduk di sofa di depan Harja.
"Mas!" Nindya bergerak menolak.
"Duduk, Sayang. Kita bicarakan baik-baik," ujar Tirta sambil mengusap-usap pinggang istrinya.
Harja sempat melirik tangan Tirta yang mendekap pinggang Nindya yang lebih ramping dan padat, entah kenapa dia tiba-tiba merasa resah dan cemburu. Cemburu? Harja cepat-cepat menepis kecemburuan itu karena menyadari dia tidak pantas cemburu.
Nindya menepis tangan Tirta dari pinggangnya, dan melangkah cepat menuju sofa dan duduk di depan Harja. Dia tampak sangat gusar, tapi dia tidak bisa menghindar dari beragam pertanyaan yang mampir di benaknya, ada apa semua ini, mengapa Tirta mempertemukannya dengan Harja, mengapa suaminya menutupi semua ini.
Tirta mengamati gelagat Nindya yang gusar dan menahan amarah. Dia pasrah seandainya malam ini atau malam selanjutnya, istrinya marah kepadanya.
Tirta duduk di samping Nindya.
"Ya, kami saling mengenal. Harja sudah bekerja puluhan tahun di perusahaan ini, Nindya. Aku tahu kamu tidak pernah tahu dia bekerja di mana selama ini—"
"Aku bisa jelaskan kenapa aku tidak menceritakannya, Tirta," sela Harja, menoleh ke Nindya yang menggeram. "Aku ... waktu itu tidak suka ditanya. Dia bertanya di hampir setiap hari dan itu sangat membosankan. Aku menilainya perempuan yang tidak tahu apa-apa dan percuma bagiku untuk mengajaknya membicarakan tentang pekerjaan."
Mendengar jawaban Harja barusan, Tirta menilai bahwa Harja sedari awal memang tidak mencintai Nindya, dan hanya memanfaatkan kenaifannya.
Harja menatap hamparan meja, tidak mau memandang Nindya, begitu pula dengan Nindya yang enggan melihat wajahnya.
"Kamu harus mendapatkan persetujuan dari Nindya sebelum kamu mulai bekerja di sini. Jika dia setuju, aku akan menerimamu kembali," ujar Tirta.
Tentu saja Nindya kesal, dia tidak mengerti apa maksud dari semua ini.
Harja mengingat kata-kata istrinya sebelum dia memutuskan datang ke kantor Tirta, dan dia menyesal tidak menurutinya. Dia seharusnya tidak datang dan sekarang dia benar-benar merasa dipermalukan.
Harja bangkit dari duduk, menatap Nindya yang tidak sudi memandangnya, lalu melihat Tirta yang masih dengan posisi duduk tegapnya. Dia berkata sambil menahan amarah. "Aku ... tidak perlu mendapatkan persetujuan dari siapapun. Aku ... tidak akan meminta pekerjaan darimu lagi. Terima kasih."
Harja melangkah tergesa-gesa meninggalkan kantor Tirta.
Tirta menghela napas panjang, ini tidak seperti yang dia harapkan. "Seharusnya dia meminta maaf—"
"Apa yang kamu harapkan dari orang seperti dia. Aku sudah katakan kepadamu dia tidak akan pernah mau meminta maaf. Dia tidak akan pernah sadar." Nindya sudah lebih tenang, dan dia bangkit dari duduknya. "Aku mau pulang."
"Nindya. Tunggulah dulu."
"Aku merasa seperti pernah mengalami ini sebelumnya ... seseorang yang amat sangat aku sayangi kembali menutupi sesuatu dariku." Nindya berusaha menahan tangisnya.
"Hei, Nindya. Aku bukan bermaksud begitu." Tirta hendak mendekati Nindya, tapi Nindya mundur dan dia tidak mau didekati.
"Baiklah." Tirta mengerti perasaan Nindya dan dia menghubungi seseorang untuk mempersiapkan mobil untuk mengantar Nindya dan Tristan pulang.
***
Tirta tetap bekerja seperti biasa setelah Nindya pergi dari kantornya. Dia merasa lega karena pada akhirnya bisa "mengusir" Harja dari Rukmana Group. Dia sudah sedari dulu ingin mengusir orang yang tidak jujur itu, walaupun orang itu telah bekerja lama dan memberi keuntungan ke perusahaan selama puluhan tahun.
Tentang perasaan Nindya, Tirta yakin Nindya pasti akan memaafkannya dan mengerti alasannya yang telah menutupi semua ini, walaupun dia tahu bahwa dia harus melewati proses yang tidak mudah, dan dia siap menghadapinya.
"Nindya tentu lebih paham Harja daripada kamu, Tirta. Dan aku sependapat dengan Nindya bahwa seorang Harja tidak akan mau mengakui kesalahan sampai kapanpun. Kamu bos di sini, dan kamu nggak pernah secara langsung bekerja sama dengannya dalam satu proyek, dan aku sudah merasakannya berkali-kali. Dia licik, dia manipulatif, sebaiknya kamu tidak mempedulikannya lagi dan tidak perlu memberinya waktu bertemu secara khusus dengan Nindya seperti tadi pagi. Buat apa?"
"Setidaknya Nindya tahu bahwa aku mengenal Harja."
"Dan kamu akan tidur di sofa malam ini."
Tirta berdecak dan tersenyum tipis, itu sudah dia perkirakan.
"Tapi aku senang, Tirta. Paling tidak dia punya malu untuk kembali ke sini. Aku agak cemas memikirkan seandainya Nindya memberinya persetujuan kepadanya dan dia kembali bekerja, dia pasti akan lebih garang dari pada sebelumnya dan bekerja penuh rasa dendam."
Tirta membenarkan perkiraan Razak, walaupun tidak sepenuhnya sependapat.
Terdengar suara notif dari tablet Razak yang tergeletak di atas meja sofa, dan Razak tersenyum lebar. "Tirta, lihat. Aku menambah level kerjasama dengan Rubiantara dan mereka menyetujui. Kita untung besar tahun ini."
Tirta menepuk pundak Razak, bangga akan kejujuran Razak. Dia selalu terbuka dan transparan menjelaskan bagaimana dia menangani setiap proyek yang dipercayakan kepadanya.
***
Meskipun perasaannya kesal, Nindya tetap bersikap manis dan penuh kasih sayang kepada Tristan. Dia berada di kamar Tristan sekarang dan bermain bersamanya. Pikirannya kalut dan takut, berpikir seandainya Tirta terus menerus menyembunyikan sesuatu darinya dan tidak berterus terang kepadanya, Nindya merasa tidak sanggup menjalankan kehidupan seperti yang pernah dia alami dulu.
Nindya menyadari bahwa keadaannya berbeda sekarang dan Tirta yang akhirnya mulai berterus terang, tapi dia masih mengkhawatirkan kemungkinan Tirta yang akan menutupi sesuatu darinya di masa mendatang. Apalagi Tirta dulu dikenal genit dan terlalu ramah kepada lawan jenis, dan itu membuatnya tersiksa. Dia tidak mau itu terulang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Setelah Berpisah
RomanceKisah kasih janda dan duda Baca selengkapnya di Dreame or Innovel dengan judul "Dicintai Atasan Mantan Suamiku." Napen: elkariem99