Lestari terdiam di ujung sana. Ada sengketa tanah dua hektar antara almarhum Agum dan almarhum kakek Puspa di masa lalu. Kedua belah pihak sama-sama mengklaim bahwa tanah tersebut adalah tanahnya dengan membeberkan bukti-bukti. Namun, sengketa itu dimenangkan pihak Agum karena dia memiliki bukti yang lebih banyak dan asli, tapi kakek Puspa menyebut Agum telah bermain licik, sampai akhirnya dia meninggal dunia. Sejak itu keluarga Puspa tidak menyukai Agum dan keluarganya. Sampai pada akhirnya mereka menyuruh Puspa magang dan bekerja di sana, sebagai mata-mata. Tapi Puspa terlalu muda dan tidak pandai bekerja. Bak gayung bersambut, salah satu kepercayaan Agum, Harja, bisa digoyahkan oleh seorang Puspa, juga Puspa yang sangat mencintainya. Kebetulan pula Harja mengaku memiliki masalah yang sangat rumit dengan istrinya. Rencana menjatuhkan Rukmana semakin kencang, meskipun Harja beberapa kali dijegal.
"Haha."
"Kenapa tertawa, Tari?" tanya Tirta, mendengar Lestari yang tertawa tiba-tiba.
"Aku merasa geli saja, Tirta. Puspa kecil dulu senang melihat kita berdua dulu saling menyapa dengan panggilan mami dan papi, lalu dia berkata kepadaku ingin menirunya saat berumah tangga. Dia meniru kita ... aku merasa geli mereka saling sapa dengan memanggil papi dan mami padahal dulu mereka belum menikah."
Tirta ikut menertawai cerita Lestari.
"Bahkan, haha ... aku baru menyadari jika Harja selalu ingin menirumu. Haha, Tirta. Dan pada sekarang, mantan istrinya yang menjadi istrimu. Aku bisa bayangkan dia saat tahu Nindya adalah istrimu ... aku ... aku ingin sekali melihatnya."
Tirta tertawa lepas, "Baru kali ini aku mendengar kamu tertawa lepas, Tari."
"Iya, Tirta. Aku bisa tertawa sejak bebas dengan Stella yang sudah damai dengan semua masalah hidupnya. Aku bahagia sekali melihat orang-orang bahagia dengan hidup mereka masing-masing, termasuk hidupmu. Bagaimanapun, kamu adalah papi dari anak-anakku."
"Ya. Hm ... Nindya sudah selesai mandi. Giliran aku yang keramas."
"Dasar."
"Pulanglah cepat ke Bandung, aku yakin Indra pasti merindukanmu."
"Baik, Tirta. Salam hangatku untuk Nindya."
Tirta cepat-cepat kembali ke dalam kamar dan memburu Nindya yang masih memakai handuk. Dia memeluk istrinya itu erat-erat.
"Wangi sekali, hm ... aku mau lagi rasanya."
"Haha, Mas. Kenapa nggak sekalian pas aku mandi."
Tirta merenggangkan pelukannya dan menatap wajah binar Nindya setelah mandi yang sangat menyejukkan perasaannya. "Hmm. Apakah kamu bersedia?"
Nindya mengangguk, melepas handuknya begitu saja, dan membiarkan Tirta mendorong tubuhnya hingga terduduk di atas sofa bench di depan tempat tidur mereka. Mata Tirta membulat besar saat melihat sekujur tubuh polos istrinya yang mulus, hanya terlihat kerutan samar di bagian perut dan pinggang. Tirta tidak masalah, dan malah membuatnya lebih semangat dan bergairah.
Tirta merenggut leher Nindya dan melumat bibirnya sebentar, sebelum kemudian dia memasukkan kejanta*annya yang gagah ke liang lembab yang basah.
Lalu keduanya berdesah bersahut-sahutan, Nindya yang mengangkang menatap genit wajah Tirta yang terlihat sangat menikmati setiap hentakan.
"Enaknyaaa. Ini pagi yang indah, Sayang." Tirta menghentak cepat sampai pelepasan.
***
Harja tersenyum tipis saat mengetahui bahwa namanya termasuk dalam tim pengelola proyek rumah sakit internasional bagian logistik. Dia sebenarnya berharap Razak atau orang-orang yang dia kenal lama yang akan memimpin proyek tersebut dari tim Rukmana Group, tapi Tirta memilih kerabatnya yang baru saja bekerja tiga bulan di Rukmana, Elias namanya, yang tidak lain adalah adik ipar Titania. Elias adalah adik kandung Anton, suami Titania.
Orang-orang mengira Tirta akan memilih Razak. Tidak dipilihnya Razak memimpin tim Rukmana dalam mega proyek rumah sakit tersebut membuat orang-orang menduga adanya perselisihan di antara keduanya; Razak yang terlihat jarang bersama Tirta, juga jarang ke kantor. Hanya Samsul yang sering terlihat mendampingi Tirta ke manapun.
Senyum tipis Harja berubah menjadi senyum lebar dan puas, sebuah surel yang dia harapkan datang dan menyatakan persetujuan sebuah kerjasama.
"Ardi, kamu konsep surat pengunduran diri saya dari tim proyek Rubiantara Hospital," ujar Harja ke sekretarisnya melalui interkom.
"Alasannya, Pak?"
Harja memejamkan matanya sejenak, "Hm ... bilang saja di surat itu bahwa saya ingin fokus dengan pekerjaan inti sebagai ketua pengawas lapangan seperti biasa di Rukmana. Saya khawatir tidak bisa fokus mengurus proyek tersebut."
"Baik, Pak."
"Setelah selesai, kamu kirim ke Sindi, saya akan ke kantor pak Tirta setengah jam lagi."
Harja menutup teleponnya lalu lanjut membalas surel yang masih tertera di layar komputer besarnya.
Harja sudah memperhitungkan berapa banyak uang yang dia dapatkan jika bergabung dalam proyek raksasa tersebut, dia bisa meraup banyak uang setidaknya dua ratus sampai tiga ratus milyar dan tidak bisa lebih dari itu, jika proyek tersebut dipimpin orang-orang yang dia kenal lama. Namun, pada kenyataannya, Tirta memilih kerabatnya, dan tentu saja dia tidak bebas bergerak. Menurutnya, lebih baik mengundurkan diri saja.
Sekarang, proposal pengajuan kerjasama dengan perusahaan batu bara di Kalimantan diterima, dan dia bisa meraup lebih dari yang dia dapatkan dari posisinya sebagai tim logistik di proyek rumah sakit tersebut. Harja memilih fokus dengan kerjasama barunya dengan perusahaan lain sebagai mata pencaharian sampingan, dengan tetap bekerja di Rukmana.
Tak lama kemudian, Ardi menghubunginya lewat interkom memberitahu bahwa surat pengunduran dirinya sudah selesai dikirim ke sekretaris utama.
Harja menghela napas lega, dan dia melanjutkan pekerjaannya.
Setengah jam kemudian, dia mengambil ponselnya dan menghubungi Sindi secara pribadi.
"Iya, Pak Harja?" Seperti biasa suara Sindi mendayu-dayu terdengar.
"Sudah kamu serahkan surat itu ke bosmu?"
"Oh, tentu saja, Pak. Kan surat internal penting. Apalagi Bapak, 'kan pejabat di sini."
"Baiklah, apa bisa aku bertemu bosmu?"
"Oh, bisa. Kebetulan dia lagi santai sama bestinya, jadi Bapak bisa langsung ke kantornya sekarang,"
"Razak?"
"Iya."
Harja tercenung sebentar, ternyata Tirta dan Razak masih dekat, tidak bermusuhan seperti desas desus yang dia dengar.
Harja melirik arloji mahalnya sebentar lalu berucap, "Aku ke sana beberapa menit lagi."
"Ditunggu, Pak Harja."
***
Beberapa saat sebelumnya,
Sindi mengernyitkan dahinya saat membaca surat pengunduran diri Harja dari proyek rumah sakit internasional. Sesaat kemudian, dia tersenyum sumringah senang dengan pengunduran diri tersebut. Itu artinya dia tidak akan sering bertemu Harja karena dia akan sering berurusan dengan orang-orang yang terlibat dalam proyek tersebut. Sindi kurang menyukai Harja sejak Harja dekat dengan Puspa beberapa tahun lalu. Di saat orang-orang percaya Harja dikhianati istrinya dulu, dia justru mencurigai Harja yang berbohong, dan kecurigaannya terbukti sekarang. Bahkan, mantan istri Harja menikah dengan bosnya dengan segala cerita yang membenarkan dugaannya, bahwa Harjalah yang melakukan perselingkuhan dengan Puspa.
Karena surat pengunduran diri Harja termasuk bagian penting dan dianggap mendesak, Sindi mencetak surat tersebut dan bergegas ke ruang kerja Tirta.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Bahagia Setelah Berpisah
RomansaKisah kasih janda dan duda Baca selengkapnya di Dreame or Innovel dengan judul "Dicintai Atasan Mantan Suamiku." Napen: elkariem99