Bab 144. Bahagia Bayu

1.5K 266 10
                                    

Duta ikut senang karena Bayu akhirnya melewati masa-masa pacaran indah. Chelsea adalah gadis pintar dan bisa mengimbangi Bayu yang juga pintar secara akademik. Duta sendiri masih menunggu Citra sampai usianya tujuh belas tahun, dan sudah mengatakannya ke Bayu.

"Tenang, Dut. Bulan depan Citra tujuh belas, bisa kita double date."

"Di cafe Chelsea? Dan kamu yang traktir."

"Haha, bukannya kebalik, yang jadian dong yang nraktir."

Duta tertawa renyah, dia baru sadar belum mentraktir Bayu saat baru pacaran dulu, sedangkan Bayu sudah beberapa kali mentraktirnya setiap dia datang mengunjungi Cafe.

"Oke deh."

"Canda, Dut. Kamu dan Citra kita gratiskan selama-lamanya."

Duta tertawa renyah, dia tahu Bayu tidak akan mau menerima uang darinya. Dia pernah hendak membayar saat berkunjung ke cafe Si and Sa, Bayu dan Chelsea kompak menolak uangnya.

"Eh, gimana rasanya pacaran sama bule?" tanya Duta sambil memainkan alis matanya.

"Ya, asyik dong."

"Pasti setiap ketemu cipokan sampe mual."

"Haha, ya namanya juga pacaran."

"Cieee."

"Enak ya sudah direstui kedua belah pihak."

"Iya, tapi sempat ngadet, nggak lancar kayak jalan tol seperti yang kamu bilang dulu di awal."

Wajah Bayu berubah sedikit murung.

"Kenapa, Yu?"

"Nggak sih. Aku hanya mikirin mamanya Chelsea. Dia sudah menghubungi mamaku untuk bujuk aku supaya segera melamar Chelsea dan menikah."

"Hm ... wajarlah, Chelsea, 'kan sudah dua puluh limaan."

"Iya, Dut. Aku belum berpikir sejauh itu, maunya selesain kuliah, setelah itu baru menikah."

"Chelsea sendiri gimana?"

"Dia nurut aja akunya gimana. Mamanya tuh khawatir kalo pacaran trus gampang bosan dan putus, bisa-bisa nggak nikah-nikah. Padahal aku emang sudah serius sama dia."

"Ya, namanya orang tua mikirnya gitu. Aku aja udah udah dinasihati mama, kalo pacaran tuh nggak boleh yang lama-lama, harus serius dan langsung atur strategi menikah. Tapi lucunya pas aku bilang mau pacaran sama Citra ... Eh, mamaku bilang ya sudah kamu jadian dulu tapi nggak boleh macam-macam, nggak apa-apa lama-lama pacaran, pokoknya kawal dia sampe selesai kuliah, kamu harus berhasil menikah dengan Citra."

"Haha."

"Aku sudah direstui mamaku, Yu. Kamu juga merestui aku ... ini tinggal nunggu bulan depan, semoga Citra mau sama aku."

Bayu tersenyum hangat, senang dengan keseriusan Duta dengan adiknya.

"Tapi ujung-ujungnya mama bilang nanti wali nikah Citra, 'kan pasti papa kamu tuh. Kira-kira papa kamu mau datang nggak? 'Kan sudah bilang nggak mau tanggung jawab."

"Yang ada si Citra yang nolak."

"Ih, jangan sampe kita berdua gitu ya, Yu. Amit-amit."

"Iya, Dut. Aku bisa ambil hikmah berharga dari apa yang keluarga aku lewati, bahwa membangun keluarga itu sulit, menyatukan sifat dan sikap itu nggak mudah. Emang harus banyak ilmu mengalah dan bersyukur, kayak mamaku ... kayak papiku, itu kayaknya yang bikin mereka jarang sekali berantem. Emang sih, mereka belum lama menikah, tapi aku bisa melihat bahwa mereka akan langgeng ke depan, dari sikap yang mereka tunjukkan sekarang."

"Yah, kayaknya keduanya sadar bahwa mereka dulu pernah gagal, lalu sama-sama memperbaiki dan introspeksi diri, dan mengurangi sisi naif mereka masing-masing."

Bayu tersenyum lebar mendengar pendapat sahabatnya. "Bener banget, Dut. Aku melihatnya seperti itu. Mamaku yang lebih tegas dan tidak lembek kayak dulu, papi juga nggak genit lagi. Cuma ya... satu yang bikin aku pusing."

"Apa, Yu?"

"Papi kalo mesra sama mama suka sembarangan."

"Haha, kamu ngintip mereka cipokan atau sampe begituan?"

"Bukan ngintip, Dut. Jelas-jelas aku ke dapur ambil minum di kulkas, melihat mereka cipokan hebat. Sampai aku denger mamaku bilang Mas Tirta, sudah, Mas. Ada Bayu. Eh, si papi malah bilang gini nggak apa-apa, Nindya Sayang. Dia sudah dewasa dan mengerti." Bayu memelankan suaranya saat melanjutkan ceritanya, "Pernah aku melihat papi ke luar dari ruang laundry, sambil baikin celana, ternyata ada mamaku di ruang laundry."

Duta terbahak-bahak mendengar cerita Bayu tentang kemesraan mamanya dan Tirta.

"Duh, mana mamaku sedang hamil lagi."

"Berarti om Tirta mencurahkan genitnya ke mamamu, Yu. Ya nggak salah."

"Salah tempat, Dut."

"Haha, benar juga ya."

Bagaimanapun, Bayu mengaku sangat bahagia dengan keseruan keluarganya sekarang, terutama papinya yang sangat perhatian kepadanya dan adik-adiknya.

Tiba-tiba Bayu merasakan getaran ponsel di dalam saku celananya. Ternyata Chelsea yang menghubunginya.

"Halo, Chelsea?"

"Bayu, jadi ke café siang ini?"

"Iya. Aku akan ke sana."

Bayu dengan cepat mengakhiri panggilannya. "Aku ke café dulu, Dut," ujarnya dan bergegas bangkit dari duduk dan melangkah ke luar kelas.

Setelah Bayu pergi dari kelas, Duta diam-diam mengambil ponsel dan membaca sebuah pesan dari Citra. Dia tersenyum lebar, Citra mau diajak ke mall sore ini berdua.

***

Bayu langsung memakai apron hitam saat tiba di café, melayani dengan sigap para pengunjung. Dia belum melihat Chelsea di café.

"Chelsea lagi di gudang, Bay," ujar Clarissa saat ditanya. "Lagi ambil bahan-bahan kue yang kurang. Hari ini rame banget. Ada yang ultah, tapi tetap bisa kehandle."

"Oh, aku nggak liat Kevin."

"Dia off setengah hari, sore balik lagi, ikut tes pegawai pemerintah."

"Wah, berkurang pegawai terbaik."

"Ya, begitulah kalo berbisnis, kendala juga datang dari pegawai. Tapi kita hormati keinginan mereka. Namanya juga berusaha mencari mata pencaharian yang lebih baik. Nggak salah, Bay."

"Iya."

Baru saja Bayu selesai melayani satu pengunjung, Chelsea datang bersama Widi, staff kepercayaannya. Dia menyapa Bayu sebentar dan langsung bekerja. Bayu ikut membantunya dan menyemangati. Beberapa hari lalu Chelsea mengeluh lelah karena terkadang tidak sanggup melayani banyaknya pelanggan. Bayu menasihatinya untuk tidak menyerah, tapi mencari strategi bagaimana bisa menangani bisnis dengan baik. Akhirnya Chelsea menutup layanan online dan fokus melayani langsung dari café. Tampaknya hari ini Chelsea lebih semangat, karena kehadiran Bayu.

"Tante Nindya tinggal nunggu hari, Yu?" tanya Chelsea setelah memasukkan kue-kue ke dalam pemanggang.

"Ya. Sempat pendarahan kecil, tapi kata dokter belum."

"Wah, pasti om Tirta deg-degan. Apalagi katanya tante nggak mau sesar."

"Kok kamu tahu?"

"Mamaku yang cerita. Om Tirta mengeluh sampe ke Rotterdam. Dulu pas sama tante Lestari nggak segitunya sampe gelisah. Mama bilang om Tirta takut banget tante Nindya gimana-gimana. Segitu sayangnya dia sama tante."

"Ya, samalah kayak aku sayang ke kamu, Chels," ujar Bayu dengan tatapan sendunya ke Chelsea.

Chelsea terdiam dan pipinya bersemu merah. Sementara Clarissa dan Widi saling pandang dengan mata melotot, lalu Clarissa menggeleng dengan bibir mencebik.

"Sudah sana, ini bisa aku urus," usir Clarissa, mengerti Bayu dan Chelsea sama-sama menahan kerinduan.

Bersambung

Bersambung 

Bahagia Setelah BerpisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang