Keesokan harinya, Zean bangun dengan semangat. Pertemuannya dengan Adel kemarin terus terngiang-ngiang di benaknya, membuatnya semakin mantap untuk mengenal gadis itu lebih dalam. Namun, pikiran tentang Chiko tetap menghantuinya. Zean tidak bisa melupakan bagaimana tatapan Chiko saat mereka bertemu di kafe kemarin, tatapan yang penuh dengan tekanan seolah memberi sinyal bahwa Chiko melihatnya sebagai pesaing.
Saat sarapan bersama, ibunya, Shani, memperhatikan Zean yang tampak tersenyum sendiri. Ayahnya, Gracio, duduk di seberangnya sambil menyeruput kopi, tampak tertarik untuk tahu apa yang ada di benak putranya.
"Kamu kelihatan bahagia, Zean. Masih kepikiran dia, ya?" tanya Shani, tersenyum penuh arti.
Zean mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya, Bun. Rasanya... kali ini beda. Ada sesuatu dari dia yang bikin Zean nggak bisa berhenti mikirin dia."
"Itu bagus nak, itu berarti kamu sudah bisa semakin serius dengan dia, tapi apa kamu gak punya saingan?" Gracio bertanya, mencoba menebak apa yang ada di pikiran putranya.
Zean menghela napas, lalu mengangguk. "Mungkin, Yah. Kemarin ada dosennya, Pak Chiko, yang kelihatannya juga cukup dekat sama Adel. Dari cara dia menatap Adel, Zean bisa merasakan dia menganggap Zean sebagai saingan."
Shani tersenyum bijak dan meletakkan sendoknya. "Kalau begitu, kamu harus berusaha lebih keras untuk menunjukkan keseriusanmu pada Adel, Nak. Jangan biarkan kehadiran orang lain mengubah tujuanmu. Kalau memang kamu serius dan yakin, semua akan berjalan sesuai harapan."
Perkataan ibunya membuat Zean tersenyum dan merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa ia harus membuktikan ketulusannya pada Adel, bukan hanya untuk memenangkan hatinya, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa ia serius ingin mengenalnya lebih dalam. Zean merasa semakin bersemangat, bertekad untuk tidak membiarkan keraguannya menghalangi niatnya.
Di kantor, Zean mencoba memfokuskan dirinya pada pekerjaan. Sebagai seorang CEO, hari-harinya dipenuhi dengan rapat, diskusi proyek, dan urusan-urusan penting lainnya. Namun, pikirannya terus saja melayang pada sosok Adel. Setiap kali ia memeriksa ponselnya dan tidak menemukan pesan dari Adel, ia merasa sedikit kecewa.
Saat istirahat makan siang, Zean mencoba untuk membuka percakapan dengan Adel.
---
Zean
"Halo, Del. Gimana kuliahnya hari ini?"
---
Beberapa menit berlalu tanpa balasan, dan Zean mulai merasa risau. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mungkin Adel sedang sibuk, pikirnya. Namun, tidak ada balasan pesan dari Adel yang begitu lama justru semakin membuat Zean penasaran.
Pukul tiga sore, akhirnya balasan dari Adel datang.
---
Adel
"Hai, Kak Zean! Maaf baru bales, tadi ada kelas yang lumayan lama. Kuliah hari ini cukup padat, sih. Kakak sendiri gimana?"
Zean
"Nggak apa-apa kok, saya paham kalau kamu pasti sibuk. Saya juga cukup sibuk, namanya juga banyak kerjaan"
---
Balasan Adel datang tidak lama kemudian
---
Adel
"Kakak emang CEO yang sibuk banget ya, jangan terlalu maksain diri, kalau capek istirahat ya kak, jangan sampai sakit"
---

KAMU SEDANG MEMBACA
My Soulmate (ZeeDel) ✔
FanfictionDi balik kemegahan gedung kantor yang menjulang, ada satu sosok yang berdiri di puncak kesuksesannya, Zean Alvaro. Namanya dikenal sebagai CEO muda yang berprestasi, pemimpin yang disegani, dan figur yang dihormati. Di usia tiga puluh tahun, ia suda...