[Masih berharap menemukan nama Flame di sana.]
Kalimat itu mungkin tidak akan pernah dia temukan di antara ribuan komentar tentang JWS Concert, andai si penulis tidak secara khusus menyebut namanya. Membaca komentar itu, seulas senyum tipis terukir di bibir Flame. Gabungan dua perasaan yang bertolak belakang menghampirinya nyaris bersamaan.
Di satu sisi Flame senang, masih ada penggemar yang menanti untuk melihatnya berkarya. Namun, di sisi lain dia kecewa, JWS Entertainment, agensi tempatnya bernaung, seakan-akan tidak memberinya ruang untuk itu. Terbukti dengan tidak adanya nama Flame di antara deretan artis yang akan terlibat dalam konser tahunan terbesar yang akan digelar enam bulan mendatang.
[Terima kasih, tetapi sepertinya hal yang kau harapkan itu mustahil.]
Flame tidak sedikit pun bermaksud memancing keramaian saat mengirimkan pesan balasan itu. Namun, belum satu menit, komentarnya itu sudah diserbu para penggemarnya.
[Flame berhak mendapatkan yang lebih baik.]
[JWS seharusnya bisa berlaku adil!]
[Mereka terlalu meremehkan kemampuan Flame.]
[Padahal ada yang menurutku lebih buruk dari Flame.]
[#Flamedeservesbetter]
Ada lebih dari seratus pesan bernada serupa membanjiri kolom komentarnya.
Membaca satu per satu pesan yang ditujukan untuknya itu membawa kehangatan ke dalam hatinya. Dia tidak menyangka, meski sering merasa dianaktirikan oleh agensinya sendiri, tetapi di luar sana masih ada yang mendukungnya.
Melihat notifikasi di media sosialnya yang terus bertambah jumlahnya, Flame tahu sebentar lagi akan ada yang menghubungi dan menceramahinya tentang tindakan spontannya itu.
Tepat sesuai dugaan, tidak perlu waktu lama, ponselnya berdering. Flame tidak bisa mencegah tawa kecil terlepas dari bibirnya.
"Halo, Phi(1). Aku tahu kau pasti meneleponku."
"Di mana kau?"
"Di kondo."
"Apa yang sudah kau lakukan?!"
Suara Phi Som yang melengking membuat Flame cepat-cepat menjauhkan ponsel dari telinganya. Mendengar ada kepanikan dalam nada suara manajernya itu membuat Flame tidak bisa menahan senyumnya.
"Memangnya apa yang sudah kulakukan?"
"Flame, kau mabuk?"
Sebelum menjawab, Flame melirik ke meja di depannya. Memang ada satu gelas kosong dan sebotol wine yang isinya sudah berkurang setengah, tetapi dia yakin belum mabuk karenanya.
"Tidak. Aku bahkan belum minum," sangkalnya.
"Rasanya akan lebih mudah memaafkanmu kalau komentar itu kau tulis dalam keadaan mabuk."
Tawa Flame pecah. "Kau selalu marah setiap kali aku kedapatan mabuk, tetapi sekarang kau berharap aku mabuk. Phi, kau plin-plan!"
Terdengar helaan napas keras Phi Som. "Kalau kau tidak mabuk, lalu apa alasannya? Aku tidak pernah melihatmu seceroboh ini."
Gantian Flame yang menghela napas. "Ceroboh?Aku hanya mengatakan faktanya, Phi. Apa yang mereka harapkan itu memang tidak akan pernah terjadi. Kita tahu itu." Dia berkata sambil mengisi kembali gelasnya.
"Bukan tidak akan pernah, tetapi belum. Aku sudah sering bilang, bersabarlah. Suatu saat akan tiba giliranmu," jawab Phi Som.
Flame meringis. Delapan tahun lalu, saat pertama kalinya terjun di industri hiburan, kalimat terakhir yang diucapkan Phi Som tadi memberinya pengharapan akan perkembangan kariernya di masa depan. Namun, seiring berjalannya waktu, kalimat itu perlahan kehilangan maknanya. Flame bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya kata-kata itu berhasil mengembalikan semangatnya.
"Bagaimana giliranku akan sampai kalau aku bahkan tidak ikut mengantre, Phi? Kau yang mengatur jadwalku. Jadi, kau bisa lihat sendiri, untuk tahun ini saja, aku belum mendapat peran di satu series pun. Sekarang sudah pertengahan tahun. Apa memang tidak ada satu pun yang cocok untukku?"
Sekali lagi Flame meringis. Pertanyaan itu rasanya sudah dia ajukan berulang kali kepada Phi Som. Perbedaannya hanya sudah tidak ada lagi air mata yang menetes. Flame seperti sudah pasrah dengan keadaan.
"Mungkin memang belum ada. Selagi menunggu, kau masih punya beberapa jadwal off air."
"Ya, dua dalam sebulan." Flame mendengkus sebelum melanjutkan, "Rasanya hanya aku yang punya jadwal paling sedikit dan waktu kosong paling banyak."
Dia kembali menyesap wine di tangannya, yang entah mengapa terasa lebih pahit dibanding sebelumnya.
"Kau bilang tadi tidak minum?"
"Aku bilang belum, bukan tidak," balas Flame tidak mau kalah.
"Flame, komentarmu tadi bisa menggiring opini yang kau sendiri tidak bisa menebak ke mana arahnya. Jadi, tolong kau hapus," pinta Phi Som pelan.
"Untuk apa dihapus? Aku mengatakan yang sebenarnya." Flame berkeras.
Flame berhenti sejenak. Dia menimbang-nimbang sejenak. Sebenarnya Flame ingin merahasiakannya, tetapi dia juga tidak tahan untuk mengungkapkannya.
"Phi, kau orang pertama di JWS yang kuberi tahu. Aku sudah memutuskan tidak akan memperpanjang kontrak. Mungkin tahun ini akan menjadi tahun terakhir kita bekerja sama."
"Hah?! Apa yang kau katakan? Kau yakin tidak sedang mabuk?"
"Aku sadar. Sangat sadar malah. Aku juga sudah memikirnya berulang kali. Sekeras apa pun aku mencoba, tetapi bila kesempatan itu tidak pernah diberikan kepadaku, rasanya tidak ada pilihan lain, selain menyerah."
Entah efek alkohol yang dia tenggak atau memang ada beban yang seakan-akan terangkat dari pundaknya, Flame merasa sedikit lebih lega. Ternyata, mengaku kalah tidak seburuk yang dia pikirkan.
*
Catatan kaki:
(1) Phi: Panggilan kepada kakak atau orang yang usianya lebih tua
KAMU SEDANG MEMBACA
JWS Entertainment
FanficSetiap hal memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, seperti terang dan gelap, hitam dan putih, manis dan pahit, begitu juga yang terjadi di dalam JWS Entertainment, salah satu agensi terbesar di Thailand. Di balik senyum para penghuninya, te...