[Thada!]
Mengetahui siapa yang mengiriminya pesan itu, Thada menghela napas sebagai tanda perpisahan pada ketenangan yang bahkan belum lama dia nikmati di dalam kondonya usai seharian berada di lokasi syuting.
[Kon-dii(1), kau senggang?]
Pesan berikutnya menyusul masuk, seakan-akan pengirimnya tahu Thada sudah membaca pesan sebelumnya.
[Boleh aku meneleponmu?]
Tidak sampai satu menit, ponselnya sudah berdering. Padahal dia sama sekali belum membalas pesan itu.
Thada tidak langsung menjawab, dibiarkannya panggilan pertama terlewatkan. Begitu juga dengan panggilan kedua. Namun, begitu yang ketiga masuk, Thada tahu, dia tidak bisa terus mengelak karena ponselnya akan terus berdering sampai dia menerima panggilan itu.
"Halo," jawabnya pelan.
"Kau menghindariku lagi," balas suara di seberang.
Thada tidak menyahut, berharap untuk kali itu, dengan diamnya, Nam, perempuan yang meneleponnya itu, akan merasa diabaikan dan menyerah.
"Di lokasi tadi kau bahkan tidak mau menatapku," lanjut Nam.
Thada mengubah pengaturan panggilannya ke mode pengeras suara.
"Padahal aku jauh-jauh datang untuk memberimu semangat. Kau tahu, untuk sampai ke lokasi, aku butuh waktu dua setengah jam! Kalau saja aku tidak terjebak macet, mungkin aku bisa datang lebih awal."
Perlahan dia letakkan ponselnya di atas meja di sisi tempat tidur sebelum melangkah ke kamar mandi.
"Kulihat tadi kau juga sama sekali tidak menyentuh dimsum yang kubawakan khusus untukmu. Kau tidak suka? Kau mau makanan yang lain? Apa? Katakan saja."
Selagi Nam terus berbicara, Thada menyikat giginya.
"Kau tidak mau memberi tahu? Kau ingin aku menebaknya sendiri? Baiklah, tidak masalah. Besok aku akan datang lagi dengan makanan yang berbeda."
Thada tidak habis pikir, untuk apa Nam meneleponnya bila pada akhirnya gadis itu hanya berbicara sendiri.
"Kau tahu alasanku datang setiap hari ke lokasi? Aku takut tiba-tiba kau butuh masukan dariku."
Thada selesai menyikat giginya. Namun, dia tidak buru-buru keluar.
"Aku orang yang paling tepat untuk kau mintai saran. Kau bisa bertanya apa pun. Tokoh dokter yang kau perankan itu ciptaanku, jadi jelas aku yang paling tahu karakternya."
Thada melanjutkan perawatan giginya dengan obat kumur. Dia biarkan Nam meneruskan perkataannya, sementara dirinya menghitung hingga dua puluh sebelum memuntahkan cairan biru tua ke wastafel.
"Aku juga tidak ingin Phi(2) Nop memarahimu karena tidak bisa memerankannya dengan baik. Bagaimanapun aku yang memilihmu. Jadi, aku harus ikut bertanggung jawab," lanjut Nam.
Thada masih belum selesai. Dia meraih sabun pencuci muka, lalu mulai membersihkan wajahnya dari sisa makeup dan kotoran yang menempel.
"Kau tahu, saat aku mengajukan namamu, Phi Nop sempat tidak setuju. Katanya kau terlihat terlalu muda untuk menjadi seorang dokter. Dia juga bilang wajahmu kurang cocok untuk peran itu. Padahal, menurutku kau yang paling tepat. Dari awal kau masuk ke ruang casting, aku langsung tahu kau orangnya."
Selesai mencuci muka, Thada mengoleskan krim malam di wajahnya. Dia seolah-olah tidak peduli pada ponselnya yang masih terus mengeluarkan suara Nam.
"Aku yang terus berkeras. Mereka memilihmu, atau aku tidak akan mengizinkan JWS menggarap series dari novelku."
Thada menatap pantulan wajahnya di cermin, memeriksa apakah ada titik kecil tanda akan munculnya jerawat di sana.
"Thada? Kau mendengarku?"
Alih-alih menjawab, Thada justru melangkah keluar dari kamar mandi menuju ke dapur. Dia menuangkan air ke dalam gelas.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
Thada menenggak beberapa butir vitamin.
"Kau mengabaikanku lagi!" jerit Nam.
Masih enggan menanggapi gadis itu. Thada berjalan ke arah jendela kaca besar di kamarnya. Dia berdiri diam menatap pemandangan malam Kota Bangkok. Gedung-gedung di sekitarnya masih menyala terang benderang. Di jalanan di bawahnya, kelap-kelip lampu kendaraan bergerak lambat karena arus lalu lintas yang padat.
"Kau seharusnya berterima kasih kepadaku! Bukan malah memperlakukanku seperti ini!"
Meski sudah bisa menebak situasinya akan selalu berakhir dengan teriakan Nam, Thada tidak tahan untuk tidak mendengkus.
"Kalau tahu kau akan memperlakukanku begini, seharusnya aku tidak memilihmu! Aku benci kau, Thada! Benci!"
Sambungan telepon terputus.
Thada menunggu sejenak, lalu mengembuskan napas lega karena ponselnya tetap diam.
Sebenarnya Thada sudah muak. Dari hari ke hari, yang dilakukan Nam makin melampaui batas dan mengganggu kenyamanannya.
Pernah satu kali dia mencoba mematikan ponselnya. Namun, keesokan harinya, gadis itu bertingkah di lokasi syuting. Thada sampai harus mengulang adegannya karena selalu ada yang kurang pas di mata Nam.
Thada sempat mengutarakan ketidaknyamanannya itu kepada Phi Nop, tetapi lelaki itu juga tidak bisa berbuat banyak. Mereka tidak bisa melarang Nam datang untuk memantau. Bagaimanapun, gadis itu memang si penulis yang novelnya menang dan dipilih untuk difilmkan.
Saking tidak tahan dengan kelakuan Nam, Thada sempat mempertimbangkan untuk berhenti dari projek itu, tetapi kontrak sudah terlanjur ditandatangani. Dia tidak mungkin mundur, kecuali siap membayar ganti rugi yang jumlahnya jelas tidak sedikit.
Sembari merebahkan tubuhnya di tempat tidur, Thada menguatkan diri. Untuk sementara, memang tidak ada yang bisa dia lakukan, kecuali bersabar dan melakukan yang terbaik. Namun, setelah semua proses syuting selesai dan series-nya tayang, tidak ada hal lain yang dia inginkan, selain keluar dari jebakan berwujud seorang perempuan bernama Nam!
*
(1) Kon-dii: Artinya orang baik, tetapi lebih sering digunakan sebagai panggilan sayang untuk pasangan.
(2) Phi: Panggilan kepada kakak atau orang yang usianya lebih tua.
![](https://img.wattpad.com/cover/378326481-288-k348126.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JWS Entertainment
FanfictionSetiap hal memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, seperti terang dan gelap, hitam dan putih, manis dan pahit, begitu juga yang terjadi di dalam JWS Entertainment, salah satu agensi terbesar di Thailand. Di balik senyum para penghuninya, te...