"Pat," panggil Nawat untuk memberitahukan kedatangannya kepada rekan kerjanya yang sudah dua hari menepi dari riuhnya Kota Bangkok dan menenangkan diri di salah satu kamar di penginapan berkonsep vila milik keluarganya itu.
Pat menoleh, tersenyum kecil, lalu mengembalikan pandangannya menatap perkebunan teh yang membentang di kaki Bukit Doi Mae Salong.
"Maaf, membuatmu tidak nyaman karena keributan tadi. Aku tidak tahu Pho(1) juga akan berkunjung ke sini hari ini," ujar Nawat begitu kakinya sudah menginjak teras kamar, tempat Pat duduk. Sesaat kemudian, dia menjatuhkan diri di kursi di sebelah lelaki itu.
Nawat menghela napas, berharap suasana hatinya kembali membaik setelah sempat terlibat perdebatan dengan ayahnya. Meski bukan kali pertama terjadi, tetapi dia masih belum bisa langsung bersikap tidak acuh setiap kali ayahnya mulai menyinggung keputusannya keluar dari rumah, juga tentang kariernya di industri hiburan yang seperti jalan di tempat.
"Aku tidak bermaksud sengaja menguping atau ingin ikut campur, tetapi setelah datang dan melihat sendiri seberapa luas perkebunan teh yang kalian miliki, aku juga penasaran mengapa Phi(2) memutuskan terus bertahan di JWS," kata Pat hati-hati.
Sekali lagi, Nawat menghela napas. Dia yakin di luar sana, banyak yang mempertanyakan keputusannya tidak hengkang dari agensi yang menaunginya itu. Selama sembilan tahun berkarier, di luar acara off air yang setidaknya masih cukup stabil, dia hanya mendapat lima kali kesempatan bermain sebagai pemeran utama. Bahkan sudah tiga tahun terakhir dia hanya mendapat peran pendukung di tidak lebih dari sepuluh series.
"Apa kau punya mimpi, Pat?"
Pat mengubah posisi duduknya. Dia menghadap ke arah Nawat, menunggu lelaki itu meneruskan perkataannya.
"Kau boleh tidak percaya, tetapi sebelum bergabung dengan JWS, aku bahkan tidak pernah punya mimpi. Sebagai anak satu-satunya, aku dibesarkan dengan pemahaman bila perkebunan inilah masa depanku. Bahkan jurusan di perguruan tinggi yang dulu kupilih juga untuk menunjang kemampuanku dalam mengambil alih dan memperluas usaha ini."
Perkataan Nawat terhenti untuk membalas sapaan beberapa penduduk lokal Desa Santikhiri yang kebetulan melintas di jalanan depan penginapan. Dari sikap yang mereka tunjukkan, dapat terlihat betapa terpandangnya keluarga Nawat di sana.
"Jadi, bisa kau bayangkan bagaimana kehidupanku yang tadinya monoton, seperti sudah diatur oleh sistem, berubah drastis setelah series pertamaku diterima dengan baik dan membuatku mulai dikenal banyak orang?" lanjutnya.
Pat diam. Dia tahu, Nawat tidak butuh jawaban darinya.
"Untuk pertama kalinya, Pat, aku merasakan bahagianya mencapai sesuatu dengan usahaku sendiri!"
Tanpa diminta, benaknya memutarkan kembali kenangan masa-masa itu. Saat dia menemukan kepuasan yang berbeda karena orang-orang mengenalnya bukan dari nama besar keluarganya. Bahkan mengingat betapa gembiranya dia saat menerima honor pertama yang jumlahnya tidak sampai setengah uang jajan bulanannya, membawa senyum lebar merekah di wajah Nawat.
"Meski setelahnya aku tidak bisa mencapai level sepopuler dirimu ...," godanya sambil mengerling ke arah Pat, yang namanya memang sedang melambung.
"Phi!" sahut Pat malu sambil mendorong pelan bahu Nawat.
"Paling tidak, ada yang bisa kubanggakan karena berhasil kuraih dari kerja kerasku. Apa menurutmu kebangganya akan sama seperti saat aku berdiri sebagai pemilik perkebunan ini? Perasaan itu yang masih tidak bisa dimengerti oleh Pho."
"Jadi, itu alasan Phi memilih tinggal di kondo?"
Nawat mengangguk. "Aku rasa lebih baik begitu. Mungkin terkesan egois, tetapi kau sudah melihatnya sendiri tadi."
Gantian Pat yang mengangguk.
"Itu hampir selalu terjadi setiap kali kami bertemu. Kami sama-sama keras kepala, Pat." Nawat berhenti. Dia tidak bisa mencegah tawa kecil yang terlepas dari bibirnya. "Bagaimanapun aku memang anaknya."
Suara jerit kegirangan, disusul tawa yang tiba-tiba terdengar membuat keduanya menoleh. Tidak jauh di depan mereka, anak-anak yang dari cara berpakaiannya terlihat jelas bukan penduduk setempat, saling berkejaran di antara tanaman teh.
"Phi Wat?" panggil Pat. Dia terlihat ragu. "Maaf kalau aku lancang, tetapi sampai kapan Phi akan membiarkan hubungan dengan khun pho(3) terus seperti itu?"
Sejenak, tercipta keheningan di antara keduanya. Hanya terdengar suara gemerisik pucuk-pucuk daun teh yang bergesekan tertiup angin.
"Untuk saat ini kami memang tidak sepaham, tetapi aku, bahkan sekarang mungkin kau, bisa menebak siapa yang pada akhirnya akan melunak dan kalah," jawab Nawat pelan.
*
Catatan kaki:
(1) Pho: Ayah
(2) Phi: Panggilan kepada kakak atau orang yang usianya lebih tua.
(3) Khun pho: Ayahmu
KAMU SEDANG MEMBACA
JWS Entertainment
FanficSetiap hal memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, seperti terang dan gelap, hitam dan putih, manis dan pahit, begitu juga yang terjadi di dalam JWS Entertainment, salah satu agensi terbesar di Thailand. Di balik senyum para penghuninya, te...