Sesuatu Terjadi karena Sebuah Alasan - Thiuson

3 0 0
                                    

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Thiuson keluar dari ruang siaran. Meski hanya menjadi bintang tamu untuk acara radio siang itu, entah mengapa dia merasa penat. Untunglah dia tidak punya jadwal lain yang mengharuskannya buru-buru meninggalkan JWS Building.

Thiuson melangkah pelan, menikmati pemandangan dari lantai 12 yang menghadap langsung ke Sungai Chao Phraya. Bila bukan karena kemenangannya di nomor tunggal putra pada salah satu ajang kejuaraan bulu tangkis internasional, rasanya mustahil dia berkesempatan diundang ke sana.

Di depan lift yang pintu dan dinding sekitarnya ditempeli poster-poster series yang sedang dan akan tayang segera, Thiuson mematung. Dia masih belum memutuskan ingin naik ke lantai 28 untuk sekadar melihat-lihat deretan album, kaset-kaset film, serta barang-barang khas dari berbagai series yang dijual di sana, atau turun dan menikmati waktu kosongnya di kedai kopi yang berada di lantai dasar.

"Thiu!"

Refleks Thiuson menoleh mendengar namanya dipanggil. Dari lift khusus karyawan di sebelahnya, keluar seorang gadis berambut panjang, yang tersenyum dan mendekat ke arahnya.

"Dao!" Thiuson balik menyapa.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Dao. Raut keterkejutan masih belum hilang dari wajahnya.

"Aku diundang ke siaran Phi(1) Nicky," jawabnya santai.

Sebenarnya Thiuson juga tidak menyangka mereka akan secara kebetulan bertemu hari itu. Namun, setidaknya dia tidak sekaget Dao karena tahu gadis itu memang salah seorang artis yang bernaung di bawah JWS Entertainment.

"Oh, ternyata kau, atlet medali emas yang mereka maksud itu?! Kalau begitu kita harus merayakan kemenanganmu ini," cetus Dao riang. "Kapan kau punya waktu?"

"Seharusnya aku yang bertanya begitu Khun(2) Dao," jawab Thiuson sambil mengerling. "Kau bahkan tidak punya waktu untuk menonton televisi."

Dao mengangkat tangan, seakan-akan hendak memukul Thiuson karena berani menggodanya.

"Seandainya aku bebas sore ini," gumam Dao kecewa. Sedetik kemudian, gadis itu kembali tersenyum. "Tidak apa-apa. Lain waktu saja. Lalu, apa rencanamu setelah ini?"

Thiuson mengangkat bahu. Dia sendiri tidak tahu apa yang ingin dia lakukan. "Mungkin ..., minum kopi sebentar di bawah, lalu pulang dan bersantai. Kau sendiri? Ada syuting?" Thiuson balas bertanya.

Sebelum Dao sempat menjawab, seorang wanita setengah baya datang menghampiri keduanya.

"Kalian saling kenal?" tanya wanita itu sambil menatap Thiuson dari atas ke bawah.

"Dulu kami teman satu sekolah, Phi," jawab Dao. "Thiu, ini Phi Suppa."

Sedikit canggung, Thiuson memberi salam kepada Phi Suppa yang masih menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak.

"Apa kau berminat mencoba menjadi peran pendukung di series Dao bulan depan?"

"Hah?!"

Thiuson dan Dao ternganga. Dua pasang mata milik mereka melotot setelah mendengar pertanyaan yang tanpa basa-basi diajukan oleh Phi Suppa.

"Tidak usah berlebihan begitu," kata Phi Suppa tidak bisa menahan tawa melihat reaksi yang ditunjukkan keduanya. "Hanya peran kecil. Mungkin kau ingin mencoba peruntunganmu di industri ini."

"Thiu, coba saja!" bujuk Dao penuh semangat.

Thiuson tidak mampu bereaksi. Dia masih tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.

"Kau tidak harus menjawabnya sekarang. Pikirkan saja dulu. Andai berminat, kau bisa hubungi aku. Kalau kau sungkan, hubungi Dao," kata Phi Suppa sambil menyodorkan kartu namanya.

"Khap(3)," jawab Thiuson gugup.

"Dao," panggil Phi Suppa. Wanita itu memberi kode dengan menunjuk jam cokelat yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Thiu, aku harus pergi. Berjanjilah kau akan menghubungiku. Secepatnya!" pinta Dao sebelum dirinya dan Phi Suppa berjalan menjauh, lalu menghilang ke balik pintu di ujung lorong.

Sepeninggalan keduanya, ponsel Thiuson berbunyi. Masuk sebuah pesan di aplikasi LINE miliknya. Dari rumah sakit. Hasil pemeriksaan cedera yang dialaminya menjelang akhir babak final pada kejuaraan lalu, sudah keluar.

Thiuson masih berharap hasilnya baik-baik saja, meski sudah beberapa hari terakhir, rasa nyeri yang dia rasakan nyaris berada di ambang batas toleransinya.

Sayangnya, ternyata hal yang ditakutkan Thiuson benar-benar terjadi, bahkan lebih buruk dari dugaannya. Ligamen lutut kanannya robek parah, juga ada kerusakan pada bantalan lututnya. Kondisinya cukup serius sehingga dokter yang menanganinya menyarankan untuk menempuh tindakan operasi.

Sebagai seorang atlet, Thiuson sudah dibekali sedikit pengetahuan tentang itu. Operasi baru bisa dilakukan lima bulan ke depan. Di antara rentang waktu itu, dia tidak bisa melakukan latihan seperti biasa. Pasca operasi pun, butuh waktu hampir satu tahun untuk proses pemulihan.

Membayangkan satu setengah tahun yang nantinya terbuang percuma, turnamen-turnamen yang harus dia lewatkan, dan ranking yang perlahan akan terus merosot, membuat Thiuson merasa dunianya runtuh seketika.

Gontai, dia melangkah masuk ke lift. Dia ingin secepatnya sampai di kondo dan tidur, berharap saat terbangun, semuanya hanya mimpi. Namun, poster besar wajah Dao yang menyambutnya begitu keluar dari lift di lantai dasar dan kartu nama Phi Suppa yang masih digenggamnya, menegaskan bahwa yang terjadi adalah kenyataan.

Di tengah keterpurukannya, Thiuson tidak bisa mencegah pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya. Apa pertemuan dengan Dao tadi hanya kebetulan? Atau itu sebuah pertanda bahwa saat ada yang datang, ada juga yang harus direlakan untuk pergi?

*

Catatan kaki:

(1) Phi: Panggilan kepada kakak atau orang yang usianya lebih tua.

(2) Khun: Disebutkan sebelum nama seseorang untuk menunjukkan rasa hormat.

(3) Khap: Bisa digunakan sebagai jawaban saat dipanggil, bentuk persetujuan terhadap sesuatu, juga agar kalimat yang diucapkan terdengar lebih sopan. Kata ini hanya digunakan oleh lelaki.


JWS EntertainmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang