35. Nanti, Jangan Sampai Kaget

279 25 11
                                    

Hari ini, Laras memutuskan pulang ke Jakarta. Sudah tidak ada lagi yang menjadi tujuannya di sini, semuanya selesai. Wianta juga tidak terlihat ingin membujuknya untuk tetap bertahan dan melanjutkan langkah mereka ke jenjang yang lebih serius.

Apakah tindakannya kemarin terlalu berlebihan sampai membuat laki-laki itu lelah? Ah, rasanya Laras ingin meminta maaf. Namun, itu tidak mungkin karena sudah pasti Wianta tidak akan mau bertemu dengan dirinya.

Seperti sekarang ini, laki-laki itu bahkan tidak datang menemuinya untuk mengucapkan selamat tinggal. Laras tertawa kecil, Wianta semarah itukah sampai-sampai tidak ingin menemuinya?

"Tadi Tante menelepon Wianta untuk datang, tapi katanya lagi nggak bisa. Tante heran, biasanya kalau Tante menyebut nama kamu Wianta selalu bisa-bisa saja, kenapa ini dia bilang nggak bisa, ya?"

Laras tersenyum, memilih untuk fokus pada barang-barangnya.

"Kalian baik-baik saja, Ras?" tanya Tante Winda.

"Emm, baik kok, Tante."

"Syukurlah, Tante kira kalian berantem lagi, tapi Tante bersyukur kalau kalian baik-baik saja."

"Sudah siap belum beres-beresnya?" teriak Sadam dari ruang tengah.

"Sedikit lagi, Dam," sahut Laras.

***

Di sisi lain, Wianta memilih untuk menenangkan pikirannya. Ia marah, sangat-sangat marah. Namun, ia tidak bisa menyalahkan Laras di sini. Mungkin, dirinya yang terlalu memaksa gadis itu untuk tinggal di desa setelah menikah sampai-sampai membuatnya merasa terkekang, mungkin?

Namun, Wianta sudah mencoba memberi pengertian. Seharusnya Laras mau menerima. Apakah Laras setidakingin itu meninggalkan pekerjaannya di butik sampai memilih untuk memutuskan untuk selesai dan tidak melanjutkan pernikahan?

Wianta terkekeh. Usianya tidak lagi muda, dan Laras tau itu. Seharusnya di usia seperti ini, Wianta sudah siap bahkan sangat-sangat siap untuk menikah. Di saat Laras sudah menginginkan pernikahan, semuanya tiba-tiba gagal hanya karena lebih mementingkan pekerjaan.

Kalau mengenai pekerjaan, Wianta bisa saja mengandalkan hal itu untuk tidak bisa menghampiri Laras di Jakarta. Namun, Wianta tidak mungkin melakukan hal itu karena dia juga ingin bertemu dengan Laras.

Akan tetapi, setelah mereka sama-sama siap untuk menikah, Laras malah memilih selesai tanpa memikirkan perasaannya.

Kemarin, Wianta sengaja mengiyakan ajakan Laras untuk berpisah. Mau melihat, sejauh mana Laras bertindak. Jika gadis itu benar-benar serius untuk selesai, Wianta akan berusaha ikhlas melepasnya.

Toh, semua hubungan tidak selalu berakhir senang, 'kan?

"Kamu nggak ke kebun?"

Wianta menoleh, mendapati Liam---suami kakaknya---yang kini sudah duduk di sebelahnya.

"Enggak, Mas. Aku ke kebun jam dua nanti," jawab Wianta tersenyum tipis.

"Loh, bukannya pacarmu biasa datang jam dua belas?" tanya Liam heran. Dari cerita istrinya alias Hana, pacar Wianta selalu datang jam dua belas ke kebun.

"Dia sudah pulang ke Jakarta tadi pagi," balas Wianta.

"Biasanya dia pamit ke sini kalau mau pulang."

"Laras nggak bisa ketebak, Mas. Jadi jangan heran kalau hari ini dia nggak pamit sama Kak Hana."

Liam terdiam. Ia menduga ada sesuatu yang aneh antara Wianta dan pacarnya itu.

"Kalian bertengkar?" tanya Liam membuat Wianta menoleh.

"Iya, dan Laras mau hubungan kami selesai."

Liam menaikkan sebelah alisnya. Sudah memutuskan untuk menikah, tapi tiba-tiba selesai? Apa-apaan?

"Kenapa dia mau selesai?"

"Entahlah, Mas. Aku sudah memberi pengertian sama Laras, tapi dia anaknya kebal. Kalau begini aku nggak akan pernah menikah," kata Wianta lelah.

"Mau coba sesuatu yang membuat Larasmu itu siap menikah?" tanya Liam tersenyum tipis, dan senyuman itu terlihat menakutkan bagi Wianta.

"Jangan mengajariku hal yang nggak bagus, Mas! Aku laki-laki baik," balas Wianta.

"Otakmu kotor! Bukan itu yang Mas maksud," kata Liam berdecak.

"Kalau begitu langsung dibilang, Mas. Nggak usah kode-kode begitu."

"Buat Laras cemburu, tapi kamu bilang-bilang dulu sama kakaknya itu biar kamu nggak dapat masalah," kata Liam.

Wianta menaikkan sebelah alisnya. Membuat Laras cemburu? Berarti sama saja ia akan mendekati perempuan lain, kalau itu Wianta mana mau. Takut perempuan yang ia dekati terbawa perasaan.

"Aku nggak mau terjadi masalah, Mas," sahut Wianta.

"Ya sudah, Mas cuma menyarankan."

***

"Kamu membuat Mas malu, Laras," kata Gilang menghela napas panjang.

Gilang sangat kesal dengan adik perempuannya ini. Bagaimana tidak? Wianta yang memberi pengertian tentang pekerjaan apabila tidak bisa ditinggal, bisa saja dihandel setiap akhir bulan. Kalau pun Laras nanti meninggalkan pekerjaannya di butik, bisa saja adiknya itu membangun usaha baru di desa dengan bantuan Wianta tentunya.

Namun, apa yang Laras lakukan? Malah memutuskan untuk tidak melanjutkan pernikahan, bahkan memilih untuk mengakhiri hubungan.

"Ya ampun, Laras. Mas saja marah dengar ceritamu, apalagi Wianta pas dengar kamu minta untuk selesai dan nggak mau melanjutkan pernikahan?"

"Sebelum Mas telepon waktu itu, kamu bilang benar-benar serius mau menikah sama Wianta, tapi setelah Mas bahas tentang apa kamu siap tinggal di desa untuk waktu yang lama, kamu langsung diam dan membahas pekerjaanmu. Setelah Mas dengarkan ceritamu, Mas bisa pahami kalau kamu sama sekali belum siap untuk menikah dan penyebabnya itu butik yang sudah dua tahun lalu Papa berikan sama kamu."

"Mas memang menunggu keputusan dari kamu dan Wianta, tapi keputusannya itu adalah sesuatu yang baik. Bukan yang seperti ini."

"Lagipula, nggak selamanya butik itu selalu kamu pegang. Kamu ingat juga kata-kata Papa waktu itu, 'kan? Kalau kamu mau menikah, urusanmu untuk bekerja di butik itu terserah bagaimana pendapat suamimu nanti, dan Wianta selaku pacarmu yang sudah siap untuk melamar itu malah kamu tinggalkan hanya karena pekerjaan di butik. Padahal kamu ingat kata-kata Papa, tapi kamu abaikan."

"Aku yang mengurus butik itu sampai se sukses
ini, Mas," gumam Laras pelan.

"Bukan mengurus, kamu cuma belajar untuk mengurus. Selama ini kamu masih belajar sama Mbak Dea, kamu pikir Mas nggak tau? Sudah merasa hebat karena Papa membangunkan butik atas namamu, ya? Sampai-sampai Wianta kamu tinggalkan hanya karena itu?"

"Mas jangan asal ngomong, yaa!" seru Laras tak suka.

"Asal kamu tau, Laras. Kamu meninggalin Wianta juga dia nggak rugi. Banyak yang suka dia termasuk Wulan, kamu tau Wulan selalu mengejar-ngejar dia, 'kan? Jadi, kamu jangan kaget kalau nanti Wianta akan menikah sama Wulan."

Prang!

Laras melemparkan gelas yang ada di depannya, kemudian langsung pergi ke kamar dengan wajah yang memerah.

Apa Masnya itu tidak punya perasaan? Kenapa tiba-tiba membahas tentang Wulan yang pernah membuat mentalnya kacau, dan kenapa Masnya malah mengatakan Wianta akan menikah dengan si Wulan?

Cinta yang Melebur di DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang