3. Keliling Desa

1.3K 200 17
                                    

"Ini kita berdua aja, Dam?" tanya Laras pada Sadam.

Saat ini, mereka berdua memutuskan jalan-jalan untuk mengelilingi desa. Agar Laras paham dengan suasana desa ini setelah lama tidak dikunjungi.

"Iya, berdua. Lagian enaknya keliling begini ya pagi, Ras. Biar nanti sekalian bisa singgah beli makanan."

"Dini gimana?"

"Dia sekolah, masa harus ikut kita?" tanya Sadam balik. Adiknya Dini memang sedang sekolah, dan waktu Sadam yang kosong hanya pagi ini. Sore nanti ia akan sibuk di bengkel, dan tidak mungkin membiarkan kedua gadis itu pergi tanpa adanya Sadam? Bisa saja nanti keduanya tersesat, walaupun Dini adalah orang desa ini, anak itu mana tau jalan yang betul.

Laras menghela napas pasrah. Kalau begini, ia akan menuruti apa kata Sadam.

"Ayo naik!" Sadam menepuk motornya, dan menunggu Laras untuk naik.

"Motormu gede, dan aku mana bisa naik!" seru Laras berdecak.

Sadam mengusap wajahnya kasar, lalu berkata, "Bisa! Kamu pegang pundaku, terus kamu injak itu."

Laras mencebik, tapi tetap menurut apa kata Sadam. "Kalau Mas Galang tau kamu ajak aku naik motor ginian, dia bakal marahi kamu."

"Selagi nggak di sini makanya aku ajak kamu pake ini, lagian apa salahnya coba? Kamu harusnya senang punya sepupu yang motornya gede gini, nanti kamu bisa ceritain ke teman-temanmu."

"Dihh, ogah kali ceritain semua ini ke teman-temanku. Mereka juga punya, ngapain diceritain?" sahut Laras memutar bola matanya.

Sadam menggelengkan kepalanya, ada saja jawaban Laras. Laki-laki itu kemudian memajukan motornya untuk mengelilingi desa dan mengenalkan tempat-tempat yang harus diketahui oleh Laras agar nantinya tidak bingung.

"Kok gang di sana namanya gang cemara? Emangnya yang tinggal di sana keluarga cemara semua ya, Dam?"

"Enggak juga, malah di sana banyak keluarga yang gagal, Ras. Mungkin dulunya sengaja dibuat dengan nama cemara, biar suatu hari di sana banyak keluarga yang bahagia."

Laras mengangguk paham, gadis itu cukup sedih saat mendengar di sana banyak keluarga yang telah gagal. Entah bagaimana rasanya saat berada di posisi keluarga yang gagal, membayangkannya saja sangat sakit. Apalagi mereka yang telah merasakannya?

"Nah, lihat itu, Ras. Itu kebun yang Nenek bicarakan. Kebun milik Mas Wianta, di situ lengkap banget tanamannya. Ada sayuran-sayuran, buah-buahan, terus rempah-rempah kayak cabe, tomat dan lainnya. Pokoknya lengkap deh di sana."

Laras memperhatikan kebun tersebut, dan matanya berbinar saat melihat keindahan dari kebun itu.

"Di sana indah banget, Dam. Kayaknya berfoto bagus deh," ujar Laras dengan antusias.

"Berfoto ya? Kalau itu kapan-kapan aja sama Nenek, atau sama siapa. Aku nggak mau ke sana kalau Ibuku nggak lagi kerja."

"Oh, Tante lagi nggak kerja ya?"

"Iya, jadinya nggak enak bawa kamu ke sana," balas Sadam.

"Ya udah deh, lain kali aja."

"Ada tempat lain yang lebih enak buat berfoto, Ras. Mau nggak?"

Mata Laras berbinar, wajahnya mendekat pada bahu Sadam. "Mau! Kalau tempatnya bagus ajak aku ke sana, Dam," katanya.

"Oke, tapi jangan nangis sama kondisi jalannya." Sadam menarik sudut bibirnya, membuat Laras terheran. Memangnya bagaimana kondisi jalan ke tempat itu?---pikirnya.

"Eh, tapi ke sana mau makan sesuatu dulu ya, Ras? Aku belum sarapan soalnya, jadi agak lapar," kata Sadam terkekeh.

"Huft, kamu kebiasaan banget deh. Padahal udah penasaran."

"Alah, cuma berhenti doang kok. Lagian nggak lama juga."

Laras menghela napas pasrah, lalu berkata, "Ya udah, ayo singgah. Jangan lama ya."

"Kamu memangnya nggak mau makan juga, Ras?" tanya Sadam dan Laras menggeleng.

"Ya udah, temani aku aja. Kalau pengen makan sesuatu bilang, ya."

***

Saat sampai di tempat yang dimaksud oleh Sadam, wajah Laras terlihat masam. Tempat yang mereka tuju memang sangat indah, karena ini adalah sungai dengan pemandangan yang bagus dan airnya sangat jernih. Namun, perjalanan menuju ke tempat ini sangat buruk seperti apa katanya tadi.

Jalannya sangat penuh lumpur, dan hal itu membuat sendal dan celananya kotor.

"Emangnya nggak ada tempat lain lagi ya, Dam? Di sini memang bagus, tapi kamu tuh nggak mikir dua kali ngajak aku."

Sadam tertawa, laki-laki itu mengulurkan tangannya sambil menatap Laras. "Sini ponselmu, biar kufoto."

Laras mencebik, kemudian memberikan ponselnya pada Sadam. "Ngambilnya yang bagus, terus celanaku jangan terlalu kelihatan yaa."

"Iyaa!"

Setelah mengambil beberapa gambar, Laras memutuskan untuk duduk di tepi sungai dan menenggelamkan kakinya. Gadis itu tersenyum tipis, dan bergumam, "Kalau Mas Gilang tau aku di sungai begini, dia pasti ngomel. Takut kenapa-napa."

"Mas Gilang tuh cerewet banget, Ras. Padahal udah umur 28 dia, harusnya jangan terlalu banyak ngomel gitu," kata Sadam mengikuti Laras yang duduk di tepi sungai.

"Kamu tuh juga begitu ya, Dam. Sama Dini aja kamu masih sering ngomel, jangan sok ngatain. Mas-ku tuh begitu karena aku adiknya."

Sadam berdecak. "Iyain, deh. Nggak mau debat!"

"Eh, iyaa. Kamu juga udah umur 24, dan itu udah ketegori tua loh, Dam," kata Laras terkekeh.

"Apaan? Itu masih muda ya, Ras!" balasnya membuat Laras tertawa.

Sadam senang melihat Laras tertawa, karena dulu sewaktu masih kecil, laki-laki itu sering sekali menjahili dan membuat adik sepupunya itu menangis. Namun, ketika Laras dan orang tuanya memutuskan untuk pindah ke Jakarta, Sadam tidak lagi bisa melakukan itu.

Seiring berjalannya waktu, Sadam sadar yang ia lakukan itu salah. Seandainya dia tau kalau Laras dan orang tuanya akan pindah ke Jakarta, dia akan membuat adik sepupunya itu senang dan selalu mengingat momen-momen masa kecil mereka yang bahagia. Namun, saat itu Sadam hanya bisa pasrah dan merasa bersalah.

Kini, saat mendapat kabar kalau Laras akan datang dan menginap selama tiga bulan, Sadam merasa sangat senang karena ia akan dapat membuat gadis itu merasa bahagia di desa ini. Bukan bermaksud apa-apa, hanya ingin membalas perlakuannya dulu.

Cinta yang Melebur di DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang