"Mas, Laras itu orangnya yang sempat jatuh kemarin, 'kan? Yang bareng Dini itu, anaknya Tante Winda tadi," ujar Tian di perjalanan pulang.
"Iya, itu memang dia."
"Kalau nggak salah, aku juga pernah lihat dia sebelumnya. Di mana ya, Mas?"
"Di kebun saat panen mangga, dia di sana. Kamu ketemunya pas siang setelah pulang sekolah," jawab Wianta.
Tain mengangguk mengingat pertemuannya dengan Laras yang katanya adalah keponakan Tante Winda dari Jakarta.
"Mas nggak mau deketin dia?" tanya Tian membuat Wianta menaikkan sebelah alisnya.
"Buat apa?"
"Loh, ya dijadiin pacar atau istri. Toh, Mas juga udah umur 26."
Wianta menggeleng. "Mas belum kepikiran ke sana, lagian kok kamu tiba-tiba nanya begitu?"
"Entahlah, aku nggak tau. Yang pasti aku kayak punya feeling kalau Mas bakal dekat sama si Laras-Laras itu," kata Tian membuat Wianta tertawa.
"Kamu ada-ada saja," balasnya.
"Eh, tapi Mas memang nggak berniat deketin dia? Dia cantik loh, Mas."
Pertanyaan itu membuat Wianta terdiam beberapa waktu. Sebab, ia bingung harus menjawabnya seperti apa. Mendekati Laras? Yang benar saja, mana mungkin dia mendekati gadis itu---terlepas dari lingkungan mereka yang berbeda.
Maksud dari lingkungan yang berbeda adalah tempat tinggal Laras. Wianta menduga, mana mau Laras memiliki pacar atau pasangan hidup dari desa begini terlepas dari tempat tinggalnya di Jakarta. Lagi pula, Wianta juga tidak kepikiran ke sana.
Melihat Wianta yang tidak menanggapi, Tian melambaikan tangan untuk menyadarkan kakak sepupunya itu. "Mas kok bengong? Pasti lagi mikirin gimana cara deketin si Laras itu, ya?
"Panggil Laras dengan sebutan Mbak atau Kakak, nggak sopan manggil nama orang yang lebih tua," jawab Wianta mengalihkan pembicaraan.
"Kalau dilihat dari mukanya pas ngambil belanjaan bareng Dina, dia nggak tua-tua banget kok, Mas. Malah aku ngiranya dia seumuran Dina makanya aku manggil dia pake nama."
"Kalau gitu mulai sekarang panggil lebih sopan, apalagi kalau nanti kamu ketemu sama dia."
"Iya deh, Mas kayak nggak terima gitu kalau aku manggil dia pake nama," kata Tian terkekeh.
"Bukan begitu, cuma nggak sopan. Kamu kalau manggil Mas pake nama juga Mas bakal tegur, karena nggak sopan."
"Hahaha, iya deh Mas, iya."
***
"Jadi, Nenek kena usus buntu?" tanya Laras pada Sadam.
"Iya, kena usus buntu. Aku juga heran kenapa bisa tiba-tiba, padahal kita ngejaga banget kondisi Nenek," jawab Sadam.
"Dari puskesmas gimana katanya?"
"Katanya di perut Nenek ada cedera yang menyebabkan usus buntu ini terjadi, dan hal itu yang membuat perut Nenek belakangan ini jadi sakit. Mereka juga nanya sih tadi, apa Nenek belakangan ini sering mual, demam atau perutnya pernah tegang gitu. Kata Nenek iya, dan itu udah kita lihat juga belakangan ini termasuk beberapa hari yang lalu. Dari sana mereka menyimpulkan bahwa Nenek kena usus buntu. Setelah diperiksa memang iya, tapi katanya perlu ke rumah sakit untuk periksa ke dokter biar kita lebih paham sama kondisinya Nenek."
Sadam menyandarkan punggungnya pada dinding, dan memejamkan matanya. "Aku belum siap kalau seandainya Nenek kenapa-napa, Ras."
Laras melemparkan sisir ke kaki Sadam. "Jangan ngomong gitu! Semua juga nggak mau Nenek kenapa-napa ya, Dam. Untuk sekarang kita berdoa aja semoga Nenek dikasih kesembuhan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Melebur di Desa
ChickLitLaras datang ke desa, hanya untuk mengunjungi neneknya yang sedang sakit dan sekalian untuk menemani. Karena kebetulan, gadis itu sedang libur semester selama tiga bulan. Namun, siapa sangka dengan datangnya dia ke desa, ia dapat bertemu dengan Wia...