37. Salah Paham

228 28 5
                                    

Nanti setelah tamat, aku baru revisian. Selamat membaca! Oh, ya. Bacanya pelan-pelan, yaa.

***

"Mas, Bu Rina mengundang kita datang ke rumahnya untuk makan malam."

Wianta menoleh, mendapati Tian yang sibuk memasukkan plastik hitam yang berisikan pesanan orang-orang ke dalam kulkas.

"Jam berapa?" tanyanya.

"Jam tujuh, Mas."

Wianta mengangguk paham. "Kalau begitu Mas mau menyelesaikan kerjaan dulu di kebun, nanti biar bisa datang lebih cepat."

"Iya, Mas. Berarti nanti kita datangnya barengan?" tanya Tian dan Wianta mengangguk.

"Andai ada Kak Laras, pasti yang memani Mas ke acara seperti ini itu dia," gumam Tian sesekali melirik Wianta. Sengaja memberi kode, agar Wianta mau mengajak Laras kembali berbicara secara baik-baik.

"Kamu tau perempuan, Tian. Sifatnya nggak tertebak," kata Wianta membuat Tian terdiam.

***

"Selesai," gumam Wianta yang berhasil membereskan semua pekerjaannya hari ini dengan cepat. Setelah nanti ia sudah pulang, mungkin Wianta akan menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak. Kemudian memutuskan untuk siap-siap ke rumah Ibu Rina---salah satu tetangganya.

Bukan tetangga dekat memang, tapi Wianta bersyukur kalau Ibu Rina masih mau mengundangnya untuk acara makan malam seperti ini. Walaupun dia tidak tau, acara ini dalam rangka apa. Yang penting, dia hanya datang membawa diri.

"Mas mau pulang, ya?" tegur Sadam pada Wianta.

"Iya, Sadam. Ini mau pulang, kamu bagaimana? Mau pulang juga?"

"Enggak sih, Mas. Aku bentar lagi, masih ada yang perlu kuurus," jawab Sadam.

"Kalau begitu saya duluan, ya. Nanti bilang sama Dini, jangan lupa menelepon Laras dan bilang apa-apa saja yang harus dibicarakan sama Laras," kata Wianta memberitahu rencana mereka.

Ya, Wianta mengajak Sadam dan Dini untuk membuat sebuah skenario pada Laras mengenai dirinya yang sudah mempunyai perempuan lain. Sengaja membuat rencana ini agar Wianta melihat bagaimana respon Laras terhadapnya. 

Sebenarnya, tanpa melihat respon Laras langsung, Wianta juga sudah tahu bagaimana nanti Laras bertindak. Karena ia tahu, bahwa Laras orangnya lemah sekali jika topik pembahasanya itu tentang perempuan lain. Apalagi saat mengetahui bahwa dirinya mudah sekali mendapatkan pengganti, mungkin Laras akan merasa tersakiti.

Namun, ini adalah cara yang dapat membuat Laras kembali padanya. Biarlah nanti Wianta sibuk menenangkan Laras, yang penting Laras kembali bersamanya.

"Tadi pagi udah kubilang, Mas. Entah dia udah menelepon Laras atau belum, aku nggak tau juga entah Dini udah menelepon atau belum."

Wianta mengangguk.

"Nanti kabari saja ya, Dam. Saya pamit dulu."

***

"Loh, Anin? Ngapain di sini?" tanya Wianta melihat Anin---anak Ibu Rina yang kini mulai mendekat padanya.

"Mas sibuk?" tanya Anin dengan ragu.

"Oh, enggak. Ini saya baru selesai bekerja, ada yang perlu dibantu?"

Anin berdehem canggung, kemudian berkata, "Ibuku mau minta bantuan Mas Wianta. Di rumah nggak ada Ayah karena belum pulang, jadi nggak ada yang bantuin."

Wianta menghela napas, rencananya untuk istirahat sebentar ternyata gagal. Ia tak mungkin menolak bantuan dari Anin, apalagi perempuan itu sudah sampai di depan rumahnya.

"Kalau begitu, ayo masuk dulu. Saya mau siap-siap sebentar," ujar Wianta mempersilahkan Anin mengikuti langkahnya.

"Saya tinggal sebentar nggak masalah, Nin?"

Anin menggeleng sambil tersenyum. "Nggak masalah, Mas. Maaf yaa, aku menganggu waktu kamu, Mas."

Wianta hanya tersenyum. Sebelum masuk ke dalam kamarnya, Wianta mengambil sebotol minuman dingin dari kulkas dan memberikannya pada Anin.

"Diminum dulu," katanya.

"Makasih, Mas."

Wianta mengangguk, kemudian berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap dahulu.

Anin memperhatikan rumah Wianta dengan seksama. Matanya tiba-tiba terfokus pada foto yang tertempel di dinding. Foto itu diambil dengan bagus, dan senyum Wianta sangat lebar di foto itu dengan merangkul pundak seorang perempuan. Mungkin itu adalah Laras, kekasih Wianta yang sering ia dengar.

Drrtt! Drrtt!

Suara panggilan dari ponsel yang berada di atas meja membuat Anin menoleh, itu adalah ponsel Wianta. Awalnya, Anin membiarkan telepon tersebut. Namun, setelah kedua kalinya tetap terdengar, Anin pun menoleh pada pintu kamar Wianta.

"Mas, ada yang menelepon," ujarnya dengan nada yang lumayan keras agar terdengar oleh Wianta.

"Tolong diangkat, Nin," seru Wianta membuat Anin terbengong. Ini, dia benar-benar diminta untuk mengangkat telepon?

Namun, karena sudah tidak tahan mendengar suara nada dering yang terus terdengar, Anin pun memilih untuk mengangkat telepon tanpa melihat nomornya terlebih dahulu.

"Hallo, siapa?" tanyaya. Namun, tidak ada suara yang menyahut membuat Anin terheran.

"Hallo, siapa, ya?" tanya Anin sekali lagi.

"Siapa, Nin?"

Anin membalikkan tubuhnya untuk melihat keberadaan Wianta. "Nggak tau, Mas. Kayaknya yang menelepon ini orang iseng," jawabnya.

"Ya sudah, dimatikan saja."

Anin mengangguk, kemudian memberikan ponsel yang ia pegang pada Wianta setelah panggilannya dengan orang iseng itu berakhir.

"Ayo, kita berangkat ke rumah kamu sekarang."

Laras❤️
Mas, ternyata aku nggak salah untuk mengakhiri hubungan kita. Sebelumnya, aku minta maaf kalau ada salah sama kamu.

Cinta yang Melebur di DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang