Semoga kalian mendapatkan laki-laki yang benar-benar sayang, dan mencintai kalian apa adanya, ya? Aamiin.
Pelan-pelan bacanya, karena di bab ini aku update sedikit.
***
"Kamu salah paham, Ras," ujar Wianta menunggu respon Laras yang sedari tadi mendiamkannya.
"Kamu percaya sama Mas, 'kan?"
Laras mengalihkan perhatiannya, tidak tau ingin membalas apa pada lelaki itu.
"Tolong lihat Mas, Laras. Semua akan Mas jelaskan dengan pelan-pelan agar kamu nggak salah menilai," kata Wianta menggenggam tangan Laras.
"Aku bingung, Mas," ujar Laras dengan lirih.
"Aku kepikiran sama orang-orang termasuk Wulan yang terus mengataiku yang enggak-enggak, dan Mas malah mengajak Wulan berbicara di belakangku bahkan menuruti keinginannya. Padahal kamu tau sendiri kalau Wulan ini sibuk mengataiku yang statusnya sebagai pacar kamu, Mas."
"Kamu sayang aku nggak sih, Mas? Kalau Mas sayang aku pasti Mas akan memikirkan tentangku dan kalau Mas memang nggak sayang aku lagi tuh dibilang, biar kita selesai!"
Laras menatap Wianta dengan tajam. Mungkin Wianta benar-benar tidak menyayanginya lagi dan keputusan terakhir untuk mereka adalah selesai.
"Kamu bicara apa?"
Wianta berdesis, tidak suka dengan kata selesai yang terucapkan oleh Laras.
"Kamu bahkan belum mendengar penjelasan Mas dan malah seenaknya berpendapat dan seenaknya memutuskan," kata Wianta sedikit meninggikan nada suaranya.
"Ya udah! Jelaskan Mas, dari tadi sibuk mau ngejelasin tapi Mas nggak mau mulai. Aku capek tau nggak sih?"
Laras menangis, ia menutup wajahnya agar tidak terlalu lemah di depan Wianta.
Wianta mengembuskan napas panjang, berusaha tenang agar tidak terbawa suasana. Tadi saja lelaki itu tidak sengaja meninggakan nada suaranya karena tidak terima bahwa Laras mengatakan kata selesai.
"Sayang, lihat mata Mas dulu. Mas akan jelaskan kalau kamu sudah mau melihat mata Mas," kata Wianta lembut sambil menuntun wajah Laras agar fokus padanya.
"Sebelumnya, Mas minta maaf karena nggak bilang tentang Wulan yang mengajak Mas bertemu. Jujur saja, Mas menerima ajakannya karena ingin bilang ke dia untuk tidak pernah ikut campur mengenai hubungan kita. Saat Mas bilang begitu, Wulan akan melakukannya dengan syarat agar Mas mau menuruti satu keinginannya."
"Keinginannya itu hanya satu, yaitu dia ingin Mas agar membantu membiayai pengobatan ibunya yang dirawat di rumah sakit. Karena Mas nggak mau dia menganggu hubungan kita, jadi Mas langsung berikan saja ke Wulan dan tentunya Mas sudah beri peringatan juga. Wulan juga setuju, setelah Mas kasih semua biaya pengobatan untuk ibunya, Wulan nggak bakal mengganggu kita lagi."
"Mas minta maaf karena nggak bilang ini ke kamu, tapi karena Mas tidak tau harus melakukan apa jadinya Mas setuju-setuju saja."
Laras masih menangis, tidak tau harus merespon penjelasan Wianta seperti apa.
"A---aku mau pulang," kata Laras yang masih terisak.
"Jangan pulang dulu, ya? Nanti Mas Gilang tau kita ada masalah, lebih baik kamu istirahat di rumah Mas. Mau?"
Wianta mengelus pipi Laras, membersihkan air mata yang sudah membanjiri wajah gadis itu.
"Mau, ya?"
Laras mengangguk. Mungkin kalau pulang ke rumah Tante Winda akan membuat semuanya khawatir, termasuk Gilang.
***
"Loh, Laras? Kamu kenapa?"
Kak Hana menghampiri Laras yang baru saja datang dengan Wianta. Melihat wajah Laras yang berantakan membuat Kak Hana khawatir.
"Nanti saja bicaranya, Kak. Laras mau istirahat dulu," kata Wianta membawa Laras menuju kamarnya.
"Mas," tegur Laras karena tidak suka dengan sifat Wianta yang langsung membawanya.
"Apalagi? Kamu butuh istirahat, nanti biar Mas yang menjelaskan semuanya ke Kak Hana."
"Walaupun begitu, aku tetap mau bicara dulu sama Kak Hana."
"Nggak perlu, ayo masuk," kata Wianta membuka pintu kamarnya.
"Aku nggak mau!"
Wianta menatap Laras dengan teduh, lalu berujar, "Kamu perlu istirahat. Masuk, ya?"
"Aku nggak mau, Mas. Aku mau bicara sama Kak Hana," jawab Laras kekeuh.
"Bawel," kata Wianta langsung menggendong Laras dan membawanya masuk ke dalam kamar.
"Mas, ihh! Nggak mau," pekik Laras memukuli punggung Wianta.
"Kamu bawel sekali, padahal kalau nanti Mas jelaskan semuanya ke Kak Hana pastinya dia juga mengerti."
"Mas lebih bawel, ya. Aku udah bilang mau bicara dulu sama Kak Hana, tapi Mas tetap pengen aku istirahat," ujar Laras setelah lelaki itu menurunkannya ke tempat tidur.
"Karena Mas sayang kamu, jadinya Mas mau kamu istirahat biar nanti badan sama pikiran kamu lebih lega," balas Wianta membenarkan bantal, lalu membimbing Laras untuk berbaring. Kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh Laras.
"Mau dengar lagu?" tanya Wianta dan Laras menggeleng.
"Oke, kalau begitu istirahat ya. Mas mau bicara dulu sama Kak Hana," kata Wianta mengecup kening Laras dan segera berlalu.
Laras menatap pintu yang baru saja ditutup oleh Wianta. Sungguh, Laras tiba-tiba merasa bersalah pada lelaki itu. Sebab, ia sudah sangat salah paham. Karena kesalahpahamannya, ia sampai berani mengatakan kata selesai pada Wianta.
Saat memikirkannya kembali, Laras merasa dirinya benar-benar keterlaluan. Bayangkan kalau Wianta adalah tipe laki-laki yang mudah lelah menghadapi sifat pacarnya. Pasti hubungan mereka benar-benar selesai.
Namun, Laras bersyukur karena Wianta adalah laki-laki yang mempunyai banyak kesabaran. Di saat seperti ini, Laras sangatt ingin melihat Wianta marah padanya. Akan tetapi, mana bisa lelaki itu marah.
Wianta malah memikirkan dirinya yang perlu istirahat, dan menenangkan pikiran. Laras terkekeh geli saat ucapan-ucapan orang desa tentang hubungan mereka terlintas di pikirannya. Tidakkah mereka beranggapan bahwa Wianta adalah tipe laki-laki penyayang, penyabar dan juga setia?
Laras bersyukur memiliki Wianta, laki-laki sempurna yang sangat menyayanginya.
Untuk masalah Wulan, mungkin nanti akan dibicarakan kembali dengan Wianta setelah Laras selesai istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Melebur di Desa
ChickLitLaras datang ke desa, hanya untuk mengunjungi neneknya yang sedang sakit dan sekalian untuk menemani. Karena kebetulan, gadis itu sedang libur semester selama tiga bulan. Namun, siapa sangka dengan datangnya dia ke desa, ia dapat bertemu dengan Wia...