36. Secepat Itu?

181 20 0
                                    

"Semenjak Kakak sama Mas Wianta ggak sama-sama lagi, banyak tau perempuan yang dekati Mas Wianta. Bahkan Ibu-Ibu di desa udah terang-terangan mengkode biar Mas Wianta menikah sama anak mereka."

Laras termenung. Benar apa kata Masnya---Gilang. Bahwa Wianta banyak yang mengejar. Apalagi setelah kandasnya hubungan mereka berdua, pasti banyak sekali yang mendekati Wianta.

"Emm, ada yang membuat Mas Wianta tertarik nggak, Din? Maksudku, yang membuat Mas Wianta jatuh hati?" tanya Laras penasaran.

"Nahh! Ini yang mau aku kasih tau, Kak. Tadi pagi aku nggak sengaja lihat Mas Wianta membawa perempuan cantik naik motor, mungkin mau ke kebun. Aku kesel kali, soalnya perempuan itu bawa bekal juga, Kak. Mungkin untuk makan siang? Entah deh, aku nggak peduli. Pokoknya kesel banget, karena biasanya yang mengantar bekal Mas Wianta itu Kakak loh."

Seketika, Laras teringat ketika Wianta dan dirinya terjebak hujan. Saat itu, Laras menangis karena sudah lelah menunggu hujan yang tak kunjung reda. Sampai akhirnya, Wianta memberanikan diri membawanya pulang di tengah hujan dengan motor.

Namun, saat mendengar ucapan Dini bahwa ada perempuan lain yang duduk di motor itu membuat hati Laras sakit. Entahlah, rasanya Laras tak rela posisinya diganti oleh perempuan lain.

Lagipula, mengapa Wianta semudah itu membawa perempuan naik ke atas motornya? Apakah selama menjalin hubungan Wianta memang suka melakukan itu? Jika iya, Laras bersumpah tidak akan memaafkannnya.

Lalu, mengenai bekal. Semudah itukah Wianta menerima bekal dari orang lain? Semudah itukah Wianta menyantap makanan orang lain? Laras berdecih saat mengingat Wianta mengatakan bahwa makanan yang ia buat sangat enak, mungkin makanan itu sudah sering dimakannya dari orang yang berbeda.

"Kamu kenal perempuan itu, Din?" tanya Laras memberanikan diri untuk menanyakan perempuan yang dilihat oleh Dini itu.

"Kurang tau, Kak. Mungkin perempuan itu pendatang."

"Kamu bisa menjagakan Mas Wianta di sana, Din? Takutnya, perempuan itu bermaksud untuk memanfaatkan Mas Wianta," kata Laras dengan lirih. Entah mengapa, kalimat itu terlontar dari bibirnya. Mungkin, ia khawatir Wianta dekat dengan orang yang salah setelah mereka memutuskan untuk tidak bersama.

"Kak, aku nggak ada hak untuk itu. Semuanya terserah Mas Wianta. Lagian aku nggak berani bicara sama Mas Wianta lagi semenjak kalian putus, Kak."

"Kalau Kakak sama Mas Wianta masih sama-sama, aku baru bisa melakukan itu. Tentunya ada Bang Sadam juga yang bantuin, tapi hubungan Kakak sama Mas Wianta saja sudah putus, terus gimana cara untuk menjagakan Mas Wianta, Kak."

Laras memejamkan matanya. Entah mengapa, hatinya terusik saat Dini mengatakan bahwa hubungannya dengan Wianta sudah putus.

"Emm, memangnya Kakak nggak ada niatan untuk balikan lagi sama Mas Wianta ya, Kak? Kalau memang Kakak ada niatan dan bilang langsung ke Mas Wianta, pasti dia senang banget, Kak."

"Mas Wianta udah punya perempuan lain," kata Laras lirih.

"Kalau seandainya belum punya, Kakak mau balikan dan langsung membahas mengenai lamaran yang waktu itu, nggak?"

"Nggak tau deh, Din."

"Aku jadi penasaran deh, Kak. Kok bisa Kak Laras sama Mas Wianta nggak mau melanjutkan lamaran itu dan memilih untuk berpisah? Kalau seandainya jadi, pasti perempuan-perempuan yang terus mengejar Mas Wianta bakal histeris, hahaha."

"Menurut kamu, kenapa bisa begitu?"

"Nggak tau deh, Kak. Toh, yang menjalani itu Kak Laras sama Mas Wianta."

"Oh ya, Kak. Aku udahin dulu yaa, ini aku mau dijemput temen buat main. Dadah, Kak!"

Laras menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Beberapa hari ini, Dini sering memberitahu mengenai apa saja yang dilakukan oleh Wianta. Tentang perempuan yang dikatakan Dini itu adalah salah seseorang yang selalu dibahas karena selalu tampak dekat dengan Wianta.

Entah mengapa, Laras tidak senang Wianta dekat dengan perempuan lain. Laras merasa diduakan, walaupun ia tahu bahwa awalnya ia yang salah karena mengakhiri hubungan tanpa memikirkan bagaimana nasib Wianta. Apalagi umur lelaki itu sudah tak lagi muda, sudah siap untuk menikah.

Laras membeku. Apakah perempuan yang dikatakan oleh Dini adalah calon istri Wianta? Tidak, Laras tidak bisa menerima hal itu. Apalagi perempuan yang dikatakan Dini adalah pendatang, perempuan itu pasti belum tau mengenai apa saja yang Wianta sukai dan tidak sukai.

Karena tidak mau Wianta mendapatkan perempuan yang salah, Laras memberanikan diri untuk menelepon laki-laki itu.

Panggilan pertamanya ditolak, dan begitu pula untuk panggilan yang kedua. Namun, saat Laras mencoba memanggil untuk yang ketiga kali, akhirnya diterima oleh Wianta.

"Hallo? Siapa?"

Laras bergeming. Yang dia dengar bukanlah suara Wianta, melainkan suara perempuan yang menurutnya sangat asing.

"Hallo? Siapa, ya?"

Sekali lagi, suara itu terdengar dan Laras masih tidak mau menyahut karena masih terkejut.

"Siapa, Nin?"

"Nggak tau, Mas. Kayaknya yang menelepon ini orang iseng."

"Ya sudah, dimatikan saja."

"Secepat itu kamu cari penggantiku, Mas?' gumam Laras setelah panggilan tersebut diputuskan.

Cinta yang Melebur di DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang