Soeraandaru; 07 (W)

51 9 3
                                    

Darah itu kalau Ngoko jadi 'getih' tapi kalau Krama jadi 'rah' aku agak bingung sama ini. Aku terima koreksi kata-kata yang kurang tepat.

Untuk bab depan, mulai masuk ke kejadian yang 'agak lain' seperti aku bilang sebelumnya.

Mau lihat video tentang kota ini silahkan ke tik tok ya.

.

.

.

“Wonten punapa sampeyan lampah kesusu, Raden Mas?”

“Rah Soeraandaru mili wonten lebet badan estri menika, Romo. Kulo mboten saged ngejoraken wargi lokal kejebak saumur sugeng wonten alam gaib.” (Darah Soeraandaru mengalir di dalam tubuh wanita itu, Romo. Saya tidak bisa membiarkan warga local terjebak seumur hidup di alam gaib.)

“Wargi lokal nangin mboten ngertos sami aturan kitha wiyosanipun?” (Warga lokal tetapi tidak mengerti sama aturan kampung halamannya?)

Nggih, Romo. Piyambakipun mboten ageng ing kitha puniki.”

“Romo lepaskan piyambakipun dinten puniki, nangin mboten kangge kelepatan kaping kaping kalih.”(Romo melepaskannya hari ini, tapi tidak untuk yang kedua kalinya.)

“Matur sembah nuwun, Romo.”

“Nduk, tangi, dinten sampun siyang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Nduk, tangi, dinten sampun siyang.”

Serena membuka matanya perlahan merasa terganggu dengan suara-suara yang terus menerus bersahutan di telinganya. Pertama yang dia lihat wajah mbok memperhatikan dirinya lekat, Serena tidak perduli karena rasa kantuknya seperti merayunya untuk jatuh terlelap kembali.

“Nduk, dino iki Mbok lungah rewang ing Kedhaton. Kowe arep melu acara mengko wengi ora? Mbok arep nyiapke klambi yen arep melu. Kebetulan taun iki kowe neng kene.” (Nduk, hari ini mbok pergi rewang di Kedhaton. Kamu mau ikut acara nanti malam tidak? Akan mbok siapkan pakaiannya kalau mau ikut. Kebetulan tahun ini kamu ada di sini.)

Seperti diterpa angin segar, kantuk Serena langsung hilang. Dia segera duduk menatap mboknya penasaran sekaligus bingung. “Kabeh wargi lokal iso mlebu Kedhaton?”

“Ora ngono, Nduk. Kowe lali yen Mbok abdi dalem?”

“Hah?” Otak bangun tidur Serena langsung bekerja keras. Abdi dalem? Sejak kapan?

“Wes, ojo terlalu dipikirke. Melu acara bengi iki, mungkin kowe wae wong asli kene seng durung melu acara iki.”

Nggih, Mbok.”

“Kono adus dhisik, ojo lali mangan. Mbok arep metu sedhela.”

“Memangnya nanti malam acara apa, Mbok?”

“Anggap saja Dhaup Ageng, Nduk.”

“Lho, putra mahkota mau menikah, Mbok? Kok tidak masuk berita?”

Durung, kan Mbok bilang anggap saja. Semoga tahun ini niat baik bisa terlaksanakan.”

Serena mengangguk membiarkan mboknya keluar dari kamarnya. Rasanya ada yang dia lewatkan. Lalu kejadian semalam itu hanya mimpi? Kalau nyata kenapa pakaiannya sudah berganti lagi? Serena menyingkapkan selimutnya mencari melati yang dipegangnya semalam.

“Eh, ada.” Dibawah kakinya rangkaian melati itu tergeletak, rangkaian melati itu lebih cantik dari pada rangkaiannya kemarin sore. “Memang ada yang aneh. Rumah ini aneh sekali bulan ini.”

Serena pergi mandi selagi ada niat, mandi saat tidak ada niat untuk pergi ke luar itu sangat berat, seperti, untuk apa mandi? Toh masih wangi dan cantik.

Serena mengintip ke dalam kamar mandi, takut dia semisal mimpi semalam menjadi kenyataan. Merasa aman, Serena masuk dengan santai. Matanya melirik guci yang terletak dekat dengan bathtub berisi air bertaburan berbagai macam bunga. Ini mbok yang menyiapkan menyuruh dia mandi air kembang? Kok tidak memberitahu tadi?

Tidak mengambil pusing, Serena akhirnya mandi air kembang itu, airnya juga wangi segar, dan cukup hangat. Selesai mandi Serena berganti dengan dress putih panjang tanpa lengan. Niat hati sudah makan siang dia mau kembali tidur lagi, nikmat libur memang seperti ini, nanti baru jalan-jalan lagi kalau Windia sudah datang ke sini.

“Nduk, ini pakaiannya Mbok taruh di kamar. Nanti jam 4 sore ada utusan dari Kedhaton akan membantu kamu berdandan.”

“Kenapa sampai sampai pihak Kedhaton turun tangan, Mbok. Ini acara sakral ya?” Serena tidak terpikirkan hal semacam ini. Dimana-mana tuan rumah tidak pernah sampai turun tangan membantu tamu undangannya, apalagi ini sekelas Kedhaton. 

“Iya, Nduk.”

“Kalau begitu aku tidak jadi ikut, Mbok. Aku wedi.”

“Tidak bisa dibatalkan, Nduk. Mbok sudah memberitahu pihak Kedhaton, nama kamu sudah tercatat. Mbok juga sudah memberitahu orangtua kamu.”

Mendengar itu Serena semakin takut, ini benar-benar serius sepertinya. Kerjaan Serena selain makan ya melihat jam yang bergerak cepat sekali tiba-tiba sudah setengah empat saja, 30 menit lagi sudah ada yang datang.

Tidak lama ada suara telapak kaki kuda berhenti di depan rumahnya. Serena berjalan keluar melihat siapa yang datang. Melihat seorang ibu-ibu turun dari kereta, dengan sopan Serena tersenyum menyambut dengan ramah, berbanding terbalik dengan jantungnya yang berdetak kencang. Antara takut, penasaran, dan khawatir menjadi satu.

“Sugeng sonten, Cah Ayu. Kula utusan saking Kedhaton kangge ngrencani panjenengan siap-siap.”

“Nggih, Ibu. Mangga mlebet.”

Serena tidak berani bertanya macam-macam, hanya ada percakapan formal saja diantara mereka. Serena lebih fokus memperhatikan rambutnya yang ditata, dan memakan waktu cukup lama menghias wajahnya. Terakhir mengenakan pakaian yang mboknya siapkan tadi. Kalau begini Serena sudah membayangkan dia berjalan sangat anggun nanti, geraknya pun terbatas.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


(Wonwoo) Kedhaton Soeraandaru Hadiningrat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang