Soeraandaru; 10 (W)

63 10 3
                                    

Serena bangun dari tidurnya dalam keadaan terkejut. Matanya langsung mencari sosok yang tidur satu kamar dengannya, tidak tidur satu ranjang, kamar cukup luas itu ditambah ranjang satu lagi semalam setelah kejadian menakutkan itu, Serena tidak mau ditinggal, pokoknya harus ada orang yang dia lihat dalam satu ruangan.

Melihat tidak ada siapa-siapa walaupun keadaan kamar sudah cukup terang, Serena tetap saja panik. “Mas?” Panggil Serena cukup keras. Kamar ini secara tidak langsung menjadi tempat yang seharusnya dia jauhi.

“Saya di kamar mandi.”

Jawaban tersebut membuat Serena cukup lega. Dia turun dari ranjang membuka jendela agar kamar semakin terang. Setelahnya dia berdiri di depan kamar mandi, bingung mau melakukan apa.

Ceklek

Pintu kamar mandi terbuka langsung menampilkan tampang segar Devan, Serena langsung mendongak tidak berkedip disuguhi pemandangan mahkluk tampan. Mantannya yang pulu-pulu itu bahkan tidak sampai satu persennya dari Raden Mas ini.

“Sekalian mandi ya, Mbak. Mbak belum makan, ini sudah hampir jam 11 siang.”

Serena syok, jam 11 dia baru bangun, di Kedhaton pula. Akan jadi buah bibir sih ini, yakin sekali Serena.

“Saya tunggu di depan, nanti ada yang membawa kan pakaian ganti untuk Mbak Kahiyang.”

Serena ngangguk, “Matur sembah nuwun, Mas.”

“Nggih Mbak, sami-sami. Mbak bisa bahasa Jawa kan aslinya?”

Serena baru ingat alibinya kemarin malam, jadi dia langsung menggeleng, lebih baik tetap pura-pura tidak tahu dari pada julukan untuknya semakin bertambah. “Saya hanya mengerti sedikit-sedikit, Mas. Soalnya jarang menggunakan bahasa Jawa.”

“Nggih Mbak, silahkan masuk.”

Serena masuk ke dalam kamar mandi sembari memegang dadanya. Aneh sekali tiba-tiba jantungnya berdebar kencang melihat senyum Raden Mas itu. Efek samping melihat orang tampan ternyata tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

Serena berbalik langsung memekik kaget melihat rupa dirinya sendiri di cermin. Pakaian putih panjang dan rambut panjangnya sebuah kombinasi pas membuatnya seperti menyerupai mahkluk halus. Serena buru-buru melepas pakaiannya, takut melihat dirinya sendiri.

“Tunggu, berarti aku satu kamar mandi dengan penerus Kedhaton?!” Serena membekap mulutnya dengan tangan. Bayangkan seberapa banyak perempuan diluar sana yang menginginkan posisi ini, Serena jadi merasa beruntung seketika. “Kok aku jadi malu ya? Hihihi ….” Serena terkekeh pelan, kemudian dia langsung mematung mendengar kekehan yang masih terdengar walaupun dia sudah tidak tertawa lagi.

Srak!

Serena langsung menarik persediaan jarik di dalam kamar mandi, lalu memakainya terburu-buru. Dia keluar dengan membanting pintu kamar mandi.

“Mas!” Teriak Serena kencang, tidak perduli dia dianggap tidak punya tata krama.

“Cah Ayu.”

“Dalem?” Sahut Serena refleks, sedangkan tangannya membeku memegang ganggang pintu.

“Kenapa terburu-buru? Ada yang bisa Mbok bantu?”

Serena menoleh perlahan takut kalau yang ngomong sama dia bukan manusia. Setelah melihat rupa, pakaian, dan kaki yang menapak, barulah Serena tenang.

“Tadi ada yang mengikuti saya tertawa, jadi saya takut, Mbok.”

“Suara di dalam kamar mandi kan memang sering bergema.”

Benar juga, dia baru ingat akan hal itu. Takut membuatnya melakukan hal konyol. Semakin lama di Kedhaton sepertinya dia akan semakin kehilangan muka.

“Jariknya terlalu singkat, Cah Ayu. Tidak baik jika dihadapan Gusti Raden Mas seperti itu, kalau sudah menikah baru tidak apa-apa.”

(Wonwoo) Kedhaton Soeraandaru Hadiningrat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang