Silahkan koreksi jika bahasa jawanya kurang tepat. Sekali lagi saya ingatkan, ini kota fiksi yang saya buat, alur dan aturannya tidak sesuai dengan kenyataan.
.
.
Serena diantar pulang sekitar jam 2 siang. Di jalan dia melihat ada yang menarik perhatiannya, tapi tidak berani bilang sama Raden Mas, jadi dia hanya diam-diam saja sampai membuat gelagatnya mencurigakan.
“Kamu butuh sesuatu?”
Serena kaget diajak ngomong tiba-tiba tapi tetap mengiyakan. Perinsipnya tidak mau menyia-nyiakan pria peka, takutnya nanti malah menjadi tidak peka.
“Tadi ada angkringan tempatnya bagus.”
“Mau mampir?”
“Agak ramai tapi, Mas.”
“Kamu tidak nyaman jika ramai?”
“Saya biasa saja, tapi Mas?”
“Saya juga biasa saja, Mbak.”
“Boleh deh kalau begitu.”
“Pak, kita putar balik ke angkringan tadi ya.”
“Nggih, Mas.”
Sudah ganteng, peka, darah biru, ramah, kurangnya hanya berurusan sama mahkluk halus saja sih kalau ini. Kalau seperti penerus Mangkunegara sih aku sudah bahagia banget sekali. Aku yang penakut masa harus berurusan sama mereka seumur hidup sih? Salah apa aku?
“Oh ya, Mas. Waktu di Stasiun Solo itu, saya penasaran kenapa ikatan bunga melati bisa sekencang itu ya?”
“Yakin Mbak mau tahu alasannya?”
“Yakin saya Mas, dari pada penasaran seumur hidup.”
“Itu Raden Mas yang pegang, Mbak. Bunga melatinya layu setelah Mbak ke Soeraandaru kan?”
“H-hah?” Serena menatap Raden Mas takut-takut. Jangan bilang kalau calon suaminya ini punya dua jiwa, satunya berbau mistis lagi? Apa tidak mati berdiri dia nanti hidup berdampingan seumur hidup?
“Saya tetap manusia kok, Mbak. Jangan tatap saya seperti itu.”
“Sepurane, Mas. Saya baru tahu ada yang semacam ini, jadi antara percaya sama tidak percaya.”
“Saya mengerti, Mbak. Jangan merasa bersalah begitu.”
“Ngomong-ngomong Mas, apa tidak apa-apa kita berbicara soal ini ditempat umum? Kalau bapaknya dengar bagaimana?”
“Tidak masalah, semua abdi dalem tahu apa yang terjadi di Kedhaton. Untuk mejadi abdi dalem sudah disumpah, jadi apa yang terjadi di dalam Kedhaton atau apa pun tentang Kedhaton sudah menjadi rahasia, karena ada harga yang harus dibayar jika melanggar.”
“Seperti kelakuan teledor saya yang mengintip itu, Mas?”
“Nggih, kalau saya tidak cepat tahu Mbak keturunan asli Soeraandaru, jiwa Mbak sudah menjadi milik mereka, selamanya.”
“Menjadi penari?” Devan mengangguk mengiyakan. “Saya suka menari, tapi jika menari di alam gaib sih saya keberatan.” Merinding Serena membayangkannya.
“Walaupun mata Mbak hampir sepenuhnya memutih, Mbak tetap cantik kok, saya siap menemani Mbak di sana.”
“Mas, jangan bercanda.” Ngeri Serena melihat senyum terbit dibibir Raden Mas.
Delman yang mereka naiki berhenti di depan angkringan yang Serena maksud. Karena dia pakai kebaya jadi kalah cepat turun dari Raden Mas, berakhir turun dibantu sama Raden Mas, jadi dia harus menahan diri untuk pura-pura tidak tahu kalau mejadi pusat perhatian. Jelas orang-orang sini sudah tahu identitas penerus Kedhaton dan calon pasangannya. Serena jadi mepet-mepet Raden Mas, malu dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Wonwoo) Kedhaton Soeraandaru Hadiningrat
Fiction généraleSerena lahir di Kota Soeraandaru Jasmijn, ketika usianya menginjak 6 tahun dia sekeluarga pindah ke luar kota. Kedua orang tua Serena waktu itu memiliki pekerjaan di luar kota yang tidak memungkinkan untuk pulang pergi. Sejak saat itu Serena hanya s...