Soeraandaru; 09 (W)

64 9 1
                                    

Piye, Mas?” Adhinata yang nyusul tadi langsung mendekati masnya yang keluar dari kamar. (Bagaimana?)

Devan hanya menggeleng, “Mbuh.” Tatapannya kosong, Adhinata yang melihat itu jadi mikir yang tidak-tidak. (Tidak tahu.)

“Mbaknya baik-baik saja kan?”

“Mungkin, Mas disuruh tunggu di luar.”

“Kalau tidak panik harusnya baik-baik saja, Mas.”

“Iya, semoga.”

Tidak berselang lama pintu kamar terbuka, para tetua yang ada di dalam keluar membawa kain yang agak berubah warna dan basah.

“Kamu tunggu di sini ya, Mas. Mungkin satu jam lagi mbak Kahiyang sudah sadar.”

Nggih, Ibu.”

Setelah ditinggalkan berdua, Adhinata mengajak masnya itu untuk mengobrol di paviliun depan kamar.

“Itu tadi darah ya, Mas? Agak amis soalnya.”

“Seperti yang sudah romo bilang sebelumnya. Tapi saya tidak tahu kalau sebanyak itu.”

“Harusnya mbak Kahiyang dapat transfusi darah.”

“Itu normalnya, Nata. Tapi lihat sekarang, kita berhadapan dengan apa?”

“Harusnya kita sudah diberitahu keseluruhan soal ini, Mas. Walaupun selama ini saya tidak merasa terganggu, tapi soal pasangan hidup dan cara memilihnya itu lho, sangat mengganggu. Dan ritual yang tidak masuk diakal ini akan terus berlanjut.”

“Tapi diluar itu semua kita hidup makmur kan?”

“Nggih, Mas. Nanging jodho ugi perangan saking gesang, Mas.”(Tapi jodoh juga bagian dari kehidupan, Mas.)

“Tentu. Tidak apa-apa selama tidak ada dampak negatifnya. Karena itu juga hidup ini terasa lebih menarik.”

“Menarik apa? Saya tidak gila saja sudah sangat bersyukur, Mas.”

“Sampeyanipun ingkang penakut, Nata.” (Kamunya yang penakut, Nata.)

“Oh, ngono. Raden Mas kang lair wis bisa weruh dheweke kabeh, tulung ojo samakan karo aku, Mas.” (Oh, begitu. Raden Mas dari lahir sudah bisa melihat mereka, tolong jangan samakan sama saya, Mas.)

“Yen ora berurusan karo leluhur, Mas ora ono neng kene saiki.” (Kalau tidak berurusan dengan leluhur, Mas tidak akan ada di sini sekarang.)

“Benar juga.”

“Heh, ratapi nasib Mas dulu.”

“Opo seh Mas Wasesa ki?” (Apa sih Mas Wasesa?)

“Devan, udu Wasesa.” (Bukan.)

“Moh. Jeneng Mas e lho enek Wasesa ne, yo ngopo yen aku arep mangil Mas Wasesa wae?” (Tidak mau. Nama Mas kan ada Wasesa nya, ya kenapa kalau aku mau manggil Mas Wasesa saja?)

 Nama Mas kan ada Wasesa nya, ya kenapa kalau aku mau manggil Mas Wasesa saja?)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Wonwoo) Kedhaton Soeraandaru Hadiningrat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang