“Mas!”
Seseorang yang merasa terpanggil itu langsung mengedarkan pandangannya mencari sosok yang memanggil dirinya. Dari kejauhan matanya menangkap sosok familiar yang melambaikan tangannya heboh. Pria itu hanya bisa menghela napas sembari membenarkan letak kacamatanya, tingkah adiknya itu semakin bar-bar tidak mencerminkan keturunan Kedhaton sekali.
“Ada yang menarik tidak di sana, Mas?” Tanya sang adik setelah merebut koper dari tangannya.
“Di tempat tidak ada, kalau di jalan pulang ada.”
“Raden Mas?”
“Devan.”
Adhinata berhenti berjalan. Matanya fokus memperhatikan kakaknya. Pantas saja hawanya terasa ringan sekali, mereka berpisah ya? Apa yang terjadi sampai Raden Mas memilih untuk tinggal?
“Jangan terlalu lama berpikir, cuaca semakin dingin, saya ingin segera sampai di Kedhaton, Nata.”
“Iya, Mas.” Adhinata melangkah cepat mengimbangi langkah kakaknya.
Selama perjalanan Devan memperhatikan sepanjang tempat-tempat yang dilewati tampak selalu ramai oleh wisatawan, bagus, tapi dia rasa pengawasan harus ditingkatkan lagi. Tidak ingin kalau sampai ada yang melanggar aturan lagi hingga merenggut nyawa para wisatawan itu, Devan tidak suka berurusan dengan kepolisian.
“Kamu tolong Mas mengawasi keadaan dekat Kedhaton ya, Nata. Mas akan fokus mengajar dalam beberapa hari ini.”
“Tanpa Mas minta saya dengan senang hati melakukannya.”
Devan mengangguk mengiyakan, tanpa melihat adiknya dia berkata lagi, “hanya mengawasi ya, Nata, bukan mencari wanita seperti tahun lalu. Kamu tidak akan bisa bertanggung jawab jika balasannya adalah nyawa.”
Adhinata yang diingatkan tentang kelakuannya tahun lalu hanya bisa mengangguk pasrah. Itu memang salahnya, dia terkalahkan oleh ego sesaat. Kabar baiknya wanita itu hanya kerasukan dan membuat orang-orang Kedhaton sibuk selama dua hari dua malam.
Keadaan Kedhaton selalu sepi ketika malam hari, kecuali saat ada perayaan. Devan memasuki lorong di mana kamarnya berada, gema langkah kakinya bersahutan dengan langkah kaki yang mengikutinnya dari pintu depan.
“Mas Wasesa.” Panggilan tersebut mengurungkan niat Devan membuka pintu kamarnya. Devan menoleh mendapati perempuan setengah baya yang menatap dirinya lekat.
“Inggih, Ibu?”
“Raden Mas wonten ing pundi, Cah Bagus?”
“Raden Mas wonten urusan sekedhap, Ibu.”
“Sampun lami-lami, Cah Bagus, mboten sae.”
“Inggih, Ibu. Badhe kula sanjangaken.”
Ceklek
Pintu kamarnya langsung terbuka, Devan melangkah masuk ke dalam.
Serena memandangi dirinya di depan kaca. Dia tetap merasa aneh dengan ikatan bunga melati ini, tapi di lain sisi dia suka. Serena melepas ikatan itu dengan hati-hati lalu meletakkannya di atas meja rias. Serena langsung mandi dan berpikir untuk tidur sebentar sebelum makan malam, sungguh hari ini sangat melelahkan untuknya.
Selesai mandi Serena mengintip dari balik hordeng kamar hotelnya, hujan sedang turun begitu deras bersamaan dengan angin yang lebih kencang dari pada tadi di stasiun. Dalam hati Serena berharap tidak ada berita pohon atau bangunan roboh esok pagi.
Ctak!
Serena mematung di tempat ketika lampu kamarnya mati tiba-tiba. Serena melangkah cepat ke depan di mana letak kasurnya berada, seingatnya ponselnya ada di atas kasur tadi. Dia merangkak di kasur meraba-raba mencari ponselnya.
Ctak!
Serena kaget bersamaan dengan rasa lega karena lampu kamarnya yang kembali nyala. Serena langsung mengambil ponselnya yang terletak di ujung kasur.
Ctak!
“Astaga!” Rasanya ingin berbicara kotor karena lampunya mati lagi. Serena menyalakan flash ponselnya dengan pandangan lurus ke depan, dia tidak berani melihat tiap sudut kamar hotelnya.
“Mati aku!” Jerit Serena dalam hati. Disaat seperti ini hidungnya kembali mencium bau kemenyan. Selimut Serena tarik menutupi seluruh tubuhnya, mencoba mengabaikan seperti ada orang lain di dalam kamarnya. Serena rasa sosok itu ada di dekat pintu keluar bersamaan dengan saklar lampu berada.
Tap …. Tap …. Tap ….
“Benar, aku akan mati malam ini, huhuhu ….” Serena semakin menciut di balik selimut. Kalau tahu begini Serena lebih memilih bermalam di stasiun saja, atau langsung ikut pulang bersama mas yang tadi. Sungguh sial sekali dirinya, sudah disakiti, eh belum balas dendam malah sudah akan mati saja.
Tak!
Serena teriak sejadi-jadinya merasakan ada yang mendarat di atas kepalanya. Ia singkirkan selimut yang menutupi dirinya dengan menargetkan pintu, pasti tidak ada yang menunggu di pintu karena sosok itu ada di sampingnya, itu yang Serena pikirkan.
Srak!
Serena turun dari ranjang langsung berlari ke arah pintu. Tapi ada yang aneh, kamarnya agak terang karena cahaya yang mengintip dari balik golden yang terbuka sedikit. Apa ini? Apa sekarang sudah siang?
Gusti Raden Mas Wasesa Mahadevan Andaru
Soeraandaru Jasmijn, 17 Juli 1996.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Wonwoo) Kedhaton Soeraandaru Hadiningrat
Ficción GeneralSerena lahir di Kota Soeraandaru Jasmijn, ketika usianya menginjak 6 tahun dia sekeluarga pindah ke luar kota. Kedua orang tua Serena waktu itu memiliki pekerjaan di luar kota yang tidak memungkinkan untuk pulang pergi. Sejak saat itu Serena hanya s...