Soeraandaru; 03 (W)

57 9 0
                                    

Serena sudah kembali ke Jakarta sore harinya. Tiba-tiba saja dia merasa sangat takut di kamar hotel itu, mending dia pulang dan mengurusi kontennya di rumah saja. Dia di jemput oleh managernya di stasiun, tadinya mau di jemput oleh sang kakak, tapi Serena menolak. Sekalian ada yang mau dibicarakan sama managernya itu.

"Kamu ganti parfum ya?"

"Tidak kok, parfum biasanya. Memangnya sekarang bau apa?" Tanya Serena sembari membaui tubuhnya.

"Bau bunga melati sepertinya." Jawab sang manager agak ragu.

"Oh melati. Karena ini mungkin." Serena mengeluarkan rangkaian melati dari tasnya.

"Dapat dari mana kamu? Bukannya itu suka dipakai orang nikahan ya? Atau kamu yang menikah di sana jangan-jangan."

"Sembarangan!" Serena tidak terima dituduh macam-macam. Orang baru dikhianati pasangan, mau menikah sama siapa coba?

"Ya siapa tahu."

"Ini tuh diberi sama orang pas di stasiun, aku tidak bawa ikat rambut, kena angin kencang jadi ya berantakan rambutku. Mas baik itu memberikan ini." Jelas Serena singkat.

"Pantas masih segar, bertemu hari ini."

"Bukan, kemarin sore kok ini."

"Ah masa? Ini masih segar banget lho."

"Masa? Perasaan tidak sesegar itu kok, Win."

"Terserah kalau tidak percaya. Mungkin ada jampi-jampi di bunga itu."

"Halah, kebanyakan nonton film horor kamu."

Windia mengidikkan bahunya, "mungkin. Kita mampir ke resto saja sekalian ngobrol soal kerjaan kamu."

"Boleh, aku juga sudah lapar."

"Seperti biasa, Win

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Seperti biasa, Win. Aku coba dulu produknya, kalau memang bagus dan cocok di aku, baru aku mau tanda tangan kontrak."

"Aku langsung mengabari pihak mereka kalau begitu. Waktu sebulan cukup tidak?"

"Cukup sih. Soalnya kan rambutku rewel, kalau tidak cocok langsung bereaksi."

"Oke."

"Lho, ada Serena di sini."

Baik Serena maupun sang manager Windia, keduanya kompak menoleh ke sumber suara. Melihat wajah pria pulu-pulu ini sudah membuat Serena mual seketika saking muaknya.

"Dilarang berbicara kepada orang asing. Sana pergi." Windia mengibaskan tangannya.

"Aku kenal Serena, jadi aku bukan orang asing. Iyakan?"

"Kamu kenal dia?" Windia menanyai Serena.

"Tidak tuh, siapa dia." Timbal Serena acuh.

"Mana mungkin asing, Ren, kita kan mantan. Aku minta maaf soal kejadian itu, tapi bukan berarti setelah putus kita jadi seperti orang asing."

"Sudah sana pergi, malas melihat wajahmu." Usir Serena.

"Apa sih, begitu saja marah. Jangan sombong juga jadi perempuan, nanti tidak laku."

"Siapa juga yang jualan?"

"Tidak ada yang tahu kedepannya. Belum tentu kau tidak mencoba nanti, awas ketagihan."

"Dia bicara soal apa sih?" Windia bingung sama konteksnya.

"Dia itu orang gila, tidak usah hiraukan omongannya."

"Halah, sok jual mahal. Jangan-jangan diam-diam kau pro."

"Jaga omongan Anda ya. Sadar diri, sudah wajah jelek, kelakuan jangan jelek juga dong, sampah saja bagusan sampah dari Anda." Serena berbicara cukup kencang hingga menarik perhatian beberapa pengunjung di dekat mereka duduk.

"Awas kau." Pria itu berbicara pelan tapi menatap Serena tajam. "Kau tidak akan lepas dariku sampai aku bisa mencicipi tubuhmu."

Windia melotot kaget mendengar itu. Pria kurang ajar ini, astaga!

"Oh ya? Coba cicipi saya kalau bisa. Saya tunggu lho." Ujar Serena dengan senyum lebarnya.

"Heh!" Windia kaget. Kerasukan apa anak ini?!

"Oke, ditunggu ya, Cantik." Pria itu mengedipkan matanya sebelum berbalik pergi menjauh.

Windia balik menatap Serena, mau ngomel panjang kali lebar pokoknya. "Sembarangan kalau ngomong. Orang seperti itu takutnya nekat kalau ditantan--"

Bruk!

Suara benda jatuh terdengar keras di restoran itu, orang-orang langsung menoleh melihat ke sumber suara. Ternyata ada seseorang terjatuh tengkurap di lantai dan mengalami kejang, seketika pengunjung heboh, takut melihat orang itu kejang-kejang.

Serena yang penasaran meninggalkan mejanya menuju ke kerumunan itu.

"Mulutnya bersih, bukan keracunan berarti." Kata salah seorang pengunjung restoran yang bisa melihat wajah orang tersebut.

"Mungkin dia sakit epilepsi."

"Berarti nanti sembuh sendiri kan ini?"

"Lebih baik panggil ambulan saja, belum tentu dia punya riwayat epilepsi."

Setelah berhasil menyelinap di arah kepala pria itu, Serena tidak bisa menutupi rasa terkejutnya karena dia kenal betul orang ini. "Saya kenal pria ini, setahu saya dia tidak ada riwayat epilepsi." Ujar Serena.

"Kalau begitu nanti Kakak yang menemani di ambulan ya."

"Oh, bole--eh?!" Serena belum selesai bicara dia sudah di tarik menjauh dari kerumunan itu.

"Mau ke mana, Win? Pria pulu-pulu itu sekarat tahu."

"Bagus dong." Ujar Windia dengan terus menarik Serena pergi dari restoran. Untung sudah bayar diawal, jadi tidak repot lagi dan bisa langsung menggeret Serena.

"Orang seperti dia menuh-menuhi bumi saja kalau hidup, biarkan saja seperti itu, itu karma dia." Windia terus mengoceh sampai mereka masuk ke dalam mobil.

"Iya sih bagus. Tapi aku belum balas dendam pamer dapat pria tampan ke dia."

"Kalau kamu punya kesempatan untuk pamer, dia pasti bisa bertahan hidup kok. Sudah, jangan banyak pikiran. Aku antar kamu pulang ya."

Serena ngangguk mengiyakan.

"Sejujurnya Ren, aku buru-buru keluar dari sana karena tidak kuat sama bau bunga melati. Rasanya sampai sesak." Aku Windia sebelum Serena keluar dari mobil.

"Tidak ada bau bunga melati kok dari tadi, Win. Kamu salah mengartikan mungkin. Ada aroma makanan yang tidak kamu suka."

"Tidak mungkin aku salah, Ren, aku sampai sesak."

"Aneh." Serena bingung sendiri.

"Ya memang aneh."

"Kita bahas besok lagi deh, Win. Aku sudah lelah ini. Kamu hati-hati nyetirnya."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Wonwoo) Kedhaton Soeraandaru Hadiningrat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang