"Sudah photoshoot hari ini aku libur seminggu lebih mungkin, jadi jangan terima tawaran apa pun ya. Aku mau istirahat ke Soeraandaru."
"Aku mau ke sana juga, Ren. Kalau selesai urusan aku nyusul ya."
"Boleh, nanti menginap di rumah ku saja. Jangan lupa bawa kebaya, atau beli tuh nanti dekat stasiun."
"Gampang itu."
Selesai photoshoot sorenya Serena langsung pulang ke rumah. Dia hanya membawa perawatan tubuhnya lalu pergi ke stasiun langsung menuju ke Kota Soeraandaru. Pakaiannya di sana banyak, karena sebulan sekali Serena mengirimkan pakaiannya ke rumahnya di Soeraandaru walaupun dia jarang pulang ke tanah kelahirannya itu.
Serena sampai sekitar jam 2 pagi, dia di jemput supir yang bekerja dengan keluarganya sejak dulu. Suasana Kota Soeraandaru dini hari tetap tidak sesepi itu, ada saja warga lokal atau turis yang tertangkap oleh matanya.
Sekitar 20 menit dari stasiun mobil yang Serena tumpangi memasuki halaman rumahnya. Di depan pintu sudah ada mbok yang menjaga rumah menunggu kedatangannya.
"Kenging punapa mbok dereng tilem?" (Kenapa Mbok belum tidur?"
"Mbok ngentosi sampeyan, Nduk. Sampeyan wangsul mriki ndadak, benjing dalu sampun kesah medal nggih. Mangga mlebet." (Mbok menunggu kamu, Nduk. Kamu datang ke sini mendadak, besok jangan pergi keluar ya. Ayo masuk.)
"Padahal benjing dalu kula dolan medal, Mbok." (Padahal besok malam aku mau main ke luar, Mbok."
"Menawi badhe dolan benjing siyang mawon, Nduk." (Kalau mau main besok siang saja, Nduk.)
"Iya deh. Mbok kesah tilem mawon, kula ugi badhe langsung ngaso soalipun. Matur sembah nuwun, Mbok. "(Mbok pergi tidur saja, aku juga mau langsung istirahat soalnya. Terima kasih, Mbok.)
"Sami-sami, Nduk."
Serena memasuki kamarnya. Rumahnya ini merupakan rumah adat Jawa yang sebagian besar terbuat dari kayu itu membuat kesan tenang dan nyaman, Serena merasa tenang sekali jika sudah di rumah ini.
Sebelum tidur Serena memutuskan untuk mandi, dia mengambil kain jarik dari dalam lemari sebagai ganti handuk, di sini handuk hanya ada yang berukuran kecil untuk keramas dan handuk wajah. Budaya dulu masih tetap terjaga sampai sekarang.
Selesai mandi Serena duduk di meja rias menggunakan skincare malamnya. Sedang fokus-fokusnya lampu kamarnya mati tiba-tiba, Serena membeku ditempat. Seketika ingatannya tentang hotel itu langsung kembali, jantung Serena berdetak sudah tidak normal lagi.
Tok .... Tok ....
"Nduk, meniko lilinipun."
Serena merasa lega mendengar suara familiar dari balik pintu kamarnya. Dia berdiri meraba-raba untuk menggapai pintu.
Ceklek
"Mbok dereng tilem?" Tanya Serena melihat mboknya masih menggunakan pakaian yang sama seperti menyambutnya tadi.
"Dereng Nduk, Mbok taksih gineman sami bapak. Mrika sampeyan mlebet kamar, enggal tilem nggih. Supados bapak ingkang tingal kawontenan ing jawining griya, limrah mboten lami pejah lampunipun." (Belum Nduk, Mbok masih mengobrol sama bapak. Sana kamu masuk kamar, lekas tidur ya. Biar bapak yang lihat keadaan di luar rumah, biasanya tidak lama kok mati lampunya.)
"Nggih, Mbok. Puniki kula langsung tilem."
Serena masuk ke kamarnya meletakkan lilin di atas meja riasnya. Kamarnya yang lumayan luas itu tetap gelap dengan hanya kehadiran satu lilin itu. Serena melepas ikatan rambutnya membiarkan rambut panjang itu tergerai. Dia langsung naik ke ranjang menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Wonwoo) Kedhaton Soeraandaru Hadiningrat
Ficción GeneralSerena lahir di Kota Soeraandaru Jasmijn, ketika usianya menginjak 6 tahun dia sekeluarga pindah ke luar kota. Kedua orang tua Serena waktu itu memiliki pekerjaan di luar kota yang tidak memungkinkan untuk pulang pergi. Sejak saat itu Serena hanya s...