14

50 14 9
                                    

Jay menyeret Anna dengan hati-hati melewati lorong yang gelap menuju salah satu kamar kosong di rumah itu. Lorong itu sepi, hanya dihiasi oleh bayangan temaram lampu yang berpendar dari celah dinding. Langkahnya mantap namun perlahan, seperti seorang pria yang tidak ingin tergesa-gesa dalam merebut momen yang telah lama ia tunggu. Anna berusaha menarik tangannya dari genggaman Jay, tetapi cengkeramannya kuat, tak tergoyahkan. Setiap kali Anna mencoba melawan, Jay hanya menoleh, tatapannya penuh peringatan.

Ketika mereka sampai di kamar, Jay membuka pintu perlahan, membiarkan Anna masuk lebih dulu sebelum ia menutup dan mengunci pintu di belakang mereka. Suara kunci yang berputar terdengar nyaring di keheningan. Anna berdiri di dekat dinding, tubuhnya tegang. Matanya yang melebar menatap Jay dengan campuran ketakutan dan kebingungan.

"Tuan, aku harus pulang" bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Jay hanya menatapnya sejenak, lalu mendekat perlahan. Matanya yang tajam mengunci pandangan Anna, membuatnya tak bisa berpaling. "Pulang ?" ulangnya dengan nada lembut namun dingin. "Anna, aku tidak membawamu sejauh ini hanya untuk mendengar itu"

Ia menempatkan kedua tangannya di dinding, mengurung Anna dalam ruang sempit yang tak memberikan jalan keluar. Wajahnya begitu dekat hingga Anna bisa merasakan napasnya yang hangat, bercampur dengan aroma maskulin yang selalu melekat pada pria itu.

"Kenapa kau selalu mencoba melarikan diri dariku ?" bisiknya, suaranya rendah namun menusuk. "Kau tahu aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi"

Anna menggeleng pelan, dadanya naik turun seiring napasnya yang tak teratur. "Aku hanya ingin... pulang" jawabnya dengan suara gemetar.

Jay tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak membawa ketenangan. Sebaliknya, ada sesuatu yang mengintimidasi di dalamnya. "Anna" panggilnya lembut, tangannya terulur menyentuh pipi Anna. Sentuhan itu mengejutkan Anna, tetapi ia tidak bergerak, tubuhnya seolah membeku. "Aku merindukanmu" lanjut Jay, suaranya bergetar sedikit. "Setiap hari tanpamu terasa hampa. Kau satu-satunya yang membuat semuanya berarti"

Anna menahan napas saat Jay mendekatkan wajahnya. "Tuan, tolong jangan lakukan ini" bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca.

Jay tidak menjawab. Ia hanya menunduk, bibirnya menyentuh bibir Anna dengan lembut, gerakannya perlahan, seperti seseorang yang takut merusak sesuatu yang rapuh. Kecupan itu penuh rasa, bukan sekadar tuntutan. Bibirnya bergerak lembut, membisikkan kerinduan yang tak pernah ia ungkapkan sebelumnya.

Anna membeku. Tubuhnya yang semula tegang mulai melunak, tetapi bukan karena rasa nyaman. Ia terlalu bingung, terlalu terperangkap dalam kerumitan perasaan yang memenuhi dirinya. Jay memiringkan kepalanya sedikit, memperdalam kecupan itu dengan sentuhan penuh kesabaran. Tangannya kini berpindah ke bahu Anna, menariknya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka sepenuhnya lenyap.

Ketika ia akhirnya melepaskan kecupan itu, Jay menatap Anna dengan mata yang penuh emosi. "Kau milikku, Anna" bisiknya, tangannya masih berada di bahu Anna. "Aku tahu kau membenciku, tapi aku tidak peduli. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi"

Anna hanya bisa menunduk, tidak berani menatap mata Jay. "Jay" katanya lirih, hampir seperti gumaman. "Aku... aku tidak bisa seperti ini"

Jay mengangkat dagu Anna dengan lembut, memaksa matanya bertemu dengan miliknya. "Kau bisa" balasnya tegas. "Dan kau akan melakukannya, aku akan memastikan itu"

Anna menggeleng, matanya mulai basah oleh air mata. "Aku ingin pulang, adikku menungguku. Dia membutuhkanku"

Jay mendekatkan wajahnya lagi, kali ini suaranya hampir seperti bisikan. "Aku yang membutuhkanmu. Malam ini, hanya aku dan kau. Tidak ada orang lain"

Ia mencium dahi Anna dengan lembut, sentuhan yang terasa seperti kontras dari kata-kata kerasnya sebelumnya. Tangannya bergerak perlahan, menyentuh sisi wajah Anna dengan jari-jarinya yang kuat. "Aku tahu kau takut" katanya pelan, "Tapi aku juga tahu bahwa di suatu tempat di dalam hatimu, kau tahu bahwa aku adalah satu-satunya orang yang akan selalu ada untukmu"

Anna tidak menjawab. Ia merasa seperti berada dalam sangkar yang tak terlihat, terperangkap oleh perasaan yang ia sendiri tidak bisa pahami.

Jay mendekapnya lagi, memeluknya erat seolah tidak ingin melepaskannya. "Malam ini, kau milikku" bisiknya di telinga Anna. "Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu kita"

Jay memeluk Anna erat, seolah dunia di luar kamar itu tidak ada. Dalam keheningan, ia menurunkan wajahnya perlahan ke bahu Anna, menghirup aroma lembut yang selama ini ia rindukan. Tangan Jay mengelus punggung Anna dengan gerakan penuh kelembutan, membuat wanita itu hanya bisa diam, membiarkan emosinya tersapu oleh situasi yang begitu asing namun sarat makna.

"Anna" bisiknya lagi, suaranya dalam, hampir seperti gumaman yang hanya dimaksudkan untuk dirinya sendiri. "Kau tidak tahu betapa aku menginginkanmu. Setiap inci dirimu hanya milikku"

Jay menggerakkan wajahnya ke sisi leher Anna, mengecupnya dengan lembut. Sentuhan bibirnya tidak terburu-buru, seolah ia tengah melukiskan tanda yang tak kasat mata di kulit Anna, mengklaim bahwa perempuan itu sepenuhnya miliknya. Ia melakukannya dengan begitu perlahan, begitu hati-hati, hingga setiap kecupan terasa seperti bisikan.

Anna terdiam, tubuhnya membeku. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak bisa menolak. Ada sesuatu tentang cara Jay melakukannya yang membuat tubuhnya lemah, tidak hanya oleh keraguan, tetapi juga oleh kenyataan bahwa ia telah kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

Jay berpindah ke pipi Anna, mengecupnya dengan lembut, lalu ke pelipisnya, seolah ingin memastikan bahwa tidak ada bagian dari wajah wanita itu yang terlewatkan. "Aku tidak ingin lupa apa pun tentangmu" ucapnya pelan, hampir seperti janji yang ia buat untuk dirinya sendiri. "Aku ingin mengingat setiap jengkal darimu"

Ketika pandangannya turun ke tangan Anna, ia meraihnya dengan hati-hati. Jay menelusuri jari-jari Anna dengan bibirnya, mengecupnya satu per satu dengan kehangatan yang membuat tubuh Anna bergetar. "Bahkan tangan ini" gumamnya, "Setiap bagian dari dirimu adalah milikku. Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuhmu Anna, tidak ada"

Air mata mulai menggenang di mata Anna, tetapi kali ini bukan hanya karena takut, melainkan karena kebingungan yang ia sendiri tidak bisa pahami. Hatinya bertarung antara ingin melawan dan menerima kehangatan yang Jay berikan.

Jay, menyadari isak kecil dari Anna, mengangkat wajahnya dan menatap mata wanita itu dalam-dalam. "Kenapa kau menangis ?" tanyanya lembut, ibu jarinya menyeka air mata di pipi Anna. "Aku tidak ingin melihatmu sedih"

"Jay" suara Anna hampir tak terdengar. "Kenapa... kenapa kau melakukan ini ?"

Jay tersenyum kecil, senyuman yang terlihat lebih tulus daripada biasanya. "Karena aku tidak bisa melepaskanmu, kau satu-satunya yang membuat semuanya terasa berarti. Aku tahu aku keras dan mungkin kau membenciku, tapi aku hanya ingin kau tahu aku tidak bisa hidup tanpamu"

Setelah berkata demikian, ia kembali menunduk, mengecup kening Anna dengan lembut, seperti penutup dari ritual yang telah ia mulai. Ia memeluk Anna lebih erat, membiarkannya bersandar di dadanya.

Keheningan kembali menguasai ruangan. Hanya napas mereka yang terdengar, berirama dengan perasaan yang saling bertabrakan di antara mereka.

***

siap-siaap yaah aku bakalan up per dua hari mulai dari hari ini hehe dannn jgn lupa tinggalin jejak biar aku makin semangat :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Master ft Jay Park of EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang