15 • Melangkah Ke Depan

154 50 8
                                    

┌───── •✧✧• ─────┐
𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠
└───── •✧✧• ─────┘

Dentingan setiap benda yang jatuh hingga bunyi pecahan kaca mengisi ruangan, teriakan yang begitu memilukan pun terdengar. Isakan tangis yang menyayat hati terasa begitu menyakitkan.

"Kenapa..." erangnya di dalam tangisan yang pilu. "Kenapa aku begini?!"

Tangan yang sudah memegang salah satu pecahan cermin itu sudah siap untuk membelai kulit putih yang mulus milih Hilda agar bisa terukir dengan warna merah yang pekat. Namun, sebelum hal itu terjadi, sebuah tangan dengan sigap mencekalnya.

"Sudah, Neng..." suara lirih itu membuat Hilda terdiam membeku, Hilda mampu melihat mata yang berkaca-kaca dari sang pemilik suara. "Sudah..." sambungnya lirih.

"Bu Wati.... kenapa hidup Hilda begini?" Isakan tangis kembali terdengar. "Kenapa? Hilda nggak mau anak ini Bu, Hilda masih muda!!!"

Tubuh Hilda oleng mengenai lantai yang sangat berserakan. Siapa saja yang melihat kondisi Hilda sekarang, pasti merasa tidak tega. Dengan uluran tangan pelan, wanita paruh baya itu meraih Hilda ke dalam pelukannya, tetesan air mata tak mampu ia tampung karena terbawa suasana akan kondisi Hilda sekarang.

"Hilda... nggak papa Neng, ada Ibu..." ujar Wati dalam lirih. "Sudah cukup Ibu kehilangan suami dan anak, kamu jangan ya, Neng?"

Isakan tangis semakin terdengar, hati Hilda hancur. Dirinya tersadar akan betapa lemahnya ia saat ini, harusnya ia bisa lebih kuat seperti wanita paruh baya di depannya. Baru saja Hilda datang ke kehidupan Wati, wanita itu yang awalnya begitu gembira menanti sang suami yang sedang menjemput anaknya di kota, harus menahan pahit yang luar biasa karena mendapat kabar bahwa laki-laki beda usia yang menjadi penguat hidupnya harus pergi dalam kecelakaan beruntun saat perjalanan pulang. Hilda tahu kesedihan itu pasti ada, namun Wati memilih untuk memendamnya dan berdiri tegap seolah dirinya begitu kuat. Kenapa Hilda tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa dirinya begitu lemah?

"Bu... hidup kenapa mempermainkan kita?"

"Nggak Neng, kita memang sudah ada di jalan takdir kita masing-masing, semesta tahu bahwa kita kuat." Wati menangkup wajah Hilda yang matanya terlihat membengkak akibat tangisan yang tak kunjung berhenti. "Mungkin ini alasan kenapa kita bertemu... Neng yang akan menemani masa tua Ibu," lanjutnya.

"Hilda..."

Lambaian tangan di wajahnya mampu menyadarkan Hilda. Tatapan yang tak sempat bertemu kini kembali bertaut satu sama lain, Hilda tersenyum dengan canggung.

"K-kak Bintara mau gorengannya berapa ba—"

"Lo baik-baik aja kan, selama ini?"

Hilda yang mencoba memasukkan satu persatu gorengan ke dalam bungkusan plastik harus terhenti dengaj ucapan Bintara yang menurutnya begitu tiba-tiba. Tatapan yang penuh ketegasan itu Hilda layangkan.

"Aku baik-baik aja Kak..." ucap Hilda sembari tersenyum tipis.

Melihat senyuman itu membuat Bintara ikut tersenyum. "Gue senang kalau lo baik-baik aja, bungkus 20 ribu ya, Hil..."

Hilda mengangguk tanpa memudarkan senyumannya, dengan cekatan tangannya meraih beberapa gorengan dan memberikannya kepada Bintara. Wati yang melihat apa yang terjadi di depan matanya itu hanya diam tanpa bertanya sedikit pun kepada Hilda, ia yakin Hilda pasti akan bercerita nantinya.

❁❁❁❁❁

Hilda tidak tahu bagaimana awalnya hingga sampai dirinya ditraktir oleh Bintara untuk makan malam bersama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 15 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BAD GOOD FATHER [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang