12. Trapped Soul

20 19 2
                                    

WARNING
Bahasa suka suka
Banyak typo
Happy Reading
.
.
.
.

Pagi itu, Jessica duduk termenung di meja makan. Ayahnya sedang membaca koran, sementara ibunya sibuk di dapur.

Pikiran Jessica dipenuhi oleh bayangan mimpi-mimpinya dan nama Hanifa Lestari terus-menerus mucul di pikirannya sejak ia menemukan buku itu di gedung tua.

Jessica tahu, semakin lama ia menunda, semakin besar rasa gelisah yang menguasainya. Dengan napas panjang, Jessica memberanikan diri untuk bertanya.

"Ayah," panggil Jessica perlahan, suaranya bergetar sedikit. Ia tahu pertanyaan ini akan memicu sesuatu, tetapi ia tidak bisa menahannya lagi. "Aku mau tanya soal keluarga kita."

Ayahnya menurunkan koran, menatap Jessica dengan alis terangkat. "Tanya apa, Jess?"

Jessica menggigit bibirnya, mencoba menyusun kalimatnya dengan hati-hati. "Apa kita punya hubungan dengan seseorang bernama Hanifa Lestari?"

Tangan ayahnya membeku di atas meja. Ibunya, yang sedang menuangkan teh, berhenti sejenak dan menatap ke arah Jessica dengan ekspresi terkejut. Keheningan menyelimuti ruangan. Bahkan suara detik jam terdengar begitu keras.

"Darimana kamu tahu nama itu?" tanya ayah Jessica akhirnya, suaranya rendah dan penuh ketegangan.

Jessica merasa gugup, ia mencoba mengatur napasnya. "Aku menemukannya di buku lama di sekolah. Buku itu menyebutkan tentang tragedi yang terjadi di gedung tua, dan nama Hanifa muncul di sana. Apa dia bagian dari keluarga kita?"

Wajah ayahnya berubah serius, seolah-olah ia sedang menghadapi sesuatu yang sangat berat. "Jess, dengar. Hanifa adalah adikku. Tapi dia bukan seseorang yang seharusnya kamu pikirkan."

"Kenapa?" Jessica bertanya dengan nada bingung. "Kalau dia adalah bagian dari keluarga kita, kenapa aku tidak boleh tahu tentangnya? Apa yang terjadi pada Hanifa?"

Ayah Jessica berdiri dari kursinya dengan gerakan tiba-tiba, membuat Jessica sedikit mundur. "Masa lalunya adalah sesuatu yang keluarga kita sudah lupakan."

Ibunya ikut duduk di samping Jessica, menggenggam tangannya erat. "Nak, ada hal-hal dalam keluarga ini yang terlalu menyakitkan untuk dibicarakan. Hanifa, salah satu diantaranya."

"Tapi aku perlu tahu," kata Jessica, suaranya mulai meninggi. "Aku merasa ini lebih dari sekadar masa lalu. Aku merasa ada hubungannya denganku!"

Ayah Jessica langsung menggeleng dengan tegas. "Tidak, Jessica. Kamu tidak terhubung dengan Hanifa. Apa yang terjadi pada Hanifa adalah akibat dari keputusan-keputusannya sendiri, dan aku tidak akan membiarkan kamu membuat kesalahan yang sama."

Jessica menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. "Apa yang sebenarnya terjadi padanya, Yah? Apa yang dia lakukan sampai kalian begitu takut untuk membicarakannya?"

Ayah Jessica menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum menatap Jessica kembali dengan tatapan berat. "Hanifa adalah gadis yang cerdas, penuh rasa ingin tahu. Tapi rasa ingin tahunya membawa dia ke tempat-tempat yang tidak seharusnya di jelajahi. Dia terlibat dalam sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat, sesuatu yang membuatnya hilang."

Ibunya menambahkan dengan suara pelan, "Hanifa sering menghabiskan waktu di gedung tua sekolahmu. Dia dan teman-temannya tertarik pada hal-hal mistis. Mereka percaya bahwa mereka bisa mengungkap rahasia di tempat itu, tapi apa yang mereka lakukan justru membuka sesuatu yang berbahaya."

Jessica merasakan hawa dingin menjalari punggungnya. "Jadi, apa itu kutukan? Apa dia benar-benar terjebak di gedung tua itu?"

Ibunya menatap Jessica dengan mata yang berkaca-kaca. "Iya, Jess. Banyak orang mengatakan bahwa arwah Hanifa dan teman-temannya masih ada di sana, terjebak antara dunia ini dan dunia lain. Kami tidak ingin kamu mengalami nasib yang sama."

"Tapi aku harus tahu lebih banyak. Aku merasa ada sesuatu yang menghubungkan aku dengan Hanifa," Jessica bersikeras. "Mungkin aku bisa menyelesaikan apa yang dia mulai."

"TIDAK!" suara ayahnya menggelegar, membuat Jessica tersentak. "Kamu tidak boleh melibatkan dirimu dalam hal ini, Jessica. Sudah cukup banyak yang hilang dari keluarga ini karena kutukan itu. Aku tidak akan kehilangan kamu juga. Aku tidak akan membiarkanmu terlibat lebih jauh. Apa pun yang kamu temukan di sekolah, lupakan saja, Jessica."

Jessica terdiam, menundukkan kepala. Ia merasa marah, bingung, tetapi juga merasa bersalah. Jessica tahu orang tuanya hanya ingin melindunginya, tapi rasa ingin tahunya terlalu kuat untuk diabaikan.

Melihat raut wajah keras ayahnya, Jessica tahu tidak ada gunanya melawan. Dengan berat hati, ia mengangguk kecil, memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan.
.
.
.

Malam itu, Jessica duduk di kamarnya, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin malam berhembus masuk, membawa aroma hujan yang segar.

Di atas meja, buku catatan yang ia temukan di gedung tua tergeletak terbuka, nama Hanifa Lestari tertulis di sana, seperti memanggilnya untuk mencari tahu lebih banyak.

Jessica mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Sekar.

Jessica : Kar, aku sudah bertanya tentang Hanifa pada orang tuaku, Ayahku bilang Hanifa adalah adiknya, tapi dia melarangku mencari tahu lebih lanjut.

Balasan Sekar datang tidak lama kemudian.

Sekar : Mungkin mereka takut kamu akan terjebak seperti tantemu. Ayahmu sudah kehilangan adiknya dan sekarang ia tidak ingin kehilangan anaknya karena hal yang sama, Jess.

Jessica menghela napas membaca pesan Sekar.

Jessica : Aku tahu mereka khawatir padaku, tapi aku nggak bisa berhenti, Kar. Aku merasa ini bukan hanya tentang Hanifa, tapi juga tentang aku. Kar, aku butuh bantuanmu. Aku mau pergi ke kampung halaman nenekku. Ayahku pernah cerita kalau Hanifa tumbuh besar di sana. Kalau ada petunjuk, itu pasti ada di sana.

Balasan Sekar datang tidak lama kemudian.

Sekar : Kamu yakin? Bukannya itu jauh? Dan gimana kalau orang tuamu tahu?

Jessica menatap layar ponselnya lama sebelum menjawab pesan Sekar, Jessica merasa bersalah pada orang tua nya, tapi ia tidak punya pilihan lain.

Jessica : Mereka pasti akan melarangku, Kar. Tapi aku harus tahu kebenarannya. Mereka tidak boleh tahu, jadi aku akan pergi diam-diam ke sana.

Sekar membalas pesan Jessica dengan cepat.

Sekar : Bagaimana caranya pergi ke sana tanpa membuat orang tuamu curiga?

Jessica terdiam sejenak memikirkan cara untuk pergi ke sana.

Jessica : Dua minggu lagi liburan semester tiba, kita bisa manfaatkan waktu itu untuk pergi kesana. Aku akan bilang pada orang tua ku kalau ada kegiatan organisasi di luar kota. Bagaimana Kar, apa kamu mau ikut membantuku?

Cukup lama menunggu balasan dari Sekar. Jessica memaklumi itu, mungkin Sekar sedang memikirkan risiko yang akan mereka hadapi di sana. Bahkan Jessica tidak akan marah sekalipun Sekar menolak ikut ide gila ini.

Sekar : Oke, kalau ini benar-benar penting, aku akan ikut. Tapi kita harus hati-hati.

Jessica tersenyum membaca pesan Sekar, ia memang tidak salah memilih teman. Sekar bahkan rela ikut ke dalam situasi yang bisa di bilang cukup membahayakan keselamatan mereka berdua.

Jessica : Makasih, Kar. Aku janji akan menyelesaikan semua ini dengan cepat dan kita bisa kembali ke kehidupan normal kita.

Mereka mungkin hanyalah dua remaja yang tidak tahu apa yang sebenarnya menanti mereka di masa depan. Namun, satu hal yang pasti, tekad mereka jauh lebih besar dari pada rasa takut yang mencoba menghalangi langkah mereka.

Mereka melangkah masuk, meninggalkan kenyamanan dunia luar untuk menyelami misteri yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.
.
.
.
.

Makasih ya yang udah mampir dan baca cerita ini🥰
Jangan lupa, vote⭐️, comment 💬 dan tungguin part selanjutannya🫶🫶🫶

(19/11/24)
Sunniee 💥

LilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang