9. Ruang Kuno

30 31 0
                                    

WARNING
Bahasa suka suka
Banyak typo
Happy Reading
.
.
.
.

Malam itu, Jessica tidak bisa tidur. Setiap kali ia menutup mata, wajah Lila yang suram dan kata-katanya yang penuh peringatan selalu terngiang di benaknya.

Ada sesuatu yang mendesak Jessica untuk kembali ke gedung tua itu, menyelesaikan apa yang telah mereka mulai. Jessica tahu itu berbahaya, tapi jika tidak bertindak, ia dan Sekar mungkin tidak akan pernah bebas dari kutukan ini.

Keesokan harinya, di sekolah, Jessica menemui Sekar di taman belakang. Mereka berdua berdiri dalam diam, tenggelam dengan pikirannya masing-masing.

"Kamu yakin kita harus ke sana lagi?" tanya Sekar, suaranya bergetar. "Apa kamu nggak takut kita akan terjebak di sana seperti angkatan 1995, Jess?"

Jessica menghela napas, mencoba mengumpulkan keberanian. "Jujur aku takut, Kar. Tapi aku rasa kita nggak punya pilihan lain. Lila bilang kita harus menemukan kebenaran, atau kita akan terjebak selamanya."

Sekar tampak ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan. "Tapi kalau ada yang aneh, kita langsung keluar. Aku nggak mau kita bernasib sama seperti mereka, Jess."

Jessica mengangguk, menghargai kekhawatiran Sekar. Mereka berdua kemudian menyelinap keluar dari sekolah saat suasana di sana sudah sepi, menghindari tatapan teman-teman mereka.

Gedung tua itu masih berdiri kokoh di kejauhan, bayangannya tampak lebih menakutkan di bawah cahaya senja yang semakin redup.

Mereka berdua tiba di depan pintu gedung tua, menatap dengan hati yang berdebar. Jessica menarik napas panjang sebelum membuka pintu kayu itu perlahan.

Suara derit pintu terdengar nyaring, seakan memberi peringatan terakhir sebelum mereka melangkah masuk.

Begitu mereka berada di dalam, hawa dingin langsung menyelimuti mereka. Jessica menyalakan senter kecil di tangannya, menyapu cahaya ke seluruh ruangan.

Tidak ada yang berubah dari terakhir kali mereka ke sini, tumpukan buku berdebu, meja-meja tua, dan papan tulis yang sudah pudar. Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda, terlihat sangat asing bagi mereka.

"Jess, lihat itu," bisik Sekar sambil menunjuk ke lantai.

Jessica mengikuti arah pandang Sekar dan melihat sesuatu yang mengejutkan. Di lantai kayu yang berdebu, ada jejak kaki yang menuju ke arah tangga lorong bawah tanah. Jejak-jejak itu terlihat masih baru, seolah-olah seseorang baru saja berada di sini.

"Apa ada orang lain yang masuk ke sini, Kar?" tanya Jessica dengan suara rendah, merasakan ketakutan merayapi dirinya.

Sekar menggeleng pelan. "Aku nggak tahu. Tapi kita harus tetap waspada."

Mereka mengikuti jejak kaki itu dengan hati-hati, menuruni tangga yang sama menuju lorong bawah tanah yang gelap. Setiap langkah membuat suasana semakin mencekam, dan Jessica merasakan udara semakin dingin.

Ketika mereka sampai di dasar lorong, senter mereka menyinari dinding batu yang lembab, mengingatkan mereka pada peringatan Lila.

Namun, kali ini, di ujung lorong, ada sesuatu yang berbeda. Dinding yang seharusnya kosong kini tertutupi oleh tirai gelap yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Jessica dan Sekar saling bertukar pandang, penuh keheranan dan rasa takut.

"Kita benar-benar harus masuk ke sana, Jess?" tanya Sekar dengan suara bergetar.

Jessica menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Kita sudah sampai sini, Kar. Aku rasa kita harus lihat apa yang ada di balik tirai itu."

Dengan tangan gemetar, Jessica mengulurkan tangannya, meraih tirai itu, dan menariknya perlahan. Di balik tirai, mereka menemukan pintu kayu besar yang terlihat lebih tua dari apa pun di gedung ini.

Pintu itu dihiasi dengan ukiran-ukiran aneh yang tampaknya berasal dari zaman kuno, penuh dengan simbol-simbol yang tidak mereka mengerti.

"Apa ini masih bagian dari sekolah kita?" gumam Sekar.

Jessica menggeleng. "Aku rasa ini bukan sekadar bagian dari sekolah, Kar. Ini mungkin ruangan yang Lila maksud, ruangan yang seharusnya tidak pernah dibuka."

Sekar menggigit bibirnya, tampak ragu. "Tidak bisakah kita berhenti di sini dan kembali ke atas, Jess?"

Jessica menggeleng, meskipun ketakutan jelas terlihat di wajahnya, Jessica masih tidak mau berhenti. "Kalau ini satu-satunya cara untuk mengakhiri semuanya, kita harus melakukannya."

Dengan hati-hati, Jessica meraih pegangan pintu dan mendorongnya. Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan ruang gelap yang dipenuhi bayangan.

Mereka melangkah masuk, dan begitu berada di dalam, mereka merasakan hawa dingin yang jauh lebih menusuk.

Di tengah ruangan, terdapat meja batu besar dengan berbagai benda aneh di atasnya, lilin yang sudah habis terbakar, buku-buku kuno, dan beberapa kertas yang tampak seperti catatan.

Jessica dan Sekar mendekati meja itu, hati mereka berdebar saat mereka melihat catatan-catatan yang tertinggal di sana.

Salah satu catatan itu berbunyi: "Kebenaran yang terkubur harus tetap tersembunyi. Mereka yang berusaha mengungkapnya tidak akan pernah kembali."

Jessica merasakan bulu kuduknya berdiri. "Kar, aku rasa kita sudah menemukan tempat di mana semuanya dimulai."

Sekar menatap catatan itu dengan ekspresi ngeri. "Ini bukan sekadar tempat biasa. Ini seperti tempat ritual, Jess."

Jessica mengambil salah satu buku kuno yang ada di meja dan membuka halamannya. Di dalamnya terdapat tulisan-tulisan aneh yang sepertinya tidak dalam bahasa yang mereka pahami.

Tetapi di bagian tepi halaman, ada catatan dalam bahasa mereka, seolah-olah seseorang dari angkatan 1995 pernah mencoba menerjemahkan isi buku itu.

Jessica membaca catatan itu dengan saksama:
"Kami berpikir ini hanyalah permainan, tapi kami salah. Ada sesuatu yang lebih gelap di sini. Kami telah membuka pintu yang seharusnya tidak pernah dibuka."

Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan ketakutannya. "Ini terlalu berbahaya, Jess. Kita harus keluar dari sini sebelum kita melakukan kesalahan yang sama."

Jessica ingin setuju, tetapi rasa penasaran yang kuat membuatnya tetap berdiri di sana. Mereka telah melihat dan melalui terlalu banyak untuk bisa kembali tanpa jawaban.

Jessica memandangi meja batu itu sekali lagi, mencoba mencari petunjuk lebih jauh, hingga matanya tertuju pada sesuatu yang mencolok.

Di bagian tengah meja, ada ukiran yang aneh, ukiran simbol yang sama seperti yang ada di pintu tadi, dan di bawahnya terdapat kalimat dalam bahasa mereka: "Korban terakhir adalah yang mengunci semuanya."

Jessica dan Sekar saling bertukar pandang. "Korban terakhir?" bisik Jessica, merasa kebingungan.

Sebelum mereka bisa memikirkan makna kata-kata itu lebih jauh, terdengar suara langkah kaki dari lorong di belakang mereka. Langkah kaki itu mendekat, menggema di sepanjang dinding batu, terdengar berat dan menakutkan.

Sekar menoleh ke arah lorong, wajahnya pucat. "Jess, kita nggak sendirian di sini."

Jessica merasakan jantungnya berdebar kencang. Mereka hanya memiliki satu pilihan. Mereka harus bersembunyi atau berlari keluar secepat mungkin.

Tetapi satu hal yang pasti, misteri ini semakin dalam dan gelap, Jessica dan Sekar tidak bisa lagi mundur.
.
.
.
.

Makasih ya yang udah mampir dan baca cerita ini🥰
Jangan lupa, vote⭐️, comment 💬 dan tungguin part selanjutannya🫶🫶🫶

(31/10/24)
Sunniee 💥

LilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang