7. 1995

44 41 2
                                    

WARNING
Bahasa suka suka
Banyak typo
Happy Reading
.
.
.

Keesokan harinya, meskipun masih dihantui oleh kejadian kemarin, Jessica dan Sekar berusaha menjalani hari mereka di sekolah seperti biasa. Namun, ketegangan di antara mereka jelas terlihat.

Setiap langkah menuju ruang kelas, setiap suara pintu yang berderit, membuat Jessica semakin waspada. Ada sesuatu yang aneh di sekolah ini, sesuatu yang tidak terlihat tapi terus mengintai mereka.

"Jess, kamu yakin nggak akan terjadi sesuatu sama kita?" tanya Sekar saat mereka duduk di bangku kantin. Makanan di depan mereka tidak tersentuh, hanya ada gelas-gelas teh dingin yang semakin mencair.

Jessica menggeleng pelan. "Aku nggak tahu, Sekar. Ada sesuatu yang nggak beres di sekolah ini. Gedung itu, surat-surat itu, semuanya terlalu misterius. Rasanya seperti kita belum tahu setengah dari kebenarannya."

Mereka duduk dalam diam, memikirkan segala yang telah terjadi. Pikirannya kembali ke sosok pria tua yang mereka temui di gedung itu, dan kata-katanya yang masih terngiang: "Jangan lakukan kesalahan yang sama seperti kami."

"Apa menurutmu dia benar-benar sudah mati, Jess?" Sekar bertanya pelan, hampir berbisik, takut orang lain di sekitar mereka akan mendengarnya.

Jessica mengangguk, meskipun dia masih belum bisa mempercayai sepenuhnya. "Aku nggak tahu. Tapi yang jelas, dia bukan manusia seperti kita. Dan Lila, dia juga bukan hanya sekadar gadis biasa."

"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" Sekar menatap Jessica, berharap menemukan jawaban yang bisa menghilangkan ketakutannya.

Jessica terdiam sejenak, berpikir keras. "Kita harus menemukan sisa surat-surat itu, Kar. Aku yakin surat itu adalah kunci untuk mengerti semua ini."

Namun, Sekar tampak tidak setuju. "Aku nggak yakin itu ide yang bagus, Jess. Pria itu bilang kita harus pergi sebelum terlambat. Mungkin ini peringatan buat kita untuk berhenti di sini."

Tapi Jessica tidak bisa melepaskan rasa penasarannya. "Aku nggak bisa berhenti di sini, Sekar. Kita sudah terlalu jauh. Kalau kita mundur sekarang, semua yang kita lalui kemarin jadi sia-sia."

Sekar menggigit bibirnya, merasa tidak nyaman, tapi ia tahu Jessica. Sekali Jessica memutuskan sesuatu, sulit baginya untuk diubah.
.
.
.
.
Sore itu, setelah sekolah selesai, Jessica bergegas kembali ke rumahnya. Saat memasuki kamar, Jessica melihat surat-surat yang ia temukan di gedung tua itu berbaris rapi di atas meja belajarnya, seolah-olah menanti Jessica untuk kembali membaca surat tersebut.

Meskipun perasaannya dipenuhi ketakutan dan kebingungan, rasa penasaran selalu menang. Setiap kalimat yang ia baca, setiap surat yang ia temukan, semakin menariknya ke dalam misteri yang lebih dalam.

Salah satu surat menarik perhatiannya. Surat ini lebih tua dan lebih lusuh dibandingkan dengan surat-surat yang lainnya.

Tinta yang memudar, kertas yang menguning, dan lipatan-lipatan halus pada tepinya menunjukkan bahwa surat ini sudah ada di sana selama puluhan tahun.

Dengan hati-hati, Jessica membuka surat itu, berusaha agar tidak merusaknya lebih jauh.

Di dalam surat itu, kalimat pertama yang tertulis membuat Jessica terdiam.

"Jika kamu membaca ini, maka kamu sudah terlalu jauh mencari tahu. Seperti kami."

Jantung Jessica berdetak lebih cepat. Kalimat itu berbeda dari surat-surat sebelumnya, seakan-akan surat ini ditujukan kepada orang yang sama seperti dirinya, telah terlibat terlalu jauh dalam rahasia ini.

Jessica melanjutkan membaca.

"Kami adalah mereka yang tidak pernah bisa kembali. Tahun 1995, kami semua percaya bahwa ini hanyalah permainan. Sebuah tantangan kecil yang dimulai dari rasa penasaran. Tapi, kami salah. Dan sekarang, kamu mungkin akan mengalami nasib yang sama jika tidak segera berhenti di sini."

Jessica menarik napas panjang, dadanya terasa sesak. Nama angkatan 1995 kini tertulis dengan jelas dalam surat ini, memberikan petunjuk pertama tentang apa yang terjadi pada siswa-siswa yang pernah hilang di sekolah.

Tiba-tiba, semua rumor yang pernah ia dengar, tentang siswa yang hilang, tentang kejadian aneh di sekolah terasa begitu nyata.

Dia merasakan ketegangan yang semakin besar. Angkatan 1995, mereka yang hilang, apakah mereka adalah orang-orang yang terjebak di dunia yang sama dengan Lila dan pria tua itu? Apakah gedung tua itu lebih dari sekadar bangunan kosong?

Tanpa pikir panjang, Jessica meraih ponselnya dan segera mengirim pesan kepada Sekar.

Jessica: Kar, aku baru nemuin sesuatu yang besar. Kita harus ketemu sekarang. Ini soal angkatan 1995.

Butuh beberapa saat sebelum balasan dari Sekar muncul.

Sekar: Angkatan 1995? Kamu bercanda? Bukannya itu cuma rumor?

Jessica: Nggak, aku serius. Ada surat yang menyebut mereka, Kar. Aku yakin mereka terlibat sesuatu yang lebih besar dari yang kita kira.

Sekar butuh beberapa saat untuk membalas, seolah-olah ia sedang memproses situasi saat ini.

Sekar: Baiklah, kita bisa ketemu di taman belakang sekolah, tapi ini yang terakhir, Jess. Aku nggak mau terlibat lebih dalam lagi.
.
.
.
.
Ketika mereka bertemu di taman belakang sekolah, langit mulai meredup, dan udara sore yang dingin membuat suasana semakin mencekam. Sekar duduk dengan ekspresi gugup, sedangkan Jessica mendekat dengan membawa surat itu di tangannya.

"Ini dia," kata Jessica, menyerahkan surat itu kepada Sekar. "Bacalah. Aku yakin ini adalah petunjuk pertama tentang apa yang sebenarnya terjadi."

Sekar mengambil surat itu dan membacanya dengan teliti. Wajahnya berubah serius ketika sampai pada bagian tentang angkatan 1995.

"Ini... Ini bukan sekedar rumor, Jess," gumam Sekar, suaranya bergetar. "Apa kamu pikir mereka benar-benar terjebak di gedung itu?"

Jessica mengangguk. "Aku rasa begitu. Lila dan pria tua itu, mungkin mereka adalah bagian dari angkatan 1995. Atau setidaknya mereka ada hubungan dengan angkatan 1995. Dan sekarang, kita terjebak dalam rahasia ini juga."

Sekar menarik napas panjang, lalu menatap Jessica dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Jess, aku ngerti kamu penasaran, tapi ini terlalu berbahaya. Lila bilang kita udah terikat sama rahasia ini. Apa kamu nggak takut kita bakal bernasib sama kayak mereka?"

Jessica menatap Sekar, merasakan desakan dalam hatinya untuk mengetahui lebih banyak. "Aku takut, Kar. Tapi aku nggak bisa berhenti. Kalau kita nggak menemukan jawabannya, kita mungkin nggak akan pernah bisa lepas dari ini."

Sekar termenung sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi kita harus hati-hati. Jangan mencari tahu terlalu dalam sebelum kita tahu apa yang sebenarnya kita hadapi."

Jessica setuju, dan keduanya berdiri, siap untuk kembali ke gedung tua itu, kali ini dengan lebih banyak pertanyaan daripada sebelumnya. Namun, ketika mereka mulai berjalan, sebuah suara halus terdengar dari belakang mereka.

"Jessica..."

Jessica berhenti mendadak, dan Sekar menoleh dengan mata terbelalak.

Suara samar itu, hampir terdengar seperti bisikan angin, tapi sangat jelas memanggil namanya. Jessica berbalik, dan di antara bayangan pepohonan, sosok seorang gadis berdiri.

Gadis itu memandang mereka dengan mata yang kosong dan senyum yang tidak membawa keceriaan.

"Lila," bisik Sekar, suaranya gemetar.

Jessica hanya bisa menatap, merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Senyum Lila semakin melebar saat ia mendekat, langkahnya lambat dan penuh kehati-hatian.

"Kalian sudah terlibat terlalu jauh," ucap Lila dengan nada datar. "Rahasia ini bukan untuk kalian."
.
.
.

Makasih ya yang udah mampir dan baca cerita ini🥰
Jangan lupa, vote⭐️, comment 💬 dan tungguin part selanjutannya🫶🫶🫶

(22/10/24)
Sunniee 💥

LilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang