Padma Hotel, Semarang
Berkat salep dari Mami, luka kecil di tangan dan kakiku cepat memudar. Serta berkat fisioterapi yang Mami panggil ke rumah selama tiga hari kemarin rasa pegal dan sakit karena benturan pun sudah tidak kurasakan lagi. I'm fully recovered. Tapi tidak dengan hubunganku dan Alga.
Sore itu begitu sampai rumah aku meninggalkan pria itu begitu saja. Seingatku hanya satu kata terima kasih yang ku ucap sebelum aku masuk ke dalam rumah. Memberi pesan pada Mami agar tidak membiarkan Alga menemuiku, kalau-kalau teman masa kecilku itu masih ingin menambah daftar kekesalanku hari itu. Bukannya apa apa. But I choosing silence when I feel sad because if I speak I will be a rude person. And that day, aku sadar telah membuat kesalahan yang sekarang aku tidak tau bagaimana memperbaikinya. Rasanya pertemanan yang sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun ini akan berakhir sia-sia.
Alga seolah menghilang selama dua hari kemarin, atau mungkin tiga hari ini. Aku tidak tau di mana keberadaan bapak konsultan satu itu, padahal rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari rumahku. Apa mungkin dia sedang keluar negeri? Huh, menghubunginya pun aku nggak berani. Franky speaking, aku merasa kehilangan. Tidak jarang sebenarnya aku bertengkar dengan Alga, hal terkecil seperti lama waktu merebus mie pun bisa menjadi alasan kami adu mulut. Tapi pertengkaran kemarin itu, aku akui memang aku cukup keterlaluan. Ya sudah mau bagaimana lagi, jika Alga tidak muncul hari ini maka aku yang akan mendatanginya sepulang dari ajang adu pencapaian ini.
Anyway, saat ini aku sedang berada di Semarang, menghadiri pernikahan sepupuku dari pihak Papa. Memasang senyum palsu terbaikku pada setiap orang yang menghampiriku atau yang menyapa sambil lalu. And hey, Alga sudah berjanji akan menemani aku kesini, sekarang apa? dia ngilang gitu aja. Cukup berdoa aja semoga hari ini tidak jadi another bad day.
"Mbak Rere apa kabar?" Ya, kalimat tanya itu selalu menjadi awal basa-basi. Dia Raina, aku tidak tau bagaimana silsilah hubungan kekeluargaan kami, yang aku tau dia salah satu sepupuku. Perempuan berusia satu tahun dibawahku itu tidak menghampiriku seorang diri. Dia bersama mbak Lana dan anaknya Daren, yang ini pun aku juga tidak tau silsilah persepupuan kami. Yang jelas kami bukan sepupu dekat, mereka bukan anak dari kakak dan adik kandung Papa.
Mengingat darah Jawa mengalir deras dalam keluarga Papa, banyak sekali prinsip, cara berpikir atau unggah ungguh yang sejujurnya membuatku kurang nyaman. Seperti bagaimana kita bersikap pada orang yang lebih tua, aku sering sekali kena tegur oleh beberapa anggota keluarga yang sebenarnya bukan keluarga dekat mengenai bagaimana aku bersikap pada Papa atau Mami yang dibilang tidak sopan. Apalagi aku memang cukup keras kepala, jadi tidak jarang aku tidak segan mendebat Papa atau Mami, bahkan Yangti dan Yangkung.
"Alhamdulillah baik. Kamu sendiri gimana?"
"Aku Alhamdulillah cukup baik juga mbak. Tapi tiap pagi harus bangun awal buat nyiapin sarapan suami itu ternyata melelahkan, belum lagi aku juga kerja kan. Pulang kerja pun harus beres-beres rumah dan ngurus suami. Ya, tapi tetap ada senengnya juga. Suami aku Alhamdulillah pengertian banget. Suka nggak tega lihat aku kecapekan jadi sering bantu pekerjaan rumah juga. Mbak Rere mungkin sekarang belum paham ya gimana rasanya."
Sudah kuduga kemana arah basa-basi yang terlalu to the point ini. Karena ini bukan kali pertama aku mendengar segala celotehan tentang pernikahan. Aku tidak berniat menimpali dan hanya menyunggingkan tersenyum palsu.
"Itu karena kamu masih pengantin baru, Raina. Coba kalau sudah punya buntut kyak mbak, nambah lagi tanggungjawab kamu." Mbak Lana menimpali dengan luwesnya. Ini mereka berdua sengaja mau beradu nasib didepanku kah? Hidup yang paling sengsara pemenangnya, atau hidup yang paling bahagia pemenangnya? Mau pamer atau ngeluh?
"Aku tinggal dulu ya Raina, mbak Lana, mau ngambil zuppa soup." Kataku akhirnya, enggan memperpanjang topik tidak jelas ini. Sayangnya niatku melarikan diri gagal begitu saja karena Raina kembali mengajukan kalimat tanya yang ditujukan padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Okay, We're Married on July
General FictionAku tidak pernah merasa seputus asa ini sepanjang 29 tahun hidupku. Mungkin ini adalah alasan Tuhan menciptakan manusia bernama Mauren Tedjasukmana. You know, katanya apapun yang Tuhan ciptakan itu tidak ada yang sia-sia, semua punya tujuan. Bahkan...