Kehebohan yang tidak pernah aku bayangkan hari ini dimulai dengan aku yang terjatuh dari motor karena kaget akan suara klakson truk pasir di belakangku. Sebenarnya sakitnya nggak seberapa, tapi malunya itu woy. Seperti biasa, dari sejak keluar rumah aku sudah terbayang betapa sibuknya jalanan Jakarta di jam 6.30 pagi. Karyawan yang berangkat ke kantor, anak-anak berangkat sekolah, angkutan umum yang tidak sabaran, ojol yang akan menjemput orderan, semuanya keluar di pagi hari.
Meski sudah lebih dari dua minggu aku akhirnya diijinkan menggunakan motor untuk ke sekolah, ternyata aku belum bisa bersahabat dengan kehebohan jalanan Jakarta. Dengan kecepatan yang mentok-mentok cuma sampai 50 km/jam dan rata-rata hanya 40 km/jam, jantungku selalu dibuat jumpalitan. Aku merasa lebih aman mengendarai mobil pribadi mau sepadat dan seheboh apapun jalanan kota ini.
Saat ini dengan penuh kehati-hatian aku mengoleskan povidone-iodine alias betadine atau biasa disebut juga obat merah pada luka kecil ditelapak tanganku. Kecil memang tapi tetap saja perih, belum lagi luka di siku dan lutut. Aku seperti babak belur. Tadi sebegitunya sampai di sekolah yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam keterlambatan, aku langsung masuk kelas dengan sangat memaksakan diri. Aku tidak boleh manja kan. Baru setelah jam pertama selesai aku bisa mengobati lukaku di ruang guru.
Bagaimana ceritanya aku bisa sampai di sekolah? Tentu saja dengan bantuan seorang teman, sebut saja Didit, Diardi Putra Dinata. As you maybe know, dia satu dari tujuh sahabatku semasa SMA. Orang yang paling gercep selain Alga yang bisa aku mintain tolong disaat urgent. Dia punya waktu yang tidak terikat karena profesinya sebagai director sekaligus produser film. Apalagi sekarang dia sedang tidak ada project film dan hanya menjalankan agen advertising-nya.
"Mau saya bantu mbak?" Eca datang menghampiriku, menarik kursi kosong agar bisa duduk di dekatku.
"Ini udah kok. Makasih ya." Entah kenapa aku merasa Eca datang dengan maksud tertentu. Gerak geriknya terasa tidak biasa semenjak pulang dari camping.
"Mbak Rere. Kyaknya mbak Rere dekat ya dengan mas Janu?"
"Hmm?"
"Saya tau mbak Rere sempat datengin rumah Dina bareng sama mas Janu waktu itu. Sering juga ngobrol dengan mas Janu di perpus padahal sebelum ada mbak Rere mas Janu jarang datang ke perpus. Sewaktu camping kemarin juga mas Janu selalu merhatiin mbak Rere. Mungkin mbak Rere belum tau, atau karna mba Rere memang kurang peka. Tapi mas Janu sepertinya suka ke mbak Rere." Ah jadi ini alasannya.
"Dan kamu suka sama mas Janu?"
"Hah?"
"Saya bukan nggak peka, Ca. dan saya juga punya batasan. Saya tau siapa saya dan posisi saya disini. Pun saya hanya menganggap mas Janu sebagai teman. Kalau itu membuat kamu nggak nyaman. I'll told you this, saya sudah memperingatkan mas Janu tentang ini."
"Serius cuma teman? Mbak Rere nggak akan berubah pikiran kan?"
"Saya udah punya calon suami, Ca. Kamu tenang aja."
"Beneran mbak? siapa?" Nada suara Eca seketika berubah girang, dia bahkan tidak menghiraukan aku yang cukup terganggu dengan perubahan sifatnya itu.
"Seseorang yang nggak kamu kenal."
Kalau ini dianggap bohong. Ya mungkin aku berbohong atau mungkin juga tidak sepenuhnya berbohong. Who knows.
***
Kelas terakhirku selesai di jam 14.00, meski tadi pagi aku merasa tubuhku cukup baik-baik saja tapi tidak untuk saat ini. Mungkin karena benturan yang tidak aku sadari, saat ini lengan dan betisku terasa sakit, atau pegal lebih tepatnya.
"Bu Rere, dicariin bu Nur." Alya berlari menghampiriku, sepertinya dia ditugaskan untuk menyampaikan pesan untukku. "Ada yang mau diobrolin katanya, bu Rere diminta ke ruang perpus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Okay, We're Married on July
General FictionAku tidak pernah merasa seputus asa ini sepanjang 29 tahun hidupku. Mungkin ini adalah alasan Tuhan menciptakan manusia bernama Mauren Tedjasukmana. You know, katanya apapun yang Tuhan ciptakan itu tidak ada yang sia-sia, semua punya tujuan. Bahkan...