10. Percikan harapan

7 2 2
                                    

Pagi itu, suasana sekolah masih terasa berbeda. Kabar kecelakaan yang menimpa keluarga Ashila dan Ashela meninggalkan jejak yang dalam bagi banyak siswa. Reyya melangkah menuju ruang OSIS dengan langkah yang berat. Dia masih memikirkan pertemuan mereka di rumah duka. Kata-kata penuh kemarahan dari Ashela terus terngiang di benaknya.

"Lo nggak salah, Rey," ujar Althara tiba-tiba, yang ternyata sudah berada di depan pintu ruang OSIS. Tatapannya tenang, tapi penuh perhatian. "Kadang, orang yang terluka butuh waktu untuk bisa nerima niat baik kita."

Reyya hanya mengangguk pelan. "Tapi gue nggak bisa bohong, Al. Rasanya kayak semua ini salah gue."

"Kalau lo terus mikir kayak gitu, lo bakal capek sendiri," jawab Althara, menepuk pundaknya ringan. "Gue ada di sini. Kita hadapi ini bareng-bareng, oke?"

Percakapan mereka terhenti ketika Lyorra dan Zayyan muncul dengan senyum tengil mereka, membawa sekotak donat. "Eh, Ketua OSIS dan Wakilnya yang lagi galau. Nih, makan dulu biar otak kalian nggak tambah kusut," ujar Zayyan sambil nyengir.

"Kalian emang selalu muncul di saat yang nggak terduga," kata Reyya sambil tersenyum tipis, menerima kotak donat itu.

"Yah, namanya juga sahabat. Kita emang jago bikin suasana jadi cerah!" jawab Lyorra sambil duduk di kursi dekat Reyya.

Namun, suasana ceria itu tak berlangsung lama. Seorang junior tiba-tiba masuk dengan tergesa-gesa. "Kak Reyya, Kak Althara, maaf ganggu. Tapi tadi aku lihat Kak Ashela kayaknya lagi nangis di taman belakang sekolah."

Mendengar itu, Reyya langsung berdiri. "Gue harus ke sana," katanya, tanpa menunggu reaksi dari teman-temannya. Tanpa berpikir panjang, Reyya bergegas menuju taman belakang, diikuti oleh Althara dan Lyorra yang segera menyusul dari belakang.

✧✧✧

Di taman belakang, Reyya menemukan Ashela duduk sendirian di bangku, wajahnya tersembunyi di balik kedua tangan. Althara yang mengikutinya dari belakang memberi isyarat agar Reyya maju sendiri. Lyorra dan Zayyan berdiri di kejauhan, memberi mereka ruang untuk berbicara.

"Ashela," Reyya memanggil pelan, suaranya lembut.

Ashela mendongak, matanya merah karena menangis. Wajahnya terlihat penuh emosi yang bercampur aduk, namun tetap keras. "Ngapain lo di sini?" tanyanya tajam, suaranya berat dengan tangis yang teredam.

Reyya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Gue cuma mau tahu lo baik-baik aja. Gue tahu lo marah, dan gue paham kalau lo nggak mau lihat gue sekarang. Tapi gue nggak bisa diem aja. Gue cuma… pengen lo tahu kalau gue peduli."

"Kenapa sih lo nggak ngerti? Gue nggak butuh lo!" Ashela membentak, suaranya penuh kebencian dan kesedihan. "Gue nggak butuh orang yang cuma bikin semuanya jadi lebih buruk!"

Reyya merasakan sakit yang dalam mendengar kata-kata itu. Namun, dia tetap tenang, meski hatinya teriris. "Mungkin lo nggak butuh gue sekarang, Ashela," jawab Reyya dengan suara pelan. "Tapi gue bakal tetap ada di sini kalau lo berubah pikiran. Gue nggak pernah maksud nyakitin lo."

Ashela terdiam sejenak, matanya kembali mengarah ke tanah. Keheningan itu terasa begitu lama, hanya ada suara angin yang berhembus pelan. Reyya berdiri di sana, tidak bergerak, menunggu Ashela merespons. Namun, tak ada jawaban sarkastik atau sindiran yang keluar dari bibir Ashela seperti biasanya. Hanya keheningan yang menyelimuti mereka.

Di sisi lain, Althara dan Lyorra berdiri terpisah, mengamati situasi dengan cemas. Lyorra menatap Althara, dan bisa merasakan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh Reyya saat ini.

"Lo nggak bisa paksain semuanya selesai dalam satu hari, Rey," kata Althara pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi yang penting lo udah berusaha, dan itu lebih dari cukup."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 21, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SERRULATA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang