“Hanya ucapkan terima kasih saja setelah mendarat.
Aku berjanji setelah itu akan pura-pura tidak pernah bertemu denganmu di sini. Kita tidak memanjat pagar bersama.”
Semua berjalan baik. Aku tidak mengakui, tapi berkat Taehyung aku masuk ke kelas tepat waktu. Guru Matematika kami sepertinya mendapat sedikit kendala sehingga saat aku tiba, kelas masih gaduh. Sedikit mengejutkan saat kegaduhan itu sesaat berhenti hanya demi melihat padaku, jadi aku buru-buru menuju bangkuku berharap mereka berhenti memperhatikan dan ingin tahu perihal keterlambatanku datang. Namun sepertinya ada sesuatu yang lebih penting untuk mereka lakukan dari pada mengamatiku. Pekerjaan dari Guru Shim kelihatannya cukup membuat mereka kewalahan.
Bangkuku berada di barisan paling depan. Tempat paling nyaman sebab di sini aku tidak akan terganggu dengan aktivitas anak-anak lain yang lebih suka main-main alih-alih menyimak. Dan dengan duduk di sini juga aku bisa terhindar dari ulah jahil mereka. Bangku depan cenderung kondusif dari hal-hal kurang mengenakkan, meski kadang mendengar mereka menggunjing di belakangku dengan volume keras membuatku tidak fokus.
Namun untuk hari ini saja kurasa duduk di bangku depan bukanlah pilihan bagus, sebab kali ini aku bisa melihat dengan gamblang—meski mencoba berpaling, Kim Taehyung yang sengaja mengulur waktu masuk kelas agar anak-anak tidak heboh melihat kami masuk kelas bersama.
Saat bersama orang lain memang wajar sebab kudengar dia cukup bersahabat dengan orang-orang, tapi akan menjadi berbeda jika itu denganku. Terlebih citra kami yang bertolak belakang akan mengundang minat anak-anak untuk mencari tahu tentang kedekatan kami. Akan jadi bencana jika mereka sudah berspekulasi.
Anak lelaki yang memakai jaket meski sekarang musim panas itu mulai melenggang masuk sambil menyelipkan kedua tangannya di saku celana. Tatapan kami bertemu seperkian detik dan aku tidak menangkap ekspresi apa pun di wajahnya, bahkan senyum jahilnya pun nihil. Aku mencoba mengabaikannya seperti biasa. Memilih membuka buku untuk mengembalikan ingatan tentang materi pelajaran minggu lalu.
“Moon Bok, ke belakang sana! Aku mau duduk di sini.”
“Kau serius, Tae? Guru Shim selalu membawa penggaris kayu, loh. Kau 'kan mudah mengantuk.”
“Kali ini tidak akan mengantuk. Aku punya pemandangan bagus dari sini.”
“Mana ada pemandangan bagus di kelas kita.”
“Sudah, cepat pindah sana!”
Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mendengarkan percakapan tidak penting itu. Mungkin karena Moon Bok duduk di meja sampingku sehingga mau tak mau percakapan mereka masuk telinga. Dan mengetahui sekarang Taehyung yang duduk menggantikan Moon Bok si jangkung itu, rasa tidak nyaman kembali menggelayuti dadaku. Biasanya tidak begini, toh Taehyung terkenal suka gonta-ganti tempat duduk tergantung siapa guru yang mengajar. Tapi hal itu jadi terasa aneh setelah kejadian di belakang sekolah.
Untungnya, kehadiran Guru Shim meminimalisir perasaan itu, atau justru menjadikannya parah karena ketika aku tidak sengaja melirik ke samping di mana Kim Taehyung berada, kulihat anak lelaki itu sedang memandangku. Tunggu ... memandang?
Aku mendelik manakala Kim Taehyung tiba-tiba tersenyum. Kepalang lebar sampai pipinya yang terdapat luka lebam terangkat. Apa yang sedang dia lakukan? Apa maksudnya menatapku?
“Selamat pagi anak-anak.”
Segera kuarahkan kepalaku ke depan kembali. Napas lega kuembuskan perlahan. Untunglah Guru Shim datang, meski aku yakin pelajarannya kali ini takkan bisa kunikmati. Aku hanya berharap ini segera berakhir.
“Pagi, Pak.”
***
Sepertinya mulai sekarang, aku tak boleh sembarangan mempercayai orang. Lagi pula kenapa aku perlu percaya pada Kim Taehyung? Dia sudah terkenal nakalnya bahkan hanya dengan melihat penampakannya saja.
Rambut panjangnya sungguh mengganggu untuk dipandang. Poni-poninya bahkan sudah menusuk mata.
Melihatnya kini duduk dengan percaya diri di hadapanku, membuatku ingin sekali mengambil gunting dan membotakinya. Namun dipikir lagi, itu bukan urusanku. Sepertinya Taehyung cukup sadar rambutnya terlalu menarik perhatian sehingga ia selalu tutupi mahkotanya itu dengan tudung jaket yang tak lepas dari tubuhnya sekali pun di kelas. Aku tidak tahu kenapa dia memilih penampilan seperti itu. Tadinya kupikir dia tidak tahan dengan pendingin di ruang kelas kami. Tapi kalau melihat riwayat kenakalannya, mungkin saja dia punya tato di sekujur tubuhnya dan tak ingin orang lain melihat itu.
Dia sekarang duduk di hadapanku di sepuluh menitku yang berharga. Di meja sudut kantin dengan tatapan sama seperti di kelas tadi. Dia tidak mengambil jatah makan siangnya, juga tidak kujung bicara, jadi kuacungkan satu potong roti lapis yang kubawa dari rumah.
Dia tersenyum lagi. “Buatanmu?” Dia bertanya.
“Ya,” jawabku.
Aku sedikit terkejut mengetahui dia menerima makanan itu dengan wajah ceria yang sejujurnya menggangguku. Aku bahkan tanpa sadar memperhatikannya yang menghabiskan roti itu dengan terlalu lahap. Dua kali suapan saja.
“Kau tidak sarapan?” tegurku.
“Tidak sempat.”
Benar. Kupikir dia sibuk menjadi jagoan alih-alih mengisi perutnya sebagai bekal tenaga ke sekolah.
“Untukmu.”
Lalu kudorong kotak bekalku ke arahnya. Biasanya aku tidak peduli pada orang lain, tapi melihat Taehyung kelaparan benar-benar kasihan. Apa ibunya tidak pernah memasak?
“Satu saja sudah cukup,” tolaknya kemudian dengan wajah sungkan.
“Tapi kau nampak kelaparan. Lagi pula hitung-hitung balas budi. Kau sudah menolongku tadi.” Kim Taehyung mendecih.
“Kan sudah kubilang akan pura-pura tak terjadi apa pun. Aku pura-pura lupa, loh.” Dia bilang.
Aku mengernyitkan sebelah alis, sungguh kuharap tatapan mataku kali ini cukup mematikan untuknya sehingga dia berhenti tersenyum dan merenung. Dia sungguh tak tahu diri.
“Lalu kenapa kau masih menggangguku?” tanyaku.
Kening Taehyung mengernyit. “Mengganggu?” Dia membeo.
Kuhela napas lelah, sesaat menyadari gadis-gadis seantero kantin hampir ke semuanya memandang diam-diam ke arah kami dan itu membuat kepalaku sedikit nyeri. Namun beralih pada Kim Taehyung lagi, dia nampaknya perlu disadarkan bahwa interaksi kami ini membuat siapa pun tidak nyaman.
“Kau memandangiku di kelas dan kau duduk di sini sekarang. Apa maumu?”
Lantas senyum itu terbit lagi di wajah sialannya. Sekarang lebih parah. Dia menampakkan gigi-giginya sebelum mengatakan kalimat yang mengejutkan.
“Beri aku waktu empat puluh hari. Untuk memastikan aku ini sekedar naksir atau suka padamu.”
Orang sinting.
Liu_