Aku tidak pernah berharap untuk menjadi menonjol dan lebih tidak suka untuk menjadi pusat perhatian. Bagiku, setiap orang punya 'dunia' masing-masing di mana mereka bisa menjadi bintangnya—orang yang paling berkuasa, tanpa perlu mengurusi 'dunia' yang orang lain senangi dan berusaha memadamkan pelitanya. Tidak semua orang memiliki tempat nyaman yang sama, dan menjadi terlalu berbeda juga sebenarnya tidak menyenangkan. Tapi itulah pilihan. Siapa pun seharusnya tak perlu ikut campur, juga tidak menggunjing di belakang yang sebenarnya juga tidak ada manfaatnya. Mungkin kalau itu bisa terjadi, kehidupan di dunia ini akan sangat damai dan tenteram.
Sejak kecil Ayah dan Ibu mengajariku untuk tidak terlalu terlibat dengan hidup orang lain—urusan orang lain. Jalani saja hidupmu sendiri tanpa perlu membuat masalah. Jika kau berkelakuan baik dan tidak pernah merugikan orang lain, kebahagiaan akan datang padamu pada akhirnya, sudah pasti. Aku hanya perlu tutup mata akan sekitarku, maka katanya semua akan baik-baik saja.
Tapi pada kenyataannya menjadi tidak peduli membuat hidupku jauh dari ketenangan batin seperti yang orang tuaku janjikan. Mereka—orang-orang yang berada satu kelas denganku justru menganggap bahwa aku adalah hantu. Sadako mereka bilang, karena katanya bertemu denganku adalah sebuah kutukan. Sebagian menyebutku autisme karena aku tidak begitu tahu tren yang sedang digandrungi. Juga karena mereka menganggap berkomunikasi denganku sangatlah tidak nyaman. Yang paling tak kusuka, mereka menyebutku tidak punya hati. Padahal untuk mengatakan hal jahat seperti itu seharusnya mereka memiliki bukti pendukung yang meyakinkan. Jika hatiku tidak ada seharusnya bukankah tempatku adalah di dunia lain? Mereka tidak mengenal, namun merasa paling tahu.
Menjadi cuek dan tak acuh kupikir bisa menyelamatkanku, namun pada akhirnya aku ditakuti bahkan ketika aku hanya diam saja. Entah apakah wajahku seram karena siapa pun yang kedapatan menatapku dan kutatap balik akan langsung menghindariku. Tidak heran jika sejak kecil pun, tak ada yang mau berteman denganku. Tak apa karena menurutku, mereka juga tak bisa membuatku nyaman berada di sekeliling mereka.
Jadi karena sudah terlanjur, kuputuskan untuk tidak mencolok. Tidak ingin peduli pada orang lain. Berusaha mandiri dan tidak butuh bantuan orang lain. Dan yang tidak ingin kulakukan adalah menawarkan bantuan untuk mereka. Karena setulus apa pun perasaanku, mereka tidak akan pernah bisa menerimanya. Kami berada di garis edar yang berbeda.
Tapi nyatanya aku hanyalah manusia biasa. Aku tidak bisa terbang melewati dinding ataupun menghilang menembus pagar. Bahkan aku kadang masih kesulitan menjangkau buku di rak perpustakaan yang tinggi. Lelaki itu seperti sedang mengingatkanku tentang pelajaran etika bahwa manusia itu makhluk sosial. Mereka saling membutuhkan. Meski untuk saat ini, bukan lelaki ini yang ingin kumintai bantuan.
“Bersikukuh tidak mau minta tolong?”
Kukepalkan tanganku kuat. Tubuhku kedapatan sedikit bergetar karena mengatupkan gigi terlalu kuat. Sementara seolah puas dengan reaksiku, dia tetap duduk tenang di atas pagar sambil mengorek telinganya dengan jari.
Menjijikkan sekali.
“Kalau tidak masuk sekarang, kau mungkin akan tertangkap. Dewan kesiswaan sebentar lagi patroli dan kau akan dihukum jika ketahuan. Kau 'kan murid teladan, nanti poinmu dikurangi, loh.”
Benar-benar pilihan sulit. Aku tidak biasa bicara dengan orang lain—terlebih lelaki ini, yang terkenal paling badung di kelasku sampai-sampai tiap pagi ia selalu datang terlambat. Satu kali pun, wajahnya tidak pernah absen dari luka. Tipe-tipe lelaki jagoan. Penampilannya yang sedikit nyentrik nyatanya membuatku tahu siapa dia. Jaket kainnya, gelang karetnya, bahkan rambut panjangnya yang sudah terlalu panjang untuk seorang pelajar benar-benar kurekam dengan baik. Juga matanya yang tajam itu. Jika aku Sadako maka dia adalah Joker.
Jika aku tokoh jahat yang ditakuti, maka dia adalah sebaliknya. Penggemarnya banyak, dan berurusan dengannya pastilah bukan pilihan yang tepat untuk orang yang berusaha tidak terlihat sepertiku.