0. April

278 26 0
                                    

“Pah, Jungkook berangkat sekolah dulu. Ada surat di meja makan. Bibi Nayeon sudah pulang setelah menyiapkan sarapan. Roti panggangnya masih hangat. Kopinya juga harum sekali. Jangan tidur sampai siang. Aku akan pulang cepat hari ini, Pah ...”

Lagi-lagi kalimat-kalimat itu terdengar seperti masih memiliki kelanjutan. Namun, seperti biasa, tak ada apa pun yang terdengar setelahnya kecuali derit pintu kayu yang seperti ditarik pelan, pertanda kini benda yang ditujukan untuk jalan keluar-masuk ruangan itu telah tertutup. Dan pemilik suara itu telah pergi.

Seperti hari-hari yang telah jauh terlampaui sebelum ini, sepasang kelopak mata milik pria yang berbaring di ranjang berbalut selimut putih gading itu mengerjap pelan. Menampakkan iris sekelam langit malam yang menangkap setitik cahaya dari luar. Tidak seperti baru terbangun karena seruan tadi. Namun, sesungguhnya ia telah bangun sebelum itu datang. Atau sebenarnya, ia tak pernah tidur.

Ia bangkit duduk di ranjangnya dengan malas. Sepasang netra kelamnya selalu saja terpaku pada jendela kamar yang tak pernah ia tutup dengan gorden. Sengaja agar setiap paginya sinar matahari mampu merangsek masuk tanpa penghalang. Menyadarkannya bahwa hari telah berganti. Dan masih, cahaya mataharilah yang setia membangunkannya dari persinggahannya ke palung mimpi.

Namun, hari ini sang mentari nampaknya tengah bersembunyi di balik awan mendung sehingga hanya aroma embun dan udara basah yang mampu membangkitkannya dari mimpi monoton. Hari ini merupakan hari yang berbeda.
Ia bangun dengan malas. Bukan malas lebih tepatnya, ia hanya nampak seperti tak memiliki gairah akan hidup. Terpuruk. Terjebak dalam kesedihan, sampai ia merasa bahwa di dunia ini, ia hanya seorang diri. Bahkan, tak ada orang yang menegur tentang jambang di sekitar rahangnya yang makin tebal. Ataupun seseorang yang mengingatkan tentang memotong rambutnya yang makin panjang dan membuatnya seperti gelandangan.

Usianya hampir menginjak kepala empat tahun ini. Namun, keriput di wajahnya sudah di mana-mana. Matanya sayu, lingkaran hitam tak pernah pudar dari sana. Pun, pipinya demikian tirus seolah lubang pada jalan yang akan terisi air ketika hujan. Senada dengan keadaan tubuhnya yang nampak renta. Sebagian orang mungkin akan percaya jikalau ia mengaku sebagai kakek yang sudah berusia senja.

Seusai memandangi jendela membuatnya merasa cukup, pria bermarga Kim itu lantas mengitari ranjangnya. Meraih sebuah scraft abu-abu di gantungan baju dan melilitkannya asal di leher. Sekarang memang bukan musim dingin. Bulan April baru memasuki awal kedatangannya. Namun, setiap hari baginya udara terasa begitu dingin. Sudah delapan tahun dan rasanya masih sama. Terlebih sejak semalam, gerimis turun rintik-rintik.

Selama itu pula, rumahnya selalu saja terasa sepi tiap kali ia beranjak dari kamar. Ruang makan telah kosong. Lampu-lampu telah padam. Hanya kepulan hawa panas dari kopi di meja yang mampu menjadi bukti bahwa masih ada yang hidup di rumah ini. Bahkan ia yang mana pemilik rumah ini merasa bahwa dirinya sudah mati sejak lama.

Berjalan mengitari meja makan, ia tak sedikit pun tertarik oleh aroma kopi yang semerbak, maupun manisnya gula yang di panggang dalam lapisan roti tawar—sarapan kesukaannya, dulu. Ia abaikan dua hal yang begitu menggoda di kala perut kosong sehabis tidur dan memang cocok di udara yang merendah saat ini.

Kali ini, tangan dengan urat-urat nadinya yang menonjol itu terulur meraih sebuah amplop putih yang sengaja ditinggalkan seseorang di dekat piring berisi rotinya. Pria Kim itu membawanya menuju jendela dekat meja makan di mana ada lemari kaca rendah yang menampakkan potret-potret keharmonisan keluarga ini. Mulai dari foto pernikahan, bayi yang masih mungil, juga seorang wanita cantik yang keberadaannya sudah lama raib dari tempat ini. Wanita yang mana dulunya menjadi pelita bagi rumah ini. Namun, sekarang cahayanya tak ada di mana pun. Telah padam. Telah mati.

Sejak saat itulah rumah ini terasa begitu dingin dan sepi. Orang-orang yang ditinggal pun seakan merana. Hidup dalam bayang-bayangnya yang tak pernah pergi.

Sekali lagi napas pria itu berembus kasar sambil mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Baru sadar jika gerimis masih turun rintik-rintik di luar rumah, sementara payung di dekat pintu masuk masih utuh.
Jadi anak itu menerobos gerimis yang demikian rapatnya?

Tak cukup peduli seperti yang ia lakukan sebelum ini, ia putuskan membuka amplop surat yang mana ditujukan bagi seseorang bernama Kim Taehyung, dirinya. Membacanya sekilas dan secepat kilat menutupnya kembali lantaran isinya masih juga sama. Seseorang mengharapkan dirinya kembali menata hidupnya yang terlanjur berantakan.

Ia lantas melangkah menuju sudut rumahnya yang lain. Kali ini ia sempatkan meraih secangkir kopi di meja makan yang mulai dingin. Dibawanya menuju jendela yang lain dari rumahnya di mana ia bisa mengamati kebun belakang yang basah tertutup hujan semalam.

Ia sesap kopinya perlahan sembari netranya beredar. Baru sempat cairan hitam itu memasuki kerongkongan, ia tersedak mana kala di tengah kebunnya yang hijau, ia melihat orang asing tengah melakukan sesuatu pada tanaman kesayangan mendiang istrinya.

Sudah dipastikan, wajahnya yang semula tak memiliki gairah hidup kini seolah terbakar oleh kemarahan.

Cerita ini sudah selesai dan bisa dibeli melalui di platform Karyakarsa.

Liu_

STOLEN DREAMSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang