11

191 32 9
                                    

Sudah genap satu minggu sejak mimpi itu hadir, mimpi tentang seorang pemuda asing yang ia temui waktu itu. Mimpi itu bukan hanya sekadar bunga tidur, tetapi seperti potongan teka-teki yang terus berputar di dalam benaknya. Siapa sebenarnya pemuda itu? Dan mengapa ia seolah memiliki hubungan erat dengan pemilik tubuh ini?

Zayyan sempat merencanakan untuk pulang ke rumah saat libur mingguan kemarin. Ia berharap dapat menemukan petunjuk, walau hanya secuil, yang mungkin mampu menjawab teka-teki itu. Namun rencananya terpaksa batal ketika Sing menahannya dengan permohonan yang sulit diabaikan.

"Kenapa kau ingin pulang?" suara Sing terdengar lirih namun penuh keteguhan. "Orang tuamu belum kembali, bukan? Apa kau tidak nyaman menghabiskan waktu bersamaku? Hanya kau yang kupunya, Zay. Aku mohon, tetaplah di sini."

Ada nada keputusasaan dalam setiap kata yang diucapkan Sing. Sorot matanya menyiratkan ketakutan mendalam akan kehilangan, seakan-akan kepergian Zayyan, meski hanya sesaat, adalah luka yang tak sanggup ia tanggung. Dan Zayyan, yang tak pernah ahli menolak permintaan dengan tatapan seperti itu, memilih untuk tetap tinggal.

Zayyan sebenarnya hanya ingin pulang untuk sehari saja. Namun, tanggapan Sing terasa begitu berlebihan, seperti dunia akan runtuh jika Zayyan meninggalkannya barang sejenak. Hal itu membuat Zayyan bingung. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan pemuda itu.

Yang lebih membingungkan, selama seminggu terakhir, Sing berubah menjadi sosok yang benar-benar berbeda. Tidak ada lagi tatapan tajam atau nada intimidasi yang selama ini membuat Zayyan merasa kecil di hadapannya. Sebaliknya, setiap sikap dan ucapannya kini dipenuhi kelembutan. Caranya memperlakukan Zayyan begitu penuh perhatian, seperti seolah-olah Zayyan adalah sesuatu yang rapuh dan berharga.

Perubahan itu membuat Zayyan bertanya-tanya dalam hati. Apa yang sebenarnya terjadi? Sing yang dulu membuatnya merasa tertekan kini justru menghadirkan rasa nyaman yang tak terduga. Namun, kenyamanan itu juga membawa kebingungan. Apakah semua ini hanya sementara? Atau ada sesuatu yang direncanakannya?

Zayyan tak bisa menghilangkan kecemasan yang terselip di pikirannya. Ia tahu Sing adalah sosok yang sulit ditebak, dan perubahan mendadak ini justru membuatnya semakin waspada, meski ia tak bisa mengingkari bahwa kelembutan Sing memberikan ruang napas yang selama ini tak pernah ia miliki.

Lamunan Zayyan pecah tiba-tiba ketika sesuatu yang lembut dan basah menyentuh pipinya. Ia tersentak, kepalanya berpaling cepat ke arah Sing yang duduk di sebelahnya. Tatapan Zayyan penuh keterkejutan, sementara Sing hanya menatapnya dengan santai, bahkan tersenyum kecil.

"Apa yang kau lakukan?" bisik Zayyan panik, suaranya hampir tenggelam dalam hiruk pikuk kafetaria. Ia melirik sekeliling dengan gugup. Kafetaria itu penuh, seperti biasa di jam istirahat. Para siswa asyik berbincang dan menikmati makan siang mereka, tapi Zayyan tahu ada banyak pasang mata yang selalu mengintip interaksinya dengan Sing—tatapan-tatapan penuh penasaran yang mencoba menebak hubungan di antara mereka.

Namun sebelum Zayyan bisa mengatur napasnya, kejutan berikutnya datang. Bibirnya disentuh sesuatu yang lebih dari sekadar kecupan di pipi. Lembut, singkat, tapi cukup untuk menghentikan waktu di sekelilingnya. Kafetaria yang semula ramai mendadak sunyi. Semua mata kini benar-benar tertuju pada mereka, menatap tanpa berkedip. Zayyan bisa merasakan setiap pandangan itu, berat, penuh pertanyaan, dan entah apa lagi yang mungkin ada di dalamnya.

Tubuhnya membeku. Wajahnya memerah, matanya membelalak penuh keterkejutan. "Apa yang kau lakukan?" bisiknya sekali lagi, kali ini lebih lemah, hampir kehilangan suara.

Sing, tanpa rasa bersalah sedikit pun, hanya terkekeh. "Kau melamun lagi, Zay," katanya ringan. "Aku hanya ingin mengembalikanmu ke dunia nyata. Jangan melamun saat bersamaku."

OUR SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang