Wanita berumur 28 tahun terlihat sedang memandangi sungai yang indah. Namun wajahnya sendu, sepertinya pemandangan sungai itu mengingatkan nya pada sesuatu."Dek...momen paling indah yang cici lakuin bareng kamu cuma piknik di tepi sungai ini. Maafin cici yang jarang banget ada waktu buat kamu, atau mungkin cici punya waktu tapi gamau ngeluangin waktu itu buat kamu."
"Cici sayang sama kamu dek..."
"Katanya mau di sayang sama cici? Katanya mau jalan-jalan bareng cici? Balik kesini ya, kamu bisa dapetin itu semua sekarang. Tapi--- kenapa kamu malah pergi di saat harusnya kamu bisa dapetin apa yang selama ini kamu ingin inginkan?"
Shani duduk di tepi pantai, memandang kosong pada sebuah buku dairy tua yang pernah jadi milik adiknya. Tangannya menggenggam boneka itu erat, seolah takut kehilangan lagi. Suaranya rendah, penuh penyesalan, seakan berbicara kepada adiknya yang kini hanya ada dalam kenangan.
"Christy... Cici dulu nggak pernah lihat kamu sebagai adik. Kamu itu cuma... tanggung jawab. Beban. Setiap kali kamu salah, sekecil apa pun itu, Cici selalu marah. Cici selalu bentak kamu, hukum kamu, buat kamu ngerasa... kamu nggak pernah cukup."
"Ingat nggak, waktu kamu jatuhin gelas di dapur? Cici langsung suruh kamu bersihin sambil marah-marah. Atau waktu kamu pulang terlambat dari sekolah? Cici bikin kamu berdiri di luar rumah, cuma supaya kamu belajar disiplin. Kamu cuma anak kecil waktu itu, tapi Cici selalu anggap kamu harus tahu semuanya, harus benar setiap waktu. Cici pikir itu cara Cici buat 'didik' kamu. Tapi sekarang... Cici sadar, itu bukan didik, Christy. Itu cuma kekejaman."
"Dan sekarang kamu nggak ada... Cici nggak tahu harus gimana. Zee nggak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Dia bilang dia harusnya ada buat kamu, dia harusnya lebih ngerti kamu. Tapi itu salah, Christy. Yang salah itu Cici. Cici yang bikin kamu merasa sendirian, yang bikin kamu takut untuk bilang kalau kamu sedih atau kesulitan. Dan sekarang... Zee nggak bisa bangkit dari rasa kehilangannya. Dia nggak bisa tidur, nggak bisa makan, nggak bisa berhenti menangis. Dokter bilang Zee kena prolonged grief disorder. Dia terus terjebak di rasa bersalah dan kehilangan, tapi sebenarnya... semua ini salah Cici, bukan Zee."
"Kamu tahu, Christy? Cici bahkan nggak pernah bilang kalau Cici sayang sama kamu. Karena dulu, Cici nggak pernah merasa begitu. Cici cuma lihat kamu sebagai pengganggu, seseorang yang selalu bikin hidup Cici lebih ribet. Tapi sekarang... sekarang Cici sadar, kamu itu nggak pernah minta lebih. Kamu cuma pengen diterima. Kamu cuma pengen dipeluk, dibilang kamu nggak apa-apa meski salah. Tapi Cici nggak pernah kasih itu ke kamu."
"Christy... kalau saja waktu bisa diulang, Cici nggak akan marah waktu kamu jatuhin gelas. Cici nggak akan biarkan kamu menangis sendirian. Cici akan bilang kalau kamu nggak perlu jadi sempurna. Tapi waktu nggak pernah berhenti buat siapa pun, ya? Dan sekarang, kamu sudah nggak ada. Cici cuma bisa minta maaf... sama bayangan kamu, sama kenangan ini, sama diri Cici sendiri."
"Maafin Cici, Christy. Karena sampai kamu pergi, Cici nggak pernah jadi kakak yang kamu butuhkan. Dan sekarang... Cici harus hidup dengan penyesalan ini. Selamanya."
"Maafin cici, dan jangan benci cici..."
"Aku gak pernah benci sama ci shani, aku selalu sayang sama cici."
"Ci, waktu emang gak bisa di ulang, tapi kita bisa perbaikin semuanya di kehidupan selanjutnya."
"Sayangi zoya dan luangin waktu cici buat dia, jangan biarin dia kesepian."
"Aku sayang cici, selamanya."
~ternyata penyesalan di akhir itu memang benar adanya.~
-Shani indira natio
![](https://img.wattpad.com/cover/371597705-288-k187010.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah tanpa cahaya [END]
Randomaku tidak mengenal kata adil,keluarga ku tidak pernah memperlakukan ku dengan adil. dunia itu kejam,tapi aku akan mencoba bertahan