Di sebuah ruangan kecil yang dipenuhi bau cat minyak dan kanvas, Reva duduk di depan lukisan setengah jadi. Kanvas besar itu menggambarkan taman berselimut salju, tempat yang terus hidup dalam ingatannya. Di luar, malam mulai turun, dan hawa dingin menyeruak meski pemanas sudah dinyalakan. Tangannya yang memegang kuas terlihat gemetar, entah karena dingin atau perasaan yang membuncah."Kak Christy, aku masih bisa merasakan hari itu sejelas langit di musim dingin. Aku duduk sendirian di taman, bangku kayunya hampir tertutup salju, seperti semua hal lain di sekitarku. Pohon-pohon tanpa daun itu berdiri diam, seperti aku, yang nggak tahu harus pergi ke mana. Dunia rasanya begitu asing, begitu sepi. Aku bahkan nggak yakin aku tahu apa itu rumah."
Ia berhenti sejenak, menatap kanvasnya. Goresan salju di latar belakang sudah selesai, membentuk pemandangan taman yang sunyi dan damai. Tapi sosok Christy di kanvas itu masih belum selesai, hanya setengah tergambar, seperti bayangan yang belum utuh.
"Tapi hari itu, taman itu berubah. Rasanya aneh... meskipun dingin, aku merasa ada hangat yang sulit aku jelaskan. Dan sejak itu, taman bersalju ini bukan sekadar tempat. Ini adalah bagian dari kita, Kak. Tempat di mana aku merasa... aku punya seseorang. Tempat di mana aku tidak sendirian."
Reva mengambil kuas lagi, mulai menambahkan detail pada wajah Christy. Ia menggambar senyum lembut yang selalu ia ingat. Tangannya berhenti sejenak, dan ia menarik napas panjang.
"Kak, aku sering membayangkan, kalau saja kakak masih ada... Kita pasti bisa kembali ke taman ini. Kita bisa duduk di bangku itu lagi, sambil mendengar suara salju yang jatuh pelan-pelan. Aku akan cerita semua hal yang aku alami."
Ia menutup matanya, seolah mencoba merasakan kehadiran Christy. Air mata jatuh perlahan dari sudut matanya, tapi ia tidak menghapusnya. Ia membiarkan air mata itu jatuh ke pipinya, seperti salju yang ia lukis di kanvas.
"Kadang, aku merasa waktu berhenti di taman itu, Kak. Aku tahu kenyataannya berbeda, tapi di sini, di dalam hatiku, aku masih bisa melihat kakak duduk di sana. Aku bisa membayangkan kakak tersenyum, melihat salju yang turun. Rasanya seperti aku bisa merasakan usapan tangan kakak di rambutku, meskipun aku tahu itu hanya angan-angan."
Reva mengusap wajahnya, mencoba menguatkan diri. Ia kembali melukis, menambahkan detail pada pohon-pohon tanpa daun di belakang mereka. Goresan kuasnya lebih pelan, penuh perasaan.
"Kak, aku tahu aku nggak bisa membawa kakak kembali. Tapi aku ingin terus melukis ini. Karena setiap sapuan kuas, setiap warna yang aku pilih, itu caraku menjaga kakak tetap hidup. Dalam lukisan ini, aku ingin kita bersama lagi. Setidaknya di kanvas ini, aku bisa duduk di samping kakak sekali lagi, meski hanya sebagai bayangan."
Ia menatap lukisan itu lama, memperhatikan sosok Christy yang kini hampir selesai. Di wajah Christy yang ia lukis, ada senyum lembut—senyum yang selama ini menjadi sumber kekuatannya. Reva menambahkan beberapa sentuhan akhir, memperbaiki detail pada bangku kayu yang mereka duduki bersama.
"Lukisan ini... adalah semua yang aku miliki, Kak. Untuk hari itu, untuk semua kenangan yang nggak akan pernah hilang. Aku akan menyimpannya selamanya. Meski salju terus turun, meski dunia terus berjalan, aku tahu aku masih punya bagian dari kakak di sini, di setiap goresan kuas ini."
Reva akhirnya meletakkan kuasnya. Ia menatap lukisan itu lama, membiarkan air matanya jatuh perlahan. Di dalam keheningan malam, hanya ada dia dan ingatannya tentang Christy, yang hidup dalam setiap sudut taman bersalju yang telah ia ciptakan di kanvasnya.
"Aku pengen ngelukis bareng kamu..."
"Kak christy."
.
"Di mimpi kamu malem ini, kita ngelukis bareng ya?"
"Aku menunggumu, adik kecil."
~kamu selalu abadi, di lukisan aku~
—Revatalia enjel natio
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah tanpa cahaya [END]
De Todoaku tidak mengenal kata adil,keluarga ku tidak pernah memperlakukan ku dengan adil. dunia itu kejam,tapi aku akan mencoba bertahan