Hari Sabtu ini Hayi sedang tak ada kerjaan di kafe karena Fandi meliburkan semua karyawan. Katanya, bosnya itu mau liburan ke luar negeri, lalu menginisiasikan para karyawannya untuk liburan juga—walaupun yang dimaksud adalah liburan sendiri-sendiri —dan menutup kafe selama weekend ini. Maka dari itu, hari ini Hayi berada di rumah.
Kemarin bapaknya sudah pulang dari rumah sakit setelah melakukan prosedur hemodialisis. Kondisinya juga semakin membaik, sudah mulai bisa beraktivitas seperti biasanya. Namun, anggota keluarganya tetap tak lengkap di rumah saat ini, karena ternyata Hadi betulan sudah dapat kerjaan. Kakaknya itu mendapat jadwal enam hari kerja dalam seminggu sebagai teknisi di sebuah service center elektronik, sehingga cuma libur di hari Minggu.
Di kamarnya, Hayi baru beres memasang kanvas pada spanram dan meletakkannya di easel. Ia memang akhirnya menerima tawaran Fandi mengenai proyek lukisan untuk pameran. Pikirannya jadi lebih ringan setelah tahu kalau rencana program pertukaran pelajarnya akan berjalan lancar. Jadi, ia merasa sanggup untuk mengerjakannya.
Surat persetujuan mengikuti program pertukaran pelajar juga sudah ditandatangani oleh ibunya dan telah diserahkan ke Bu Amelia. Waktu meminta tanda tangan itu tak ada drama apapun. Seperti biasa, ibunya jarang ingin peduli dengan segala yang dilakukannya dan langsung menandatangani tanpa bertanya apa-apa. Sebenarnya, mungkin saja karena pikiran ibunya waktu itu masih penuh soal bapaknya yang sedang dirawat, lalu Hayi juga langsung menerangkan kalau orang tuanya tak perlu mengeluarkan biaya apapun. Namun, Hayi sempat menerima pernyataan dukungan dan bangga dari ibunya. Hanya saja, ia cuma menanggapinya dengan senyuman tipis saat itu. Entahlah, waktu itu ia seperti tak benar-benar bisa merasakan kebanggaan yang dikatakan ibunya. Meskipun ibunya sedang lelah, ia tetap berharap, setidaknya ibunya bisa meluapkan perasaan yang lebih nyata.
"Kak?"
Seruan yang diikuti ketukan di pintu itu menginterupsi Hayi yang sedang memandangi kanvas kosong di depannya.
"Buka aja," balasnya sambil menoleh ke arah pintu, lalu Hafi muncul dari baliknya.
"Boleh pinjem iPad Kakak nggak?" ujar bocah itu, bahkan sebelum Hayi sempat menanyakan tujuannya datang ke sini.
"Buat apa?" balas Hayi.
"Buat ngecek spek. Bentar doang, kok."
Hayi mengernyit sejenak. "Emang lo mau beli iPad?"
Hafi menggeleng. "Enggak. Ngecek aja buat nyamain sama punya temen."
Tidak penting sama sekali, pikir Hayi. "Kan, bisa ngecek di Google?"
"Iya, tapi mau sekalian nyobain fiturnya."
Masih mengernyit, lalu Hayi menghela napasnya pelan. Setelah menimang sebentar, sepertinya Hayi akan mengizinkan adiknya itu untuk meminjam tablet pintarnya. Hafi memang belum punya, karena saat itu bapaknya menawarkan tablet atau laptop dan bocah itu lebih memilih untuk membeli laptop dulu. Pilihan yang tepat juga sebenarnya, menurut Hayi. Dari kegunaannya, laptop lebih dibutuhkan daripada tablet.
"Tuh, di meja belajar," sahut Hayi sambil menunjuk tempat tablet pintarnya disimpan. Adiknya itu pun langsung semringah mendengarnya. "Jangan asal otak-atik! Banyak dokumen penting sama desain-desain gue di situ," lanjutnya memperingatkan.
"Aman, kok, tenang aja. Makasih, ya, Kak." Setelah mengambil barang itu, Hafi kembali keluar dari kamar Hayi, serta tak lupa menutup kembali pintunya.
Hayi sempat heran menyaksikan itu. Tumben sekali bocah itu mengucapkan terima kasih, bahkan juga menutup pintu kamarnya kembali. Namun, Hayi menganggapnya kebetulan saja. Tak ingin membuat otaknya memikirkan hal-hal yang tak penting. Kepalanya sudah sering pusing belakangan ini, jangan ditambah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Carpe diem that is hard to find
Novela JuvenilDi keluarganya, keberadaannya sering tak dianggap. Bukannya dikucilkan, orang-orang di rumahnya hanya tak mempedulikan ataupun memperhatikannya. Sama sekali tak ada pengaruh khusus dari ada atau tidaknya ia, bagi mereka rumah itu tetap terasa utuh. ...