Hai, selamat datang di chapter empat, semoga tetap suka dengan apa yang aku torehkan.
Vote dulu yaaa.
Selamat membaca dan semoga suka💗.
4. RUMAH ADALAH KITA.
"Rumah tidak selalu berbentuk bangungan, kita contohnya."
.
.
.
.Malam itu begitu sunyi. Hanya suara jangkrik yang terdengar, seolah menjadi latar untuk sebuah cerita yang tidak akan diceritakan kepada siapa pun. Di luar sana, jalanan masih ramai oleh pengendara yang tak henti-hentinya berlalu-lalang, seakan tak mengenal lelah.
Kadang, kita bertanya-tanya, bagaimana bumi bertahan? Bagaimana ia menanggung semua beban tanpa keluhan? Dan bagaimana jika bumi pun kehilangan kebahagiaannya?
Pertanyaan itu segera menguap bersama hembusan napas panjang. Malam yang dingin, ditemani rembulan penuh yang menggantung sempurna di langit, sering kali mengingatkan pada seseorang yang sudah pergi jauh mungkin dari kita, mungkin dari dirinya sendiri.
Di sudut lain malam itu, rumah Derio menjadi saksi. Di ruang tengah yang diterangi lampu temaram, empat sahabat Bintara, Gavi, Derio, dan Rafi, duduk melingkar, menatap Saka yang duduk di tengah mereka. Kepalanya tertunduk dalam, kedua tangannya mengepal di atas lutut, seakan menahan sesuatu yang hampir meledak.
"Udah, puas ngamuknya?" tanya Bintara, suaranya tenang namun penuh arti.
"Kalau belum, nggak apa-apa. Kalau mau bikin rumah ini jadi kapal pecah juga, asal puas," timpal Bintara dengan nada bercanda, meskipun matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Derio mendengus. "Eh, rumah gue ini. Jangan ikut nambah rusuh!"
Namun, suasana segera kembali sunyi. Mereka menatap Saka, yang hanya menghela napas berat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Rafi menyandarkan punggungnya ke dinding, tatapannya tak lepas dari Saka.
"Lo jangan ngerasa keren karena bisa ngamuk, Sak," ujar Rafi lembut. "Kalau lo lupa, gue ingetin, lo punya kita. Lo nggak sendiri."
Saka terdiam. Bahunya sedikit gemetar, namun ia tetap bungkam. Bintara mendekat, menepuk pelan bahu sahabatnya.
"Denger, Sak. Lo punya kita. Kita ini rumah lo. Jangan lo pikul sendiri semuanya. Gue nggak tau seberat apa yang lo rasain, tapi lo nggak harus nahan sendirian. Pulang, Sak. Rumah lo di sini."
Kata-kata itu seperti menghantam tembok besar yang selama ini Saka bangun. Air mata yang ia tahan terlalu lama akhirnya jatuh, membasahi pipinya. Tangannya terangkat, menutupi wajah yang mulai bergetar oleh isakan.
Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka melihat Saka menangis. Tangis yang terdengar begitu dalam, seperti jeritan tanpa suara dari seseorang yang terlalu lama memendam segalanya sendirian.
-Seberapa besar luka yang dipendam sahabatnya ini, hingga hanya terdengar tangis yang menjawab?
Bintara, Gavi, Derio, dan Rafi merapat, memeluk Saka tanpa berkata apa-apa. Keheningan itu dipenuhi oleh isakannya yang perlahan mereda.
"Lo pikir apa gunanya kita di sini, Sak?" suara Bintara terdengar serak. "Lo anggap kita apa? Kita rumah lo. Jangan pernah ngerasa kalau lo sendirian."
Mereka tetap memeluknya erat, memberi kehangatan yang selama ini mungkin tak pernah ia rasakan. Tak ada kata-kata lagi, hanya detak jantung dan tarikan napas yang memenuhi ruangan.
Setelah beberapa saat, Saka mendongak. Matanya sembab, tapi senyuman kecil tersungging di wajahnya.
"Maaf, maaf gue nyusahin kalian..." bisiknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rain with Sunshine
Teen FictionKisah kita telah usang, semoga tetap terkenang. <3