6. Merangkai Asa

19 16 0
                                    

Hai aku kembali, bersama kisah cinta yang tidak jelas ujungnya.

Terima kasih karena telah setia menunggu Embun, dan Bintara^^

Selamat membaca, dan semoga suka <3.


6. MERANGKAI ASA.


“Kenapa kita harus dipertemukan, jika akhirnya akan tetap masing-masing?”
.
.
.
.

Di malam yang tenang, ketika jarum jam hampir menunjukkan pukul tujuh, Embun melangkahkan kakinya dengan mantap menuju sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempatnya bekerja paruh waktu.

Karena Ayahnya yang sudah meninggal sejak ia masih kecil, dan juga adiknya yang butuh pengobatan hampir setiap Minggu, membuat Embun memilih untuk membantu sang ibu dalam mencari uang.

Embun memang tidak hidup dalam kemewahan harta, namun ia hidup dalam kemewahan cinta.

Udara Jogja diselimuti gerimis tipis yang mendinginkan kota, membuat langit seakan menyelimuti seluruh penduduknya dengan kasih sayang yang diam-diam. Hujan di Jogja selalu memberikan rasa nyaman yang tak tergambarkan bagi Embun, seperti menghapus segala resah dan membalut hatinya dengan damai. Malam ini, aroma hujan yang khas seakan menyatu dengan wangi kopi dari dalam kafe yang perlahan menghangatkan suasana.

Di balik kaca besar di ujung kafe, Embun mulai melayani pelanggan yang datang dengan senyum lembut. Kehangatan Embun dalam menyapa setiap tamu membuat tempat ini seolah memiliki jiwa, sebuah ruang yang penuh keramahan dan ketulusan. Suara langkah kaki, percikan air hujan yang terdengar samar, dan musik akustik yang mengalun lembut di dalam kafe, semua berpadu menciptakan suasana yang damai.

"Ada yang bisa saya bantu, Kak?" Embun menyapa seorang pria yang baru saja duduk.

Pria itu mengangguk sambil tersenyum. "Americano satu," ujarnya singkat.

Embun tersenyum hangat, mencatat pesanan, dan segera berbalik menuju meja bar untuk meracik kopi. Tangannya yang telaten menyentuh cangkir dan sendok dengan hati-hati, seolah ia menuangkan setiap tetes kopi dengan penuh cinta dan kesabaran.

Di luar kafe, seseorang duduk diam di depan cafe, tepat di bawah payung hitam, mengamati gerak-gerik Embun dari kejauhan. Bintara, dengan tatapan yang tak lepas dari sosok Embun, tersenyum tipis. Mata Bintara memperhatikan setiap gerakan Embun, senyumannya, sikapnya yang ramah kepada para pelanggan. Semua itu membuat Bintara merasa hangat di tengah hawa sejuk yang melingkupi malam.

"Cantik banget, pacarnya siapa sih?"

Ia tak mengerti kenapa hatinya bisa berdegup lebih cepat saat melihat Embun, meski ia sadar bahwa mereka datang dari keyakinan yang berbeda, namun perasaan itu semakin sulit ia abaikan.

Jam berdetak pelan hingga akhirnya pukul sembilan malam tiba, tanda bahwa kafe harus ditutup. Embun yang sudah lelah, mulai membereskan meja dan menata kembali peralatan dengan sabar. Ia menyapa rekan-rekannya, mengucapkan salam perpisahan, lalu menghela napas pelan. Hari yang panjang dan melelahkan ini hampir selesai. Ketika ia membuka pintu dan melangkah keluar, rintik hujan mulai turun sedikit lebih deras dari sebelumnya, membasahi jalanan dan menciptakan genangan kecil di sana-sini.

Embun memejamkan mata sejenak, merasakan tetes-tetes air di wajahnya. Dalam keheningan, ia tersenyum tipis, menikmati momen itu. Namun tiba-tiba, suara langkah kaki mendekatinya, dan ketika Embun membuka mata, di depannya sudah berdiri Bintara dengan senyum hangat dan sebuah payung di tangan.

"Lo nggak bawa payung, kan?" tanyanya sambil tersenyum, matanya menatap Embun dengan lembut.

Embun terkejut, namun senyumnya tak bisa ia tahan. "Kok kamu ada di sini, Binta?" tanyanya, suara lembutnya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan.

Rain with Sunshine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang