Sudah musim bikin tugas terus ulangan belum lagi suruh presentasi di depan kelas dan gurunya se-enak jidat tidur di kursi belakang. Tapi setidaknya hal baik dari semua itu, bisa membuatku sibuk dan dapat menghapus bayangannya yang menghiasi hidupku.
Masih tidak menyangka, dia sudah dengan yang lain. huft. Lupakan, Arini! Lupakan!
Oh ya soal Adit, dia sering banget main ke rumah buat ngajarin aku. Keseringan Abah liat Adit ke rumah, keseringan juga aku dinasehati sampai di depan gerbang sekolah tiap pagi.
Sesekali kalau malam minggu Abah ngajak Adit ngaji sama dzikir bareng. Suara Adit bagus banget waktu ngaji, rasa membuat hati jadi adem.
Yaampun aku ngomong apa. Aku mulai gila sepertinya.
Tiba-tiba hari ini setelah pulang sekolah Adit memaksaku ikut dengannya. Awalnya aku tidak mau, aku masih sedikit was-was dengan Adit. Di alam bawah sadarku, aku masih menganggap bahwa Adit seperti psikopat di film-film. Kebaikan yang tidak wajar dan bagaimana dia bisa menemukan informasi tentang aku seperti yang dikatakan Gendhis beberapa bulan yang lalu.
Itu menyeramkan, tahu!
Adit tidak menyerah begitu saja dengan penolakan yang aku lakukan. Kali ini dia malah akting sakit, ingin sekali aku tinggal pulang tetapi kedua sahabatku yang mungkin buta melihat akting Adit menjadi percaya saja. Mereka akhirnya menyeretku untuk mengantar pulang Adit bersama. Memapah Adit dan membawakan tas Adit ke dalam bus kota. Kita udah kayak selir-selir Baginda Raja Adit.
"Ini be....beneran rumahmu...." perkataan Tika membuyarkan halusinasiku menikmati panasnya matahari. Aku ikut memandang rumah yang disembunyikan dibalik gerbang mewah. Belum ada satu dari kami yang beranjak dan masih berdiri di depan gerbang megah itu.
"Eh Raden, kenapa dipapah gitu..." seorang wanita setengah baya membukakan gerbang sambil panik dan membantuku yang tadi memapah lengan kiri Adit.
Kemudian sesampainya kami di pintu utama, kehebohannya bertambah lagi. Seorang wanita cantik berkulit putih bersinar tiba-tiba panik lebih panik dari bibi yang tadi, "Astaghfirullah Ditya, kamu ngerasa sakit di mana? Mama panggil dokter ya? Sini duduk dulu. Bibi ambilin air hangat ya...."
"Ma, temen-temen Ditya."
"Ya ampun! Mama sampai lupa. Ayo duduk dulu, gak usah canggung. Kenalin nama tanten Maya, kalau nama kalian siapa? Oiya, sampai lupa lagi. Kalian mau minum apa? Bi Mai tolong buatkan temen Adit minum ya..." Kebetulan bibi sedang menaruh air hangat untuk Adit langsung mengambil alih tugas memberikan suguhan tamu dan menanyakan kepada kami apa yang kami ingin minum.
Sebenarnya kami ingin segera pulang. Namun, ketika kami pamit pulang malah diajak makan siang bersama. Adit sendiri sudah baikan atau memang dari tadi dia hanya pura-pura saja 😒
Dasar caper gak jelas ni si Adit.
☘️☘️☘️☘️☘️
Lumayan, kita bertiga dapat makan siang gratis. Cuaca di luar yang tadinya panas terik mulai menjadi agak mendung. Kita udah mulai waspada, takut enggak dapat bus untuk pulang.
"Kalian kenapa?" tanya Tante Maya alias ibu Adit.
"Kayak mau hujan deh, Tan. Kita pamit dulu ya..." kata Hanan dengan cemas.
"Enggak papa, ntar biar di antar supir aja pulangnya. Habis makan jangan buru-buru gitu, mending biarin makanan turun dulu. Yuk, cerita-cerita sama Tante dulu. Tante, jarang lho ngobrol sama temen-temennya anak Tante," sungkan menolak permintaan Tanten Maya, membuat kami bagaikan anak ayam yang patuh digiring dari meja makan ke ruang keluarga milik Tante Maya.
Kami duduk dengan patuh dan Tante Maya sibuk memberikan kami satu per satu buku album foto. Ini Adit kemana deh ya? Kita kan canggung.
Kita benar-benar enggak tahu Adit di mana. Tadi sebelum mulai makan, Adit tiba-tiba saja ditelpon entah siapa. Kemudian dia menghilang begitu saja.
"Nah ini, kakak pertama Ditya namanya Nabil sama istrinya namanya Yuni," jelas Tante Maya ketika kami membuka album.
"Kalau yang ganteng ini siapa, Tan?" tanya Tika menunjuk pada salah satu sosok pemuda berjas dokter.
"Itu Yuda, kakak kedua Ditya." Jelas Tante Maya lalu berdiri dan mengambilkan kami lebih banyak album koleksinya.
"Yah udah nikah ya, Tan..." keluh Tika ketika membuka halaman selanjutnya. Ia melihat sosok Yuda menggunakan jas bersanding dengan wanita cantik yang memakai baju pengantin. Wanita itu tidak lain dan tidak bukan adalah Gendhis. Wanita waktu itu yang aku temui.
Hanan dan aku langsung menepuk punggung Tika pelan. Memberikan dukungan moril pada cinta yang gugur bahkan sebelum bersemi. Sebelum salah satu dari kami berdua mengeluarkan kata-kata penghibur lara, Tanten Maya cekikikan sambil membukakan album merah marun dan meletakkan album merah marun itu di atas album yang tadi kami lihat.
"Ini Ditya pas pakai popok. Terus ini Ditya pas udah gede tapi ngompol dan dia kaget. Lucukan...hihihi."
Kami penasaran dengan foto-foto itu langsung melihat penuh semangat. Namun, suara teriakan dan langkah kaki terburu-buru mendekati kami. Kami mendongak serempak ketika album merah marun itu diambil alih.
"MAMA!!!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Married!
SpiritualNamaku Rin. Cerita ini dimulai saat aku masih SMA bertahun-tahun silam, saat nama jurusan di SMA masih setia dengan nama IPA dan IPS bukan MIA atau IIS. Tahun itu belum marak yang namanya Line, Path, Instagram dan kawan-kawannya. Tahun di mana layar...