Bab 4, Siang itu Setelah Hujan

397 26 0
                                    

Pulang sekolah. Yuhuuu my home sweet home.

Aku berjalan dari pemberhentian bus menuju jalan kompleks rumahku. Senangnya, siang yang sejuk sekali. Harum udara yang khas setelah hujan. Alam sepertinya mendukung perasaanku yang sangat bahagia hari ini.

Kalian mau tahu kenapa? Karena hari ini dalam sejarah kehidupan perfisikawanku, aku mendapat nilai ulang sebesar 85 hahahaaha 😍

Gak sia-sia si Koko satu itu makan banyak pisang goreng pas ngajari aku kemarin.  Aku benar-benar takjub. Sungguh! Ternyata aku pintar juga, aku memang mempunyai takdir menjadi anak IPA hahahaaa🤭

Tika aja ampek kaget dan si Hanan sangat iri melihatku ~~(^   ^)~~ Tapi si Koko satu itu dapetnya nilai 100. Hebat bener tu orang. Otaknya terbuat dari apa coba ckckckkk. Mungkin enggak salah juga kalau keistimewaan aku adalah si Koko yang suka sama aku.

Ewww. Arin please, kembalikan kewarasanmu. Batinku. Menggelengkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, berharap pikiran alay itu segera pergi jauh dari otakku.

"Hei tunggu, Arin..." tiba-tiba ada yang menepuk pundakku sambil menyapaku.

"Siapa ya?" aku memberikan wajah sok polosku. Walaupun dalam hati, rasanya aku pengen mengambil langkah seribu.

Ummi, kakak takut. Kakak mau di-gendam orang 😭

"Gendhis, inget gak? Waktu itu kamu pernah nolongin aku pas aku ditabrak orang," aku coba berpikir sepertinya aku kenal, akan tetapi masih ngerasa was-was juga. Ah! Cewek cantik dengan kado berpita warna jingganya yang ditabrak waktu itu.

"Em... oke, tapi di sekitar sini saja ya Kak."

"Gimana kalau kita ngobrolnya di warung bakso perempatan itu," tunjuk Gendhis kearah bakso enak langganan aku.

Wah lumayan, makan gratis nih.

"Kakak yang bayar kan?" candaku setengah berharap dibayarin. Tapi si kakak satu ini malah senyum sambil menarikku penuh semangat.

Bisa dianggap aku akan dibayarin kan ya?

Tidak lama kita sudah sampai di warung bakso. Mendapat tempat duduk lesehan menghadap jalanan yang tidak terlalu ramai. Setelah memesan ke abang tukang bakso, wanita bernama Gendhis itu mulai mengajakku mengobrol lagi.

"Kamu masih ingat aku kan? Waktu itu setelah nolongin aku buat ke rumah sakit, kamu menghilang. Padahal aku nyariin kamu," dia mengerucutkan bibirnya yang berwarna merah alami.

"Maaf Kak, waktu itu Abah aku udah panik nyariin. Soalnya, setiap menjelang senja aku belum pulang pasti dicari," curhatku sebagai seorang anak rumahan.

"Eh jangan sedih gitu. Gak papa, lagian aku udah ketemu kamu. Untung pas aku nganter adik iparku ke sekolah barunya, aku sempet liat kamu. Aku baru mau nyamperin kamu di sekolah kamu, eh gak disangka baru habis beli buah di sebelah situ tiba-tiba liat kamu hihihi," tawa Gendhis akan keberuntungannya.

"Oogitu. Emang adik Kakak yang satu sekolah sama aku namanya siapa? Kali aja aku kenal," tanyaku karena rasa ingin tahuku mulai terpancing sekaligus menguji itu murni kebetulan atau kemapuan stalker wanita di sampingku harus aku pertimbangkan. Kali aja kan berpontensi melakukan tindak pidana kriminal kepada gadis imut sepertiku 😱

"Kamu pasti kenal. Orang adikku satu itu sering cerita soal kamu. Muhammad Akbar Pradit Nuraga yang sekelas sama kamu. kenal kan kan?" ekspresi Gendhis mulai berubah jahil dan bulu kudukku jadi meremang. Firasat buruk apa ini.

"Eh...iya kenal, Kak." Aku menjawab dengan sedikit kikuk sambil menggaruk jidatku yang entah kenapa tiba-tiba terasa gatal. Sial, cerita apa si Koko satu itu sama satu keluarga besarnya. Ugh.

"Permisi neng, ini pesenannya ya..." Abang bakso menyela sekaligus menyelamatkanku dari suasana yang sedikit aneh barusan. Aku pura-pura sibuk dengan meramu baksoku bersama kecap-saus-sambal. Baru saja aku menyuapkan setengah potongan bakso ke mulutku, Gendhis memulai lagi dengan topik pembicaraannya.

"Muhammad Akbar Pradit Nuraga itu adik iparku. Dalam keluarga iparku dari dia dan kedua kakaknya mereka semua sangat pintar tapi dia lebih pintar. Tahun ini umurnya 13 tahun dan dia sudah menyelesaikan pendidikan SMA-nya," kemudian Gendhis melahap mie ayamnya sambil memberikan ekspresi 'ayo-tanyakan-padaku-kenapa-adik-iparku-SMA-lagi'.

"Hem. Jadi, kenapa Adit masuk SMA lagi?" tanyaku terpaksa. Lalu aku alihkan pandanganku ke mangkok bakso lagi.

"Ingat ketika aku waktu itu kecelakaan? Aku membawa kado? Apa kamu melihat aku membawa kotak kado?"

"Ah iya kado berpita jingga itu kan, Kak?"

"Tepat!"

"Apa hubungannya?" aku mencoba mencerna omongan Gendhis beberapa saat.

"Waktu itu adalah hari perayaan kelulusan Ditya dari senior high school. Sayangnya, aku mengalami kecelakaan. Tapi, hal baiknya adalah intelegensi emosional Ditya berkembang hari itu berkat kecelakaanku," senyum bangganya tercetak lebar di wajah cantiknya. Sedangkan aku menjadi dibuat bingung oleh Gendhis.

"Kok bisa?"

"Dia tiba-tiba saja mengatakan kepada kami sekeluarga kalau dia tertarik ingin berkenalan dan berteman dengan gadis yang membantuku ke rumah sakit. Kami semua sangat kaget. Untuk pertama kalinya Ditya ingin berteman dan bersosialisasi dengan orang lain selain keluarganya," ucapnya.

"Emm.... jadi maksudnya gimana itu," tanyaku benar-benar bingung tingkat akut.

"Ringkasnya Ditya ingin SMA lagi karena kamu, Arini!" tiba-tiba saja Gendhis memelukku.

khuk

khuk

Khuk

Aku tersedak kuah baksoku yang pedas. Astaga. Apa maksudnya coba! Setelah meminum segelas jeruk hangat dan mulai tenang, aku mulai mencermati Gendhis yang masih setia menepuk-nepuk punggungku.

"Hah?"

"Aku jelasin lagi. Tapi jangan kaget, okay?" aku mengangguk kepala tanda setuju.

"Jadi, kamu adalah gadis yang menolongku waktu itu. Gadis yang sama yang ingin Ditya ajak berkenalan. Aku sempat cemas ketika kamu menghilang dari rumah sakit. Aku pikir Ditya akan murung dan menjadi lebih tidak berekspresi. Ternyata dia selangkah lebih maju dari aku. Dia sudah menemukanmu dan mengatur strategi agar bisa bertemu kamu," ucapnya penuh syukur.

Kok aku dengernya jadi ngeri sendiri ya. Seakan-akan ada yang menguntitku dan menelanjangi hidupku. Ini kayak di film psikopat yang lagi menguntit korbannya gak sih? Kok ngeri ya? Atau, aku aja yang terlalu lebay? Tau ah, gelap!

☘️☘️☘️☘️☘️

Kejadian makan bakso tadi siang bersama Gendhis masih terngiang di kepalaku. Apalagi kata-kata terakhir Gendhis sebelum aku pulang ke rumah.

"Aku mau berterimakasih udah nolongin aku. Sekaligus, aku meminta tolong bantu kami jaga Ditya ya..."

Apaan coba itu. Hell no! Aku masih 17 tahun. Gimana ceritanya aku jagain orang lain? Diriku sendiri aja masih minta uang jajan sama Abah. Ugh.

Just Married!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang